OPUS UTOPIA
“Hari ini waktu berhenti di Jakal km 23”
Laporan langsung dari TKP, kebakaran telah melahap habis House of Quotes. Didapati seorang saksi mata dengan inisial KR yang mangatakan bahwa ada 5 orang bermasker ski masuk ke dalam sekitar pukul 14.00. Ketika itu juga suara tembakan membuyarkan masa. Pengunjung berhamburan ke jalan. Sementara itu, api menyala di taman, di tengah-tengah House of Quotes. Sampai saat ini tidak ada laporan adanya korban jiwa. Akan tetapi, terdapat sebuah tembok hangus di dekat pintu masuk yang dicat kuning bertuliskan.
Arkaan adalah dalang para teroris. Wisata ini telah membiayai pembunuhan.
Diduga tulisan ini dilakukan oleh pelaku pembakaran. Di lain pihak, aparat juga masih mencari keberadaan Arkaan. Namun, sudah 3 hari ini ia tidak diketahui keberadaannya. Bahkan, di sisa-sisa puing House of Quotes, belum ditemukan tanda-tanda ada jenazah Arkaan. Polisi menduga Arkaan tidak ada di lokasi ketika kebakaran ini terjadi.
“Sekian laporan langsung dari Jalan Kaliurang Kilometer 23.
Saya Tengku Afnilita melaporkan langsung dari lokasi”
Channel 25 Yogyakarta.
**
Terdengar suara langkah kaki yang tak asing di telingaku. Pintu rumah terbuka pelan-pelan, lalu menutup lagi. Kututupi layar telivisi. Harapanku, ibu tidak akan mendengar sepatah katapun reportase tadi. Semoga, ibu juga tidak melihat secuil gambar pun dari layar yang kututupi ini. Namun…
“Kamu sedang apa Alya?”
“Ah… tidak apa-apa Bu… sedang bersih-bersih layar televisi saja.”
“Mana ada bersih-bersih tangannya di belakang, mukanya ke depan!? Mencurigakan.”
“Ibu sudah jadi menjenguk Inyiak Fatimah?”, maksudku mengalihkan.
“Bukannya kemarin kita sudah ke sana bareng suamimu ya? Ngomong-ngomong di mana Fahmi? Aku ingin memintanya megantarku ke showroom di pantai Padang” ucap ibu. Aku berhasil mengalihkannya. Mungkin. Hanya saja bahasan ibu tidak seperti yang kubayangkan.
Biarlah. Nafasku menjadi ringan. Ibu sudah tidak mempertanyakan apa yang kulakukan, pikirku. Kukedipkan mata hampir dua puluhan kali. Sedikit kuregangkan badan, hampir tak terlihat oleh mata. Tangan kananku menunjuk ke arah loteng. Suara palu yang menggenderamkan tembok dan paku-paku yang gemerincing mulai terdengar. Ibu menoleh sedikit, ia tahu dari mana suara itu berasal dan siapa yang membuat suara itu. Namun…
“Alya… apa yang kamu lakukan?”
Kenapa ibu bertanya lagi. Kali ini suaranya lirih. Matanya berkaca-kaca. Urat-urat merah mulai berakar di bola matanya yang putih. Pupilnya yang tadi coklat telah menghitam sepenuhnya. “Alya membersihkan layar televisi Bu”, mukaku hanya datar ketika mengucapkannya. Aku seperti kehabisan kata-kata. Alasan-alasan yang tadinya terekam seperti lenyap seketika. Saat itu, aku kembali menjadi gadis kecil lugu yang baru mengenal Ibu Kirana dan Papa Arkaan. Lusuh, pemalu, dan berucap sekenanya.
Keringat menetes dari dahi ibu. Air mukanya tidak berubah. Kerutan-kerutan di dahinya justru bertambah. Kulihat ke mana bola matanya terarah. Baru aku sadar, ibuku melihat celah dari tangan kananku yang terangkat. “Itu, Opus Utopia…”. Hanya itu yang dikatakannya. Ia kemudian lari ke teras. Ia duduk di depan taman rumput. Bahunya lunglai. Telapak tangannya bersandar di rerumputan. Ia pandang sekeliling. Ia menghela nafas panjang, ibarat perempuan yang lelah setelah berlari mengelilingi alun-alun kota. “Nak… ayo pesan tiket. Malam ini juga kita harus terbang ke Jogja. Besok ibu harus menuju ke House of Quotes. Ah tidak, tempat itu kini tinggal reruntuhan”, ucapnya dengan air mata yang telah basah di pipinya.
