Hope

Noura Publishing
Chapter #2

2 Das Stern3

Yang mengejutkan, Anna berhasil tidur dengan nyenyak. Selimutnya ternyata hangat dan tempat tidurnya pun em­puk, dan satu malam di Luftschloss Hostel berhasil di­lewatinya dengan selamat. Anna mulai berpikir mungkin dia akan baik-baik saja di tempat ini, dan barangkali bisa menginap di sini beberapa hari lagi.

Meski begitu, Anna kembali ragu saat masuk ke kamar mandi yang gelap dan melihat pancurannya, yang membuat dia teringat film Psycho tersohor karya Alfred Hitchcock.

Tubuh Anna sudah lengket dan dia tahu dirinya butuh mandi. Jadi, meskipun ketakutan setengah mati, diputarnya keran pancuran itu, dan dia langsung tersentak oleh sengat­an dinginnya. Anna harus menunggu beberapa puluh detik hingga pancuran tersebut mengeluarkan air hangat.

Tak ada film Psycho, tak ada darah, tak ada pembunuh gila yang mengintip dari balik tirai pembatas. Kamar mandi ini normal, hanya butuh lebih banyak penerangan saja. Anna berpikir demikian, seolah itu bisa menyelesaikan persoalan.

Dia cepat-cepat memakai sweter tebal setelah mandi, kemudian mengeringkan rambut menggunakan hair dryer butut di dekat wastafel. Membutuhkan waktu lama karena panjang rambutnya hampir menyentuh pinggang. Setelah selesai, dia mengamati wajah pucatnya sendiri di cermin. Matanya berbentuk almon mungil, dengan bola mata hitam jernih, tetapi sudah dihiasi sedikit kantong mata akibat ke­le­la­han. Mungkin juga karena akhir-akhir ini dia sering me­nangis. Postur tubuhnya sendiri termasuk tinggi untuk seorang wanita. Berat badannya juga tidak pernah naik meski dia makan banyak sekalipun.

Dia mengambil pouch kosmetiknya, mencari-cari bedak, lalu membubuhkannya sedikit di wajah dan bagian bawah ma­ta. Dia tambahkan lipgloss di bibir tipisnya yang ber­war­na merah muda, sebelum keluar dan mengembalikan pouch-nya ke kamar. Saat dia keluar lagi untuk menuju resto­ran, dia hanya mendapati pantri dan meja makan kosong. Tak ada sa­rapan apa pun, padahal di situsnya jelas-jelas tertulis breakfast included.

Mengembuskan napas lelah, Anna berjalan ke ruang re­sepsionis untuk menemui lelaki kemarin. Lelaki itu sudah bangun, sedang bermain game di ponsel. Ruangannya masih sekacau sebelumnya. Sekarang bahkan ditambahi dua kotak kebab yang sudah kosong.

“Maaf,” ujar Anna tak nyaman. “Sarapannya—”

“Oh, iya,” sahut lelaki itu, tanpa mengalihkan pandang dari ponsel. “Gerda belum datang. Kau tunggu saja. Belum lapar-lapar amat, ‘kan?”

Anna sudah sangat lapar, tetapi dia hanya mengangguk dan menyilangkan kedua tangan dengan canggung di be­la­kang tubuh. Dia bertanya-tanya apakah karyawan di hos­tel ini hanya lelaki ini dan gadis bernama Gerda itu saja. Dia tidak heran kalaupun itu benar—yang membuatnya heran malah kenapa juga masih ada orang yang mau bekerja di tempat seperti ini?

“Hmm, satu lagi,” Anna berkata, mengambil ponsel dari saku celana panjang kain termalnya. Dia membuka aplikasi Notes, membaca ulang catatan-catatan kecil yang sudah dibuatnya sebelum dia pergi ke negara ini. “Apa kau kenal dengan Herr4 Gregoire?”

Lelaki itu mengerjap.

