FREKOPF WATCHMAKER
“Waktu adalah aliran sungai yang bermuara di lautan”
Sudah sejak 27 November 2011 aku begitu terbiasa dengan deru angin kereta Jogja-Surabaya diakhiri muaraku di Madura. Itu ketika, enam bulan yang lalu aku berhenti mendengar suaranya. Lenting lembut perempuan berdarah Solo yang selalu menungguku di depan kelasnya di jam istirahat. Pada akhir tahun, ia cukup berhenti di bangku tengah kelas XII-A. Kini, letak kami adalah barat dan timur, darat dan laut.
Aku tak pernah memilih jalur Suramadu. Sebab, aku tak ingin berkendara di atas laut. Sebab, berlayar sejenak di atas ombak yang menggoyang adalah hikmah dari laut. Akhir tahun ini, pelabuhan Tanjung Perak kembali menyambutku. Keroncong Jawa Tanjung Perak dengan irama Surabaya dan pelabuhannya. Selalu itu, yang berputar di interkom ketika panggilan naik ke atas kapal selesai dilayangkan. Hari ini aku menaiki Feri Gadjah Mada. Sudah seperti kampusku saja. Para penjual minuman, kacamata, dan beberapa penganan telah siap di tengah-tengah tempat duduk penumpang. Kupilih Roti Maryam, roti yang dikenalkannya padaku 27 November lalu. Roti yang mengantarkan kami ke kebun binatang dan kecup manis kerinduan.
Angin mengibas-ibaskan rambutku yang sesumbu. Perjalanan ini tak lama, hanya 15-20 menit ketika air tenang dan hanya satu jam ketika angin mulai ribut. Bagaimanapun, ini laut dengan segala ancaman yang menanti di ombaknya. Namun, aku tak pernah bosan melihat dayu-dayu air laut dan burung-burung yang berkitar di langitnya. Yah, di secuil selat tak bosan juga kulihat usaha manusia merusak dayu-dayu air laut. Selalu terlihat, bekas-bekas minyak berpelangi memantulkan cahaya selesai tertetes tak sengaja dari cerobong kapal. Atau, sebuah kebocoran mesin yang bahkan tak diketahui. Ubur-ubur oranye menari di atasnya – memecah pelangi yang bebercak di lautan itu. Hingga pada gelombang air yang semakin berlumpur krem kecoklatan, aku telah sampai di Pelabuhan Kamal. Mereka yang tukang ojek dan supir angkot telah siap membentuk barisan alakadarnya. Teriakan-teriakan mereka sudah sampai di telinga kami, para penumpang, sebelum jangkar selesai diturunkan.
Aku turun. Langit masih menutup senyum matahari dengan awan-awan kelabu. Musim belum kering. Terik pulau ini jadi tak begitu terasa. Kunaiki sebuah angkot kuning arah Trunojoyo. Di sanalah, di batas sebuah persimpangan, mobil ini akan menurunkanku. Pada ujung persimpangan ini pula berdiri kokoh jejak Raja Trunojoyo yang namanya tercatat sebagai sebuah Universitas yang belum lama menegerikan dirinya. Kuikuti jalan pafing menuju ke arah Universitas Trunojoyo. Sampailah aku pada sebuah pertigaan yang tampak di gang-gangnya tertata rumah-rumah kontrakan dan indekos.
Kertas terbang tertiup angin. Daun jatuh di antara jalan-jalan dan gang-gang. Percik air dari batu yang terpantul roda motor. Lima puluh langkah ke utara dari pertigaan itu kutemui sebuah rumah bercat ungu pudar dengan aksen warna kuning kecoklatan yang juga pudar pada pintunya. Dua jendela persegi panjang berbaris sejajar di sebelah pintu. Sebuah jendela bulat pada sebuah kamar yang menonjol di sebelah utara pintu. Suara air mengalir dari kran di sebelah rumah. Sebuah bak penuh dengan pakaian telah berbusa. Airnya tumpah dari bak itu. Seorang perempuan yang duduk di sebelah bak itu membiarkan air itu luber mengalir pada petak-petak semen di teras rumah. Rumput-rumput yang mengisi celah-celah di petak-petak semen itu pun termandikan lengkap dengan busa sabun membersihkan pori-pori klorofilnya. Kubiarkan diriku berdiri di balik pagar. Pakaianku telah kusut dan aroma bahan bakar bercampur di kerah jaketku. Bola mataku masih sayu memandang perempuan itu lekat – membayang wajahnya tepat di depan hidungku.