Aku mendekatinya. Memeluknya dari samping. Ibu pelan-pelan menyandarkan dagunya di bahuku sambil membalikkan badannya – memelukku. “Dulu… sebelum ibu bertemu denganmu, ibu selalu melihat papa Arkaan yang tak pernah kehilangan semangat menggapai mimpinya. Mungkin, dia pernah jatuh. Ibu jarang berada di sisinya, namun ia selalu bisa menghibur ibu. Barangkali, aku melihat keluasan dunia dari dia Nak. Lalu, kami bertemu denganmu. Dunia yang luas itu tiba-tiba terangkum dalam dirimu. Kau tahu apa yang Arkaan katakan di Jalan Monjali kala itu?”
Suara tangisnya perlahan menghilang, namun air matanya tak berhenti mengalir. “Saat itu, aku tak tahu apa-apa Bu… yang kuingat cuma ayam goreng dan segelas jus mangga dan es degan yang kalian berdua belikan,” jawabku lirih. Kuelus kepala ibuku yang tak punya daya dan mencoba menahan untuk bersandar terlalu lama di bahuku.
“’Selama ini aku menulis dunia yang kulihat, mungkin darinya aku akan bisa menulis dunia dari semua mata’ itu yang diucapkannya Nak. Saat itu aku tak mengerti apa maksudnya, tahu-tahu besok kau sudah ada di depan House of Quotes. Ah, tidak, saat itu, House of Quotes belum sepenuhnya jadi.”
Ibu terus saja bercerita. Tetes-tetes air mata seperti rol film yang berisi adegan-adegan di masa lalu. Beberapa ceritanya tak kumengerti, tak kuketahui. Aku baru mengenal Ibu dan Papa di usiaku yang kesepuluh. Aku bahkan tak mengenal tahun berapa itu. Baru beberapa bulan saat aku hidup bersama mereka berdua, aku tahu itu adalah musim hujan, bulan kedua, 2017.
***
“Na’… apa kau tak merasa aku ini lelaki yang aneh? Mungkin juga plin-plan.”
“Maksudmu Kal?”
“Dulu… dalam posisi seperti ini juga. Malam hari itu, aku menemuimu. Kukatakan bahwa setelah berakhir tidak akan kembali lagi. Eh, enam bulan kemudian aku kembali lagi dengannya.”
“Iya loh… kamu gak punya pendirian. Katanya kalau udah putus ya gak balikan lagi. Lalu, kenapa sekarang? Alasan klise lagi po? Gara-gara orang tua?”
“Hmmm… ah elah.” Aku kehilangan kata-kata, tak punya alasan. Aku diam kemudian. Seperti film romansa yang menghentikan pandangannya ke langit tersebab tak mampu berkata-kata lagi.
“Kangen ya dengan Ira?”
Aku masih diam.
“Bercanda Kal… sudah-sudah, kamu sahabat terbaikku, aku masih di sini. Lagian, memang begitulah cowok. Lupakan melankolia yang kita bahas ini. Bagaimana dengan House of Quotes?”.
“Begitulah cowok? Lupakan melankolia? Bahasamu menjadi lebih menarik Na’, tapi ini sedang hujan Na’. Bukankah melankolia selalu datang di saat seperti ini? Weekkkk…” kujulurkan lidahku – sedikit mengejek, “Pembangunannya kayaknya bakal mundur sekitar 3-4 bulan Na’. Semesta itu kadang seperti ini ya? Kalau manusia sedang resah, pekerjaannya pun ikut resah”. Kulirik langit. Kusruput seduhan kopi Menoreh sembari mengingat potongan kisahku, Kirana, Roni, dan Rani. Saat itu hujan di Mei 2015, ketika kami baru saja lulus. Kopi inilah yang mengingatkanku. Dulu, kami meminumnya di Kembang Soka. Di tanah itu, di bukit itu, dan di air terjunnya yang mengalir kebiruan. Namun, kini, Februari 2018, tinggal aku dan Kirana yang meminumnya, bukan di Kembang Soka lagi, tapi di Monjali.
