“Lalu, hari ini kau mau ke restoran itu lagi?” tanya Gerda esok paginya di depan pantri.
Anna mengangguk.
Gerda menepati janjinya. Dia telah menyiapkan roti putih, roti gandum, selai stroberi, yoghurt cup, keju, sereal, dan telur rebus di restoran hostel. Anna menuang sereal cokelat ke mangkuk, menambahkan susu, dan membawanya ke meja makan. Dia juga mengambil semua makanan dan minuman sedikit-sedikit, lalu mencicipinya satu per satu. Selai stroberi itu terasa manis dan lezat, telur setengah matangnya pun begitu lembut.
“Si laki-laki tua di lantai tiga itu masih hidup,” celetuk Gerda.
“Syukurlah,” ujar Anna lega.
“Tapi, dia tetap tidak mau turun. Aku tanya dia punya persediaan makanan atau tidak, katanya sudah punya. Ya sudah.” Gerda mengangkat bahu, mengambil dua lembar roti dan selai, lalu duduk di depan Anna. “Kau lapar sekali, ya?”
Anna memegang setangkup roti dengan kedua tangan, menggigitnya dengan malu. “Saya sering lupa makan malam,” ujarnya. “Kemarin, seharusnya saya membungkus durum untuk malam hari.”
“Di sini juga jarang ada restoran. Ada kafe, tapi kau hanya bisa menemukan macam-macam kopi dan keik. Durum pun tidak terlalu enak kalau dibawa pulang dan dibiarkan sampai malam hari. Pilihan terbaik cuma pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan makanan, kemudian memasaknya di sini. Kau boleh menggunakan dapur kapan pun kau mau.”
“Terima kasih.”
“Jadi, kau masih kuliah, sudah bekerja, atau ada hal lain yang kau lakukan?” tanya Gerda sambil mengoleskan selai ke rotinya.
“Saya dulu bekerja di butik.”
“Wah. Sebagai apa?”
“Desainer. Tapi, mengundurkan diri bulan lalu. Saya berencana untuk menginap selama tiga minggu di Austria ini.” Anna mengambil cangkir teh dan menyesapnya pelan.
Dia menyukai pekerjaannya, menghiasi buku sketsa dengan pensil warna atau cat minyak, dan mendengarkan arahan dari atasannya atau para customer butik. Desain yang dikerjakan Anna adalah gaun pesta. Dia memiliki kebiasaan mengamati pakaian para tokoh di buku-buku atau film-film bernuansa dongeng; favoritnya akhir-akhir ini adalah kostum dari film Mary Poppins.
Meski begitu, Anna sebenarnya memiliki cita-cita lain. Cita-cita tersebut begitu muluk dan konyol sehingga dia memutuskan untuk tidak menceritakannya kepada siapa pun, termasuk Bintang.
“Kau berhenti dari pekerjaanmu hanya karena ingin pergi ke Austria?” tanya Gerda sambil mengernyit heran.
“Bukan hanya itu. Ada yang harus saya lakukan di sini.”
“Termasuk bertemu Herr Gregoire?”
“Ya.” Anna menatap permukaan lembut yoghurt berry sebelum memakannya. “Tunangan saya … mantan tunangan saya … menggemari permainan piano Herr Gregoire.”
“Lalu?” Gerda sudah selesai melahap rotinya. Dia kini terlihat penasaran, mata cokelatnya melebar di balik poni rambut merah lebatnya.
“Kalau ada hal yang paling diinginkannya dalam hidupnya, itu adalah mendengar permainan piano Herr Gregoire lagi.” Anna meneruskan sarapannya. Dia bisa merasakan Gerda sedang menghubung-hubungkan semua kalimatnya. Dia hanya tersenyum kepada gadis itu sebelum mengalihkan pembicaraan.
“Kau sudah lama bekerja di sini?” tanya Anna.
“Lumayan. Sejak lima tahun lalu.” Gerda bangkit sejenak untuk mengambil secangkir kopi. “Aku beralih dari bekerja sebagai asisten musik Herr Gregoire menjadi pengurus hostel.”
“Kau bisa bermain musik?”