“An…”, kupanggil perempuan yang duduk di sebelah bak itu.
“Kala…”, sambut dia. Ia membuka pintu pagar, membiarkan air mengalir memenuhi setiap celah petak-petak semen. Ia menghampiriku. Sebuah senyum simpul terpahat di wajahnya. Senyum yang juga mengalir di setiap detak-detik–jauh-dekatku dengannya.
***
Suara teriakan itu melengking di telingaku. Sementara deburan ombak memantulkannya ke semua arah. Bulu-bulu hitam dan putih beterbangan, jatuh terciprat ombak. Petir menyambar memecah awan. Langit gelap tak berbintang. Angin menghembus memecah petir. Pada pecahan petir itu kulihat sebuah kapal layar. Seorang lelaki dan seorang perempuan sedang berusaha membenahi layarnya yang goyah. Seekor burung kecil ikut terbang bersama mereka. Ia mencoba hinggap pada lengan si lelaki, namun angin menerpanya. Ombak menamparnya. Burung itu terlempar ke arahku. Splash… Brakk…
“Papa Kala… bangun Pa… Papa nggak dengar suara itu?”
“Ah… burung… burung itu membutakanku!”
“Burung? Nggak ada burung di sini Pa! Bangun Pa! Suara itu terus berbunyi.”
Masa tubuhku serasa bertambah 30 kilo. Aku ingin membuka mata, tetapi terasa sakit dan pedih. Pipiku juga merasakan panas. Wajahku serasa basah oleh cipratan air. Apa aku benar-benar di atas laut tadi? Seberkas cahaya menyilaukan mataku. Setengah, kelopak mata ini telah terbuka. Kulihat Alya duduk di atas perutku. Ia menampar-nampar wajahku. Titik-titik ludah terciprat dari mulutnya yang tipis. Kurasa, aku tahu dari mana rasa sakit di mataku ini berasal.
“Alya… bisa turun sebentar!”
“Pa… dengar suara itu Pa? Suara itu membangunkanku.”
Ia tak menghiraukanku. Sudahlah. Kuraba-raba lantai di sebelah kasurku. Kutemukan ponsel kecilku. Kulihat pada waktu digital yang ditunjukkannya. Masih pukul 02.30. Plakk. Suara itu membuat pipiku semakin terasa panas.
“Baik Alya… baik! Akan kucari suara yang menggangumu itu.”
Ia pun bangkit dari tubuhku. Berat badanku berkurang seketika. Ia membuka pintu dan membiarkan cahaya dari ruang tamu masuk mengisi setangah ruang kamarku. Cahaya yang ditimbulkannya membuka sisa kelopak mataku yang belum terbuka. Kuambil kacamata di atas lemari. Kuminum segelas air. Aku kembali utuh sebagai manusia. Indra pengelihatan dan pendengaranku telah aktif dengan sempurna. Sekarang, suara apa yang Alya maksud.
Aku keluar dari kamar. Iya, aku mendengarnya. Suara detak-detik yang terdengar mengisi seluruh ruang di rumahku. Juga, terasa begitu dekat. Biasanya, malam memang membiarkan suatu suara berbunyi lebih bebas daripada di siang hari. Saking bebasnya sebab tak ada suara-suara lain yang menghambatnya. Aku mendekati dinding ruang tamu sebelah utara yang terpasang di atasnya setinggi dua meter dari lantai, sebuah jam dinding berdiameter 40 cm. Suara detak-detiknya terdengar nyaring. Namun, iramanya tak senada dengan detak-detik yang mengisi seluruh rumah ini.
Aku menuju kamar Alya yang tepat di balik kamarku. Dulunya ruang itu adalah gudang kecil tempatku menyimpan buku-buku dan barang bekasku lainnya. Seminggu sebelum Alya terjatuh dari langit, Aku dan Kirana menata ruangan ini menjadi sebuah perpustakaan kecil. Bingkai-bingkai tertata zig-zag di dinding sebelah pintu. Di sana kami kenang jejak-jejak perjalanan kami, juga Rani dan Roni. Sementara itu, di balik pintu, dengan balok-balok kayu yang terpaku menjadi sebuah tangga portable menempel – buku-buku tersusun di setiap anak tangganya. Di depan rak bertangga itulah kuletakkan sebuah kasur busa untuk Alya. Sebuah jendela yang senantiasa menangkap cahaya matahari tepat 30 cm di atas kasur busa itu – bersiku dengan bagian kepala.
Kulihat pada rak buku. Aku ingat di sana ada sebuah jam waker kotak seukuran bingkai 3R. Mungkin, suara detak-detik ini berasal dari jam itu. Jika iya, maka pantaslah Alya terbangun dari tidurnya. Mungkin, telinganya terlalu peka dengan suara malam. Kunyalakan lampu kamar Alya. Kudekati jam waker itu. Detak-detik itu seirama dengan yang kudengarkan. Tetapi, kini ada suara yang bebarengan. Detak-detik itu seperti berpindah dari ruang ke ruang lainnya.
Kulihat galeriku di sebelah ruang tamu. Batas galeri dengan ruang tamu hanya tertutup tirai. Dua hari yang lalu pengerajin Kasongan membawa dua puluh jam yang kupesan. Jam-jam itu terdesain dari kayu Mahoni, Fiberglass, kaca, dan disc bekas. Seharusnya besok jam ini akan diambil pemesan dari Magelang. Ketika kudekati jam-jam itu, aku tak melihat ada baterai terpasang di mesinnya. Suara detak-detik itu masih terdengar. Iramanya semakin tak menentu. Tik-tok-tik-tok… tik… tok… tik… tok.
Kubuka tirai di galeri malam itu. Sengaja tak kunyalakan lampu. Pikirku, suara detak-detik ini berasal dari sebuah jam besar kampung yang terletak 75 meter di utara rumahku. Di sebelahnya ada sebuah gardu. Kulihat dari celah tirai yang hanya kubuka selingkar mata. Tiga pasang kaki berselonjor menggantung dari lantai gardu ke tanah. Selimut sarung hanya menutupi kaki-kaki itu sesenti di bawah lutut. Tiga cangkir kopi yang tersisa ampasnya tergeletak horizontal, membercak kehitaman di ambangan kaki mereka. Suara detak-detik jam itu begitu dekat. Jam besar sejauh 75 meter itu apakah mungkin sedekat ini?
Dini hari yang kemudian mengingatkanku pada sebuah pertemuan dengan Mbah Yanto. Sebuah perjalanan bus dari Ngawi ke Jogja. Pria tua itu duduk di sebelahku dari terminal Sragen. Cerita-cerita mistis ia sampaikan, sebuah perjalanan penjajakan alam di luar kehidupan manusia di berbagai Gunung di Jawa dan Bali. Jin merah dan Jin putih. Angin dingin dan lembab berhembus mengibaskan tirai yang kupegang. Angin itu membuat rambut di lengan dan punggungku berdiri – bergetar. Pikirku, jika saja suara detak-detik ini berasal dari dimensi lain atau dari Mbah Yanto, maka akan kutemukan pria atau seseorang yang berjalan – ditemukan selingkar pandangku. Namun, yang ada hanyalah sekelebat, dua kelebat, tiga kelebat, motor-motor yang dikendarai para pemuda yang mengabdikan hidupnya untuk malam. Para nokturnal.
Namun, ini bukan Mbah Yanto. Aku yakin. Aku bahkan belum memanggilnya. Mungkin, ini memang sedikit nostalgia tentangnya. Tapi, bukan itu yang terjadi sekarang. Cerita Mbah Yanto adalah cerita setahun silam. Cerita yang kucatat pada perkamen lainnya di buku biruku. Kututup lagi tirai tokoku. Kutata kembali jam-jam yang tadi sempat kuberantakkan. Kubalikkan badanku. Dunia berhenti di kelopak mataku. Deja vu. Ingatanku kembali pada kejadian di Sangkar Burung. Dan, detak-detik itu seolah memancar ke setiap sudut yang kulihat.
