Hong, Qilin, dan Dua Negeri

Petrus Setiawan
Chapter #41

Aku Benci Pasrah

Namaku Lim Cen Mi. Di sekolah dan di surat-surat resmi, namaku Naomi Liman.

Aku dan Ken tidak pernah pacaran atau saling taksir. Dia sering curhat tentang cewek-cewek yang ditaksirnya: Rieke, Tjuen Sin, Wati, Mei Hoa, begitu pun aku curhat tentang si Bram, Jo atau si Dede. Kami tak pernah saling cemburu, dan kami bahagia bisa begitu.j Tidak banyak orang yang punya teman tapi tidak pacaran seperti kami, setahuku.

Saat pertama mengenal Ken, kulihat dia sebagai anak lelaki kurus yang seolah tak pernah peduli pada dunia di sekitarnya, bahkan ketika dunia terus memandangnya dengan tatapan menghakimi. Ken begitu pendiam dan cuek, tidak suka menonjol, malah mungkin lebih suka jika semua orang melupakannya saja. Tapi di balik kacamata minus dan bahunya yang selalu merunduk itu, aku tahu ada sisi Ken yang lembut dan tulus. Dia satu-satunya orang yang bisa mendengarku tanpa terganggu oleh hal lain, yang bisa sabar menatap kosong tanpa bosan saat aku berbicara panjang lebar soal apa pun. Meski dia tak selalu punya solusi untuk masalahku. Apalagi masalahnya sendiri.

Yang paling kusuka dari Ken adalah keberaniannya membuka diri, meski pada akhirnya aku tahu dia hanya membuka sebagian kecil dunia kelamnya padaku. Saat aku tahu betapa berat beban yang dia pikul dan betapa jarangnya dia berbagi pada orang lain, aku merasa jadi satu-satunya yang istimewa di matanya. Rasanya aneh—sekaligus menakutkan—bahwa seseorang seperti Ken bisa mempercayaiku seutuhnya.

Dalam diamnya, ada sesuatu dalam Ken yang tidak akan pernah kumengerti sepenuhnya, tak peduli seberapa dekat kami. Aku tahu dia baik hati, tapi entah kenapa aku juga merasa ada kegelapan di balik itu. Mungkin itu yang membuatku tetap ingin berada di sisinya, meski aku tidak pernah tahu bagaimana cara benar-benar masuk ke dalam dunianya.

Lalu, suatu hari, menjelang kelulusan SMA, Ken datang kepadaku dengan wajah yang lebih pucat dari biasanya. Aku tak pernah melihatnya seperti itu. Dia tampak ragu, seakan ada sesuatu yang sangat berat untuk diungkapkan. Kami duduk di bangku di teras rumahku. Angin sore berembus pelan, tetapi kurasakan suasana di antara kami begitu mencekam. Ada sesuatu yang lebih berat dari biasanya di hati Ken.

"Naomi," suaranya serak, nyaris berbisik. "Aku mau cerita sesuatu."

Aku mengangguk, mencoba memberikan kehangatan dalam tatapanku. "Apa pun itu, kamu tahu aku di selalu di sini."

Dia menarik napas panjang, lalu mulai bercerita. Tentang ibunya. Tentang bagaimana selama ini dia tidak pernah benar-benar tahu siapa ibunya yang sebenarnya. Sampai hari itu, saat orang tuanya mengajaknya bicara.

Saat mendengar itu, jantungku mulai berdebar. Aku menelan ludah, mencoba menyerap setiap kata yang dia ucapkan.

Lihat selengkapnya