Pada sebuah kafe dengan jeruji-jeruji besi seperti penjara. Dari luar tampak ada tembok kayu dengan ventilasi persegi layaknya tempat pelaporan pengunjung penjara. Di dalamnya, setiap meja dikurung dengan jeruji hitam dengan luas yang beragam. Di setiap kurungan ada jendela setengah badan manusia – juga tertutup jeruji besi. Orang-orang lebih mengenal kafe ini sebagai Kafe Napi. Aku dan Kirana menyebutnya sebagai Sangkar Burung. Di kafe ini kami sering bertemu, berempat, berdua, atau bertiga. Kami hobi bercerita semua yang ingin kami ceritakan di sini. Kemudian kami menjelma burung yang berkicau berbaur dengan berbagai kicauan lainnya dalam kurungan ini. Ketika kami keluar dari kafe ini, kami kembali menjelma burung yang bebas terbang memilih langitnya.
Perkamen-perkamen ingatan itu kuhentikan, “Bagaimana dengan tasmu Na’?” ucapku mencoba membalas pertanyaannya tadi.
“Alhamdulillah… masih lancar berproduksi. Sekarang aku udah mulai mencoba gaya-gaya Mediteranian yang ku-merger dengan kekhasan etnis Indonesia. Yah, semoga tahun depan bisa kuikutkan fashion show di London….” Ia menghentikan ucapannya di saat ia tak benar-benar ingin berhenti. Ucapannya bukan titik atau koma, suaranya mengambang di akhir. Ia sruput kopi Menoreh-nya. Ia angkat smartphone di samping mendoan bakarnya. Sepuluh sampai lima belas detik ia gerakkan tangannya di atas layar ponsel itu. “Aku sebenarnya pengen Kal… ketika ada fashion show nanti, kita semua bisa kumpul kayak dulu lagi.”
“Baru saja aku mengenang kita berempat dulu Na’. Eh, kamu ternyata juga sama. Tapi, kayaknya…”
Duarr. Duarrr. Duarrr.
Suara petir itu menghentikan ucapanku. Pandanganku terhenti pada kilatan yang jatuh sampai menyentuh tanah di seberang jalan, tepat di depanku. Asap mengepul di sekitar kilatan itu. Motor-motor dan mobil-mobil masih melaju sebagaimana biasanya. Orang-orang berlarian berlindung dari tetes hujan. Ada pula yang sengaja berjalan di bawah hujan, membiarkan air-airnya menetes-membasah. Tukang-tukang becak bersliweran dengan mantel plastik warna-warni. Orang-orang di angkringan tepat di sebelah petir itu pun masih saling bercengkrama di temani beberapa batang rokok. Mereka membiarkan kepulan asap itu tetap kepulan asap. Tidak ada yang mengitarinya, mencoba mencari cerita seperti ketika ada kecelakaan di jalan.
Mendung semakin abu-abu. Tetes-tetes air langit terjun membasahi mereka yang berjalan di atas bumi – di hadapanku. Semakin kulihat para pejalan berlarian mencari tempat teduh. Beberapa dari mereka duduk diam di bawah atap Sangkar Burung. Dari kejauhan, mereka yang basah berlari, sepuntung rokok terapit bibirnya, mungkin hangat asapnya menyelimuti tubuh mereka yang dingin oleh hujan. Para pengendara roda dua sudah siap dengan jas-jas hujannya yang berkelabatan, seperti kelelawar, atau yang hanya sepasang di tubuh. Klakson-klakson mobil ikut menjadi nada-nada di sekitar deras hujan yang membunyikan besi, membunyikan jalan, dan memancing hentakan-hentakan kaki – berlarian.
“Kal… aku mau wa[1] Yola, tapi hapeku mati tiba-tiba. Batreinya habis kali ya? Hapemu masih nyala dan ada kuota gak?”
Mataku masih terpatri pada kepulan asap di seberang jalan. Entah, hatiku mengharapkan akan ada sesuatu yang menakjubkan kutemukan di balik kepulan asap itu. Mungkin, itu petir Zeus yang jatuh dari langit. Atau, jangan-jangan malaikat penjaga hujan tangannya terpeleset sehingga pusaka penghasil petir terjatuh di bumi. Sebab kekuatannya yang besar itu sehingga tak semua manusia bisa melihatnya. Khayalanku tak berhenti. Sedikit, aku berharap ini adalah sebuah kenyataan fantasi yang biasanya kusaksikan dari film-film Hollywood.
