Namaku Lim Cen Mi. Di sekolah dan di surat-surat resmi, namaku Naomi Liman.
Aku dengan Ken tidak pernah pacaran atau saling taksir. Dia curhat tentang cewek-cewek yang ditaksirnya, begitu pun aku curhat tentang si Bram atau si Dede. Kami tak pernah saling cemburu, dan kami bahagia bisa begitu.
Saat mulai mengenal Ken, kulihat dia sebagai anak lelaki kurus yang seolah tak pernah peduli pada dunia di sekitarnya, bahkan ketika dunia terus memandangnya dengan tatapan menghakimi. Ken begitu pendiam dan cuek, tidak suka menonjol, malah mungkin lebih suka jika semua orang melupakannya saja. Tapi di balik kacamata minus dan bahunya yang selalu merunduk itu, aku tahu, ada sisi Ken yang lembut dan tulus. Dia satu-satunya orang yang bisa mendengarku tanpa terganggu oleh hal lain, yang bisa sabar menatap kosong tanpa bosan saat aku berbicara panjang lebar soal apa pun.
Yang paling kusuka dari Ken adalah keberaniannya membuka diri, meski pada akhirnya aku tahu dia hanya membuka sebagian kecil dunia kelamnya padaku. Saat aku tahu betapa berat beban yang dia pikul dan betapa jarangnya dia berbagi pada orang lain, aku merasa jadi satu-satunya yang istimewa di matanya. Rasanya aneh—sekaligus menakutkan—bahwa seseorang seperti Ken bisa mempercayaiku seutuhnya.