Debu-debu mengambang di udara. Mereka berhenti tak tertiup. Para serangga, agas-agas, membeku sebelum menyampai lampu LED di ruang tamu. Tirai yang berkibar karena kubuka berhenti pada lekukan terakhirnya. Nyamuk-nyamuk bertengger di titik-titik debu. Seekor nyamuk berusaha lari dari seekor cicak yang lidahnya tepat membeku di ujung salah satu sayap nyamuk. Mereka mematung di sebelah jam dinding. Alya mengambang di udara, di tengah-tengah mereka yang membeku. Seolah terbentuk bola dengan Alya sebagai pusatnya.
“Papa… aku bisa terbang! Lihat ini!”
Sekitar sepuluh detik aku tak berkedip. Mulutku ternganga. Rambut di seluruh tubuhku berdiri. Kejadian apa ini. ingatanku kembali melayang pada film-film Hollywood. Sebuah kejadian kerasukan yang menyebabkan korbannya dapat melayang di udara, Exorcist, Insidious, atau Constantine. Kuberanikan diriku mendekati Alya. Kucoba menghapus bayangan-bayangan film-film horor tadi. Alya tersenyum, bahkan tertawa. Kelopak matanya tidak menghitam. Pikirku, dia normal untuk jenisnya. Bahkan, aku belum tahu manusia jenis apa Alya ini.
“Papa… ayo ikut terbang Pa!”
Kuangkat tanganku. Kucoba menggapai Alya – menurunkannya. Bukannya turun, Alya memegang erat tanganku. Sejenak, aku sudah sejengkal di atas lantai. Napasku terpatah-patah. Keringat dingin mengalir di keningku. Suara detak-detik itu berubah menjadi rasa panas di lengan kiriku. Pelan-pelan kulihat lengan kiriku sembari menahan kestabilan tubuhku di udara. Alya menarikku lebih tinggi. Kini aku sudah satu meter di atas lantai. Suara detak-detik itu pun berubah – bertambah.
Sebuah gerak roda gigi dan gesekan rantai terdengar menjadi melodi di antara setiap detak-detik. Apa yang terjadi dengan lengan kiriku? Satu meter di udara. Aku melihat roda gigi bergerak di pergelangan tanganku. Roda-roda gigi itu menyatu dalam sebuah jam saku yang di atasnya terdapat detak-detik waktu. Sebuah rantai bergerak memecah – mencabik-cabik kulit dan dagingku. Itu yang kurasakan. Rantai itu mengikat leher pengatur waktunya. Pelan-pelan, rantai itu semakin memanjang dan berliuk-liuk di pergelangan tanganku, melingkar seperti gelang. Gerakan itu tak berhenti. Ia berputar spiral hingga terikat sampai sikuku.
Tiba-tiba, dari lubang-lubang rantai itu muncul bola-bola hitam. Mereka memantul-mantul di kulitku. Bola-bola itu kemudian menjadi burung-burung walet kecil dan bertengger di beberapa lubang rantai. Mereka berbaris zig-zag artistic, terisilah setiap ruang dari pergelangan hingga siku lenganku. Panasnya memerahkan kulitku. Gerak-getar roda gigi di jam saku menyayat lenganku. Dan, muncullah bola yang lebih besar dari tengah-tengah roda gigi terbesar. Bola itu juga berubah menjadi seekor walet. Ia beterbangan di lenganku. lalu, ia berhenti di bagian dalam penutup jam saku. Ia mematuk-matuk bagian penutup itu. Rasa patukannya seperti tusukan jarum-jarum pentul. Terbentuklah tulisan “Temps”. Lalu ia bertengger di atas tulisan itu – mengepak-epakkan sayapnya, membuka paruhnya, dan membatu. Semua pergerakan itu berhenti menjadi sebuah gambar dua dimensi – tato di lengan kiriku.
“Papa… kakimu mengecil dan bercakar Pa!”
“Apa lagi ini? apa yang terjadi padaku Alya?”