Kulihat sekelilingku. Waktu telah membatu. Orang-orang di sekelilingku telah berwarna abu-abu. Kopi-kopi yang akan diseduh oleh barista itu berhenti mengalir – seperti ombak yang membeku di atas cangkir. Wajah-wajah di sekelilingku berhenti pada berbagai gerak bibir mereka. Ada yang mulutnya menganga. Ada lelaki yang hendak memberikan kecupan pada kening seorang perempuan di meja samping jeruji dengan jendela kaca sebadan manusia. Ada perempuan yang mulutnya terlipat dan tangannya menunjuk tegas pada lelaki di depannya, sementara tangannya yang lain menyentuh dadanya. Aku berjalan di sekitar mereka. Kulihat yang masih berwarna hanya diriku dan cahaya yang berpendar – terkurung di dalam asap – di seberang jalan.
“Waktu yang berhenti di sekitarmu dan kau pun bisa berjalan di sekitar waktu. Kau bisa menjadi burung yang terbang di antara waktu – di berbagai waktu”
Suara itu terdengar bersamaan dengan munculnya sesosok anak kecil berambut hitam sepunggung berbaju putih. Tanah-tanah basah luntur di bajunya. Asap yang melingkunginya pelan-pelan menghilang. Matanya bersinar di antara tetes-tetes hujan yang berhenti di udara. Ia melihatku. Tiba-tiba saja, ia jatuh terkulai. Sinar matanya padam. Hujan kembali menetes dan membasah. Aku berlari.
“Pinjem ya Kal…KALAAAA !!!” teriak Kirana. Aku tetap berlari. Kendaraan-kendaraan yang hendak lewat berhenti mendadak. Mereka melihatku berlari tergopoh-gopoh. Beberapa dari mereka geleng-geleng. Beberapa lagi mengumpat. Beberapa lagi tak tahu apa yang kulakukan. Segera kuangkat anak kecil itu. Dari pakaiannya ia seperti pengemis yang biasa mangkal di pertigaan Gejayan. Hanya saja, perempuan kecil ini memiliki kulit yang putih bersih. Hidungnya selancip pensil selesai diraut. Bibirnya yang tipis terhias tahi lalat kecil di ujung kiri atasnya. Waktu yang tadi sempat berhenti mungkin terjadi karena ia jatuh dari langit dan terbangun. Petir tadi, mungkin bukan sembarang petir. Aku sendiri tak tahu apa saja yang tadi sempat terjadi. Pikirku, anak ini pingsan dan butuh perawatan, ini yang penting.
Seorang putri kecil telah terkulai pada gendonganku. Matanya terpejam menyisakan sinar kecil. Tangannya yang putih jatuh. Kusentuh pergelangan tangannya yang ikut jatuh. Detak jantungnya masih normal. Aku berlari ke sebarang. Kirana melihatku dengan mata terbelalak penuh tanya. Sesampainya pada sangkar burung tempatku dan Kirana, suara yang tak asing bagi si lapar terdengar keras. Suara itu datang dari perut anak ini.
“Anak siapa ini Kal? Kamu nyulik dia dari mana? Jangan-jangan kamu jadi pedophil gara-gara abis putus? Ayo kita bawa ke polisi saja Kal!” Kirana panik dan ucapannya serampangan. Ucapan itu tak berhenti, semakin lama, semakin tak karuan ucapannya.
“Na’… Selama ini aku menulis dunia yang kulihat, mungkin darinya aku akan bisa menulis dunia dari semua mata.” Entah, kenapa kalimat itu yang muncul pertama dari mulutku.
“Jangan main-main kamu Kal… ini anak orang!”
“Tadi aku berlari ke seberang sebab aku melihatnya tergeletak di sana. Dan, aku gak pedhophil ya, putusku udah setahun yang lalu.”
“Jadi, kalau gak setahun bisa jadi pedhophil gitu? Ah, sudah-sudah. Terus mau kamu apakan dia?”
“Aku akan merawatnya Na’. Bantu aku ya!”
“Ihhh… aku gak mau repot-repot ya!”