Untuk pertama kalinya, dia mendongak dari ponselnya. Lelaki itu ternyata memiliki mata hijau muda cemerlang. Di bawah cahaya matahari pagi, rambut acak-acakannya terlihat berwarna cokelat muda. Sepertinya dia masih kuliah semester akhir—tipikal lelaki yang tidak terlalu peduli kepada dunia, tetapi jelas agak terkejut saat Anna menyebutkan nama Herr Gregoire barusan.

“Entschuldigung5?” tanya lelaki itu.

“Herr Ilyusha Gregoire. Dia dulu pianis terkenal dan Ph.D. dalam Music Theory, juga membuka usaha hostel di Wina,” Anna menambahkan. “Luftschloss Hostel ini.”

“Ya, aku tahu siapa Ilyusha Gregoire. Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang orang itu?”

“Kalau kau tahu di mana saya bisa menemuinya ….”

“Untuk?” Lelaki itu menyipitkan mata dengan curiga. Anna tidak sempat menjawab, dan lega karena dia tidak perlu menjawab. Seorang gadis berambut merah muncul dan memanggil, “Terry!” lalu memekik terkejut saat melihat Anna.

“Aaargh! Oh …, maaf!” Gadis itu mengelus dada, seolah lega yang dilihatnya ternyata bukan banshee berambut hitam panjang. Anna hanya tersenyum canggung, sudah terbiasa de­ngan itu. “Bagaimana bisa aku mengira kau …,” ujar gadis itu, lalu cepat-cepat menggeleng, “Padahal, kau sangat cantik. Nah,” dia beralih kepada si lelaki resepsionis yang bernama Terry itu, “katamu gaji bulan ini akan ditransfer kemarin. Aku belum menerimanya.”

“Oh iya! Sori, Gerda.” Terry sontak berdiri dan menyam­bar mantel dari gantungan miring di dekatnya. “Aku akan ke ATM sekarang. Oh iya, omong-omong, lady ini butuh sarapan,” katanya sambil mengerling Anna. “Dan, kalau bisa, tolong cek si tua di lantai tiga itu juga. Dia tidak keluar, tidak jalan-jalan, tidak nongkrong di lobi, tidak melakukan apa pun. Semoga dia masih hidup dan, kalaupun tidak, kau bisa menelepon jasa pengangkutan mayat sekarang juga.”

Lelaki itu mengenakan mantelnya. Dia menendangi sam­pah-sampah dan pakaian-pakaian di lantai, berkata “Auf wieder­sehen6!” dengan asal sebelum menghilang dari pandangan.

Gerda berdecak dan menggeleng jengkel. Dia mulai me­munguti kotoran-kotoran di atas karpet.

“Maaf, ya,” ujarnya. “Beginilah hostel kami. Kukira hari ini tidak akan ada tamu seperti sebelum-sebelumnya. Atau ada tamu, tapi mereka langsung kabur dan merelakan uang muka mereka begitu saja. Karena itulah aku tidak menyiapkan ma­kan­an apa pun. Si tua di lantai tiga itu juga tidak pernah sara­pan di restoran hostel ini. Tunggu sekitar tiga puluh menit, oke? Aku akan membelikanmu sarapan di Billa.”

“Mungkin tidak perlu. Saya akan ke sana sendiri saja,” ujar Anna.

“Aduh, aku jadi tidak enak.” Gadis itu mengernyit, me­negakkan tubuh sambil memegang banyak sampah di satu tangan, lalu membuka salah satu laci meja dengan tangannya yang lain. Dia menarik selembar kantong besar dan mema­suk­kan semua sampah ke dalamnya. “Besok aku akan menye­diakan sarapan lengkap, tepat pukul enam pagi. Janji. Dan, besok lusa, akan kubuatkan wafel dan jus jeruk juga untukmu. Kau masih akan menginap di sini, ‘kan?”

Sorot mata Gerda yang penuh harap itu membuat Anna tak tega. “Mmm … hmm ….”

Lihat selengkapnya