Tubuhku pelan-pelan mengecil. Seperti yang diucapkan Alya, kakiku telah berubah menjadi sepasang cakar yang tak tajam. Kedua tanganku pelan-pelan berubah menjadi sepasang sayap. Bulu-bulu hitam muncul di seluruh tubuhku. Rasa panas di pergelangan tanganku menyebar ke seluruh tubuhku. Dari leher hingga perutku menumbuhkan bulu putih keabu-abuan. Ekorku yang hitam di atasnya tersusun pula bulu-bulu abu-abu menjadi sebuah tribal segitiga. Bibirku berubah menjadi paruh kecil. Tak lama. Wusss… brakkk… wusss… brakkk… brakkk… brakkk… Cicak yang tadi hendak menangkap nyamuk kutabrak. Tembok pun juga. Televisi, bahkan jam dinding terjatuh menghentikan pembekuan waktunya. Slap… Aku berhenti di telapak tangan Alya. Ia menangkapku.
“Papa jadi burung? Burung apa ini Pa?”. Ia membawaku pada sebuah cermin kecil di ruang tamu, di sebelah meja televisi. Lekat-lekat kulihat diriku. Aku bukan lagi menjadi aku. Aku seekor walet kecil yang bertengger di telapak tangan Alya. Anehnya, kacamata yang tadi kupakai menyatu sebagai tubuhku, melingkar di kedua mataku. Sebuah bentuk kaca mata tanpa frame dan lensa berpola di wajahku. Tiba-tiba…
“Kini, kau bukan hanya berjalan di antara waktu. Kau akan terbang melihat setiap ombak-ombak waktu. Alirannya yang serupa sungai. Cabang-cabang kecil dari semua makhluk. Bermuara pada sebuah lautan besar berbadai. Akan kau temukan sebuah kapal. Terbang dan berlayarlah…!!!”
Suara itu tak asing di telingaku. Suara yang sama pernah kudengar di Sangkar Burung. “Siapa suara itu? Siapa kau? Apa yang terjadi padaku? Bagaimana caranya aku kembali menjadi manusia?”. Teriakanku berhenti di udara. Tak ada yang mendengarkannya. Waktu sedang berhenti. Hanya ada Alya – yang bisa kulihat – di sana. Ini sudah bukan permainan lagi. Aku terus mencari-cari penjelasan ilmiah dari hal ini, membuat kepalaku semakin pening memikirkannya.
“Papa… jangan teriak-teriak Pa! Ayo main Pa! Ayo terbang berkeliling.”
“Alya… jangan Alya! ALYAAAA.” Ia tak ubahnya suara yang tadi muncul mengabaikan pertanyaan-pertanyaanku. Ia terbang menuju pintu. Membukanya tak menguncinya. Apa jadinya nanti kalau waktu bergerak lagi? Rumah tak ada yang menjaga. Bisnis ini belum lama, baru setengah tahun lebih dua bulan. House of Quotes masih dalam pengerjaan. Sudahlah. Dan, sekejap kami telah berada di persawahan. Tepat di sebelahnya adalah pepohonan pedesaan. Sebuah hutan kecil di utara Bantul.
“Kita mau ke mana Alya?”
“Kita mau ke laut Pa!!!”
“Laut…???”
Wussss….
“ALYAAAAAAAAA….” Suaraku kembali hanya berhenti di udara. Alya melemparku begitu saja. Angin-angin yang berhenti di udara membentuk barikade, membuat wajahku tertampar entah berapa kali. Sayap-sayapku pun mulai terisi angin dan berhasil mengepak pelan-pelan. “ALYAAAA… Pohon Alya!!! Kelelawar Alya!!! Burung Hantu Alyaaa!!! Tupai Loncat Alya!!! ALYAAAAA!!!”.
