Hopefullove

M. T. Cahyani
Chapter #19

Hopefullove's Chapter 19

Beb, kamu udah sampe di sana?

Beb, gimana kabarmu?

Beb, kamu baru sibuk, ya?

Beb, weekend ini videocall, yuk.

Beb, aku baru ada proyek baru sama temenku. Ada lomba novel dan komik yang aku ikuti. Hadiahnya gede, Beb. Totalnya 500 juta. Aku bikin video teaser sama dance cover bareng dia buat promosi. Ditonton, ya, Beb. 

Beb, kamu sibuk banget,ya? Kok chat-ku nggak di read. 

Beb, read dong chat-ku.

BEB! 

BEB!

PING!

Brian kenapa, sih? Kok, udah lama banget dia nggak ngasih kabar ke aku. Aku udah chat dia tiap hari. Setiap sosial medianya aku kirimi pesan. Tapi tetap aja nggak dibales. Aku bahkan sudah coba kirim email tapi tetap aja nggak ada jawaban. Brian, kamu baru sibuk atau emang sengaja ngilang, sih? gumam Vely. Dia menaruh kepalanya di atas meja lipat itu. Udah, deh. Daripada mikirin Brian mending aku lanjut nulis rangkuman materi, gumam Vely. Dia melanjutkan menulis rangkuman materi pada kertas folio bergaris. Tangan kirinya mulai membolak-balik lagi buku Sistem Informasi Akuntansi yang tebal itu. 

"Zaman udah canggih, masih aja ada dosen yang suruh bikin tugas rangkuman satu bab tiap pertemuan. Mana yang dirangkum halamannya banyak banget lagi. Lebih dari sepuluh halaman dijadikan dua halam folio. Mana cukup!" keluh Vely. 

"Udah, jangan ngeluh. Tulis aja judul, sub judul sama dua kalimat penjelas. Gitu aja repot. Nggak usah dibikin ribet. Paling rangkumannya cuma dikumpulin doang terus diliat sekilas buat dinilai, nggak dibaca detail," sahut Rey. Tangannya juga sibuk menulis kata demi kata dari buku ke dalam kertas folio bergaris. 

"Iya, juga. Mending aku gitu aja, Rey. Kan perintahnya maksimal dua halaman, minimal satu halaman. Untung dosen kita sama meski kelasnya beda." Vely kembali melanjutkan menulis rangkuman. 

"Sudah selesai!" teriak Rey. "Aku mau main game dulu sambil nunggu kamu selesai!" Rey menyalakan layar smartphone-nya. Tubuhnya bersandar pada kaki tempat tidur. Dia mulai tenggelam dalam dunia game. "Yak! Yak! Yes! Kena!" teriakan mulai keluar dari mulut Rey. 

Dasar Rey, kalo udah main game jadi lupa diri. Entah mengapa sejak membuat Hopefullove, aku jadi sering main ke rumah Rey tiap pulang kuliah. Ada untungnya, sih, bisa ngerjain tugas bareng karena dosennya sama meski pun kelasnya beda. Aku jadi anak yang lumayan rajin dan produktif. Habis ngerjain tugas terus cus lanjut bikin komik dan novel. Habis itu latihan nge-dance. Mungkin sampe rencana itu selesai, ini akan jadi rutinitas baru di hidupku. Biasanya selesai pulang kuliah terus jalan sama Brian. Nongkrong di cafe atau mall gitu. Tugas sering ngerjain dadakan atau pas dateline. Brian kan anak jurusan seni rupa. Jadi, dia lebih santai hidupnya. Kok aku ngerasa dulu rutinitasku toxic banget, ya. Beda sama sekarang jadi lumayan rajin, gumam Vely. 

"Akhirnya, selesai!" teriak Vely. Dia nampak memijat-mijat pergelangan tangan kanannya. Tubuhnya dia sandarkan pada rak kecil di dekat tempat tidur Rey. 

"Udah selesai? Ya udah, ayo lanjut bikin komik. Simpan dulu mahakarya tanganmu, nanti lecet atau rusak, bingung sendiri!" Rey segera mengambil dua buah tablet yang tergeletak di atas meja belajarnya. Vely menyimpan buku dan hasil karya tangannya ke dalam totebag-nya. Tablet hitam diserahkan Rey kepada Vely. Vely nampak lihai mengoperasikan tablet itu dengan bantuan stylus pen. 

"File-nya udah kamu kirim kan, Bos?" tanya Vely. Dia mulai terbiasa memanggil Rey dengan sebutan itu. 

"Sudah, Hime," sahut Rey. Dia memanggil Vely dengan sebutan hime. Hime artinya tuan putri dalam bahasa Jepang. Vely nampak tak protes dengan panggilan itu. Dia memusatkan pikirannya pada tablet. Vely mulai memgecek notifikasi file diterima. Dibukanya file yang baru saja dikirim oleh Rey. 

"Bos, jangan lupa putar lagunya Miku!" pinta Vely. 

"Iya, Hime. Sebentar, ya!" sahut Rey. Rey menyalakan speaker musik yang ada di kamarnya. Lagu-lagu dari para virtual idol mulai terdengar. 

"VEL! Berita bagus!" teriak Rey. "Liat, nih!" Rey menunjukkan layar smartphone-nya ke arah Vely.

"Apa?" Vely menatap ke arah smartphone itu. "Hah? Komik dan novel kita masuk ke daftar populer 20 besar minggu lalu? Wah, Rey ini keren banget! Sumpah! Padahal kan yang ikutan banyak banget!" Vely tersenyum bahagia. "Kamu kenapa, Rey?" tanya Rey. Rey nampak berurai air mata. "Kok kamu nangis? Sabar ya, emang belum rejeki kita buat masuk ranking 10 besar," hibur Vely. 

"Ini air mata terharu, tahu!" Rey melepas kacamatanya. Dia mengusap air mata itu. "Baru kali ini karyaku bisa masuk daftar 20 komik dan novel palimg populer di aplikasi itu. Berarti karyaku ehm ... maksudku karya kita disukai dan dibaca banyak pengguna. Ini pencapaian yang besar buatku selama mencoba terjun di industri kreatif digital."

"Iya, memang semuanya membutuhkan proses, Rey. Apalagi ini industri kreatif. Industri dimana setiap produk karya dinilai berdasarkan selera masing-masing individu. Tidak ada patokan baku tentang bagus tidaknya karya. Itu semua tergantung selera masing-masing. Udah, ah. Aku mau lanjut coloring. Ayo, Rey, kejar target. Nanti kalo kita telat update, para pembaca kabur lagi. Kan harus nunggu proses kurasi juga!" ujar Vely. Dia mulai memusatkan pikirannya pada layar tablet. Nampak panel-panel cerita komik yang belum diberi warna dan efek. Tangan Vely dengan lincah menggerakkan stylus pen itu. Dia mulai hafal terhadap menu-menu yang harus dipencet dalam proses coloring pada aplikasi menggambar komik tersebut. 

"Iya, benar. Cuss, kejar target upload dua kali seminggu!" ujar Rey dengan semangat. Dia kembali melanjutkan proses lining

"Oh, iya! Hari ini kan pemgumumannya!" Vely teringat sesuatu. Dia segera menyalakan sambungan internet pada tablet itu. Browser segera dibuka Vely dengan stylus pen itu.

"Apa, Vel? Kok, kamu tiba-tiba jadi heboh? Ada apa, sih?" 

Lihat selengkapnya