Hope

Noura Publishing
Chapter #1

1 Luftschloss

Anna tidak terlalu sering membaca cerita misteri. Namun, laki-laki yang dicintainya menyukai jenis karya demikian, dan salah satu favoritnya adalah puisi berjudul “The Listeners” karangan Walter de la Mare. Singkatnya, puisi itu memberikan kesan hantu-hantu di rumah yang lusuh dan tidak terawat, jika tidak bisa dibilang mengerikan.

Bangunan di hadapan Anna sekarang, sepertinya, adalah bentuk visual yang sepadan untuk rumah dalam puisi tersebut.

Hostel itu bertingkat tiga. Miring dan tampak bisa ambruk kapan saja. Tembok-temboknya lapuk dan berlumut, dengan jendela-jendela kotor yang tertutup gorden berwarna gelap. Plang­nya oleng, dengan tulisan yang tadinya jelas berbunyi “Luftschloss Hostel”, tetapi sekarang hanya bisa dibaca “loss Hostel” saja. Pintunya berlubang di bagian bawah, alang-alang tumbuh tinggi di halaman yang dipenuhi buah jeruk busuk dan pretelan mobil tua. Anna tidak mau membayangkan ba­gai­mana mobil tersebut bisa sampai hancur lebur begitu.

Di tengah suhu enam derajat dan hujan rintik dingin yang turun malam itu, Anna bergidik ngeri.

Bukan ini yang dibayangkannya ketika memesan kamar lewat situs resmi hostel di Wina ini. Seolah bentuknya belum cukup menakutkan, hostel ini terletak di dataran tinggi Otta­kring yang sangat sepi dan memiliki hutan lebat di beberapa tempat. Lupakan gubahan indah Tales from the Vienna Woods karya Strauss II. Vienna Woods yang sesungguhnya tidaklah seromantis itu.

Pikiran pertama Anna adalah cepat-cepat kabur dari sana dan memesan kamar di hostel lain. Namun, dia sudah mentransfer 75 euro untuk uang muka menginap selama tiga minggu. Setidaknya, dia harus mendapatkan uang itu kembali sebelum pindah ke hostel lainnya.

Lagi pula, dia memilih hostel ini pun karena suatu alasan. Setidaknya, dia harus masuk dulu untuk menemui resepsionis atau siapa pun—atau apa pun—yang menjaga tempat tersebut.

Mengumpulkan semua nyali, Anna melangkah memasuki halaman hostel sembari menarik koper, berhati-hati melewati alang-alang tinggi, dan berdoa semoga tidak ada ular atau se­suatu semacam itu. Dia meremas tas selempangnya kuat-kuat dengan kedua tangan, menarik napas ketika menaiki undakan depan. Sambil mengernyitkan kening dan meyakinkan diri untuk bersikap berani, Anna mengetuk pintu. Dia berusaha untuk tidak memperhatikan lubang di bagian bawah pintu, tetapi bersiap-siap kalau-kalau ada entah-apa yang menyelinap keluar dari sana.

Anna menunggu. Tidak ada jawaban. Tentu saja. Apa, sih, yang dia harapkan dari hostel dengan wujud seperti ini?

Dia kembali menghirup udara dingin dalam-dalam, mengembuskannya. Kemudian, dengan tangan gemetar ka­rena kedinginan dan ketakutan, dia mencoba menekan gagang pintu ke bawah.

Pintu itu terbuka, berayun ke dalam dengan suara deritan.

Hangat, adalah kata pertama yang terlintas di benak Anna. Dia bisa merasakan sedikit hawa pemanas ruangan yang mengu­ar dari celah pintu. Didorongnya pintu hingga terbuka lebih lebar dan, untuk sesaat, dia hanya bisa melihat gelap. Namun, kemudian, setelah dia memberanikan diri untuk masuk, lampu berwarna kekuningan menyala secara otomatis. Anna melihat garis-garis ruangan yang mirip foyer, meski biasanya foyer tidak akan terlihat acak-acakan seperti ini. Karpetnya sudah bergeser ke sana kemari, kertas dindingnya yang bermotif ulir merah hati sudah mengelupas. Vas bunga di atas meja terguling, airnya tumpah. Di tembok di atas meja tersebut, Anna melihat tulisan “loss” lagi. Dan, di sebelahnya, terdapat sebuah pintu tertutup dengan tulisan berbahasa Jerman, yang artinya “RESEPSIONIS—TOLONG KETUK PINTU DULU”.

Anna mendekat dan mengetuk. Dia masih tidak mende­ngar apa pun, kecuali mungkin suara dengkuran. Dia menge­tuk lagi dengan putus asa. Akhirnya, terdengar suara seorang lelaki yang menjawab dengan malas-malasan.

“Come in.”

Pintu itu mengeluarkan bunyi klik. Anna membukanya, dan disambut pemandangan yang nyaris tidak membuatnya terkejut lagi. Jika halaman rumah dan foyer saja sudah se­kacau itu, wajar jika ruang resepsionis pun dipenuhi sampah, tumpukan pakaian, dan sisa-sisa makanan yang berceceran di lantai.

Yang benar saja, batin Anna, mencoba memercayai sekali lagi bahwa dia kini berada di Austria. Bayangan Anna tentang Austria adalah musik yang indah dan Vienna bread dan The Sound of Music, bukan The Fall of the House of Usher begini.

Mata Anna menangkap sosok seorang lelaki yang duduk di balik meja resepsionis di sudut ruangan. Kepala lelaki itu rebah miring di meja, matanya terpejam. Rambutnya cokelat dan rahangnya tegas. Dia berbalut selimut flanel dan mendeng­kur dalam tidur ayamnya, seolah itu pekerjaan paling wajar yang bisa dilakukan seorang resepsionis hostel.

Lihat selengkapnya