Kecepatan lemparan Alya tidak menurun, justru semakin cepat. Aku melihat seekor tupai loncat berhenti di udara. Di atasnya seekor kelelawar darah sudah siap dengan mulut yang menganga. Sementara itu, seekor burung hantu membuka cakarnya di atas si kelelawar. Aku hanya melewati mereka. Tanpa kusadari di belakang mereka ada sebuah pohon beringin besar. Aku tak mampu berhenti. Tiba-tiba…
Sebuah lubang muncul di stomata pohon beringin itu. Lubang itu melingkar dengan air yang juga melingkar di mulutnya. Lingkaran air itu berombak seperti sebuah cincin ombak dari sepotong lautan. Tetapi, tak ada basah yang kurasakan. Sekejap, aku telah berada di dalamnya. “ALYAAAAA!!!” teriakku memantul ke setiap sisi lorong bulat berombak ini.
“Papa… nggak usah teriak-teriak. Aku udah di sini.”
“Ini apa Alya? Kita di mana?”
“Aku tak benar-benar tahu apa ini Pa. Tapi, coba lihat itu Pa! lihat di perombakan air itu. Itu ada Papa dengan Ibu Kirana.”
Iya, aku melihatnya. Sebuah perkamen ingatan pada 6 Oktober 2012. Aku dan Kirana di pondokan Kaliurang seusai pentas seni. Kuucapkan “tiga kata” itu padanya. Tapi, bukan hanya itu. Di perombakan lainnya kutemukan perkamen-perkamen masa laluku, juga masa-masa yang belum kuketahui. “Apa yang terjadi itu? Aku melihat sebuah tulisan House of Quotes. di atasnya bertengger seekor burung hantu besar dengan sebuah kunci berkalung di lehernya.”
Kulihat sekelilingku. Tak ada dinding. Tak ada pohon. Awan-awan tipis bergerak. Udara dingin dan lembab berhembus. Semuanya tampak putih tipis. Tetapi, pandangan tak sepenuhnya tertutupi. Semua yang putih tipis itu seperti menyelimuti sebuah aliran sungai yang kulihat di atasnya ombak-ombak kecil dan babatuan hitam yang tak bisa menghentikan aliran air. Seperti tadi, banyak sekali gambar-gambar kehidupanku yang kulihat di atas ombak-ombak yang mengalir itu. Setiap kali menerjang batu, air memercik, pun ada gambar-gambar yang kulihat. Banyak yang kukenali dari masa laluku. Namun, banyak pula yang tak kukenali dari gambar-gambar itu. Aku seperti melihat kisah hidupku di atas sebuah roll film panjang berupa sungai.
“Papa?!! Ada cahaya di ujung sana Pa!”.
Ucapan Alya menghentikan pandanganku pada perkamen-perkamen yang mungkin bagian dari catatan takdirku. Iya, aku mengikuti ucapan Alya – melihat sebuah cahaya yang berpendar kecil, semakin membesar. Pendaran itu berubah menjadi sebuah pintu cahaya. Bulat tak menanggalkan ombak di lorong sungai ini. Atau, kusebut saja Sungai Ingata sebab bsisa kulihat kilas-kilas ingatanku. Tapi, ada juga diriku dalam frame-frame kehidupan yang berbeda, ini seperti ruang yang memiliki banyak catatan kejadian di banyak waktu. Sungai Waktu.
Aku dan Alya menuju cahaya itu, terbang menyusuri Sungai Waktu. Swusshhhh… ini adalah ujung dari Sungai Waktu. Bukan, ini adalah muara dari sungai waktu. Sebuah lautan luas berombak. Di atas sini kulihat ombak-ombak itu mungkin bisa menenggelamkan dua kapal Titanic sekaligus. Terlalu tinggi untuk olah raga selancar. Tak bisa kubayangkan ada kapal yang bisa bertahan di lautan ini.
“Lihatlah… di antara ombak itu. Sebuah catatan waktu yang akan kau masuki. Ingat, catatan waktu tidak dapat berubah, ia hanya menyimpan semua kemungkinannya.”
Suara itu terdengar, menghempaskan semua deburan ombak. “Alya? Bagaimana cara kita pulang?” tanyaku. Kulihat wajahnya yang semakin berbinar. Matanya bercahaya. Senyumannya terlukis di setiap air mukanya. Matanya yang semakin terbuka dan telapak tangannya yang menari-nari. Anak kecil dengan segala tingkah lakunya melihat sebuah taman bermain yang baru dibuka di kota atau sebuah petualangan di antah berantah. Ia terbang berputar-putar, membiarkanku mengambang di udara, di atas ombak setinggi lima meter.
Awan-awan hitam terlihat di langit luas yang juga pada celah-celahnya dapat kulihat bintang. Cahaya-cahaya dari bintang itu berjatuhan ke laut menjadi butiran-butiran cahaya. Sementara, dari awan-awan gelap itu muncul petir yang memercikkan air laut hingga bergeliat seperti listrik menjalar di lautan. Angin-angin berputar, jatuh dari langit. Beberapa pusaran air laut pun terjadi di bawah pusaran angin itu. Ada sebuh ombak yang aneh. Ombak yang dijatuhi serbuk-serbuk putih dan terlihat sebuah jam saku serupa yang ada di lenganku. Jam saku itu pelan-pelan mengecil sehingga sebuah tangan tampak menggenggamnya. Dan masih dalam genggaman tangan itu, tertumpuk jam saku yang nyaman di tangannya, selembar kertas yang melambai.
“Kita tidak akan pulang Papa… kita akan masuk ke dalam ombak itu.”
“Apa? Alya, jangan Alya!!! ALYAAAA…!!!”
***
Langit masih mendung. Angin semakin lembab. Ombak di lautan ikut meninggi. Kapal ini berlayar tak secepat tadi pagi. Aku dan Ana melihat ombak berdebur mencoba memecah ujung Feri Bajul Ijo ini. Angin mengibarkan kerudung merah jambunya. Terbalut switer abu-abu, lekat ditubuhnya, tak membiarkan angin memasuki celah pori-pori tubuhnya. Aku memegang kedua tangannya. Mendekatkan tubuhku hingga angin tak lagi menjadi celah di antara kami. Di buritan kedua lengannya membentang. Tanganku berbaris – lekat di belakang tangannya. Ini bukan Titanic, sebatas kecup manis kerinduan dari 20 menit perjalanan lautan. “An… kau ingat malam itu? Malam antara Banyuwangi dan Bali.” Ia menoleh ke belakang mendekatkan hidungnya ke hidungku, “Aku tak akan pernah lupa Kal. Aku selalu berharap setiap hari akan selalu sama dengan deburan ombak dan hembusan angin di kapal ini, juga perjalanan ke Bali itu.”
“Apakah kita akan sampai malam di Surabaya? Menanti kembang api di Tugu Pahlawan? Atau sekedar duduk di sebelah Suramadu?” tanyaku padanya. Ana hanya tersenyum. Ia menarik tanganku – mengajakku turun ke bawah. Kapal akan segera berlabuh di Tanjung Perak.
“Malam ini kita di kontrakanku aja ya! Semua orang keluar. Sudah lama kita tak hidup di dunia kita dan mengatakan ‘masa bodoh’ pada gonggongan setiap orang.”
“Kalimatmu An?”
“Aku hanya mencoba menirumu Kala… aku cuma sedang rindu keberduan kita tanpa perlu ada orang di sekitar kita.”
“Lalu, untuk apa kita ke Surabaya An?”
“Bosan di kontrakan terus, kita ke Mall aja dulu. Ke warnet juga. Membeli beberapa makanan untuk kita hangatkan nanti. Juga film-film romantis yang bisa menemani malam tahun baru kita.”
Kemudian kami menjelma sebagai remaja SMA yang seringkali melompati pagar atau sekedar mengelabui satpam penjaga sekolah. Selalu kami katakan, “OSIS menugaskan kami.” Satpam itu pun akan percaya. Kembali menyeduh segelas kopi dan membuka koran olahraga. Sementara kami, dunia adalah ruang penjelajahan dan kebebasan. Pelanggaran peraturan adalah identitas anak-anak SMA. Hanya saja, beberapa kali kami pun terpergok. Hukuman menyapu dan mengepel aula selama seminggu pun kami terima. Minggu berikutnya, dunia kembali menjadi ruang penjelajahan dan kebebasan.
Deru motor-motor dan mobil-mobil kota ini. Koran-koran bekas yang sudah terpotong-potong, terpakai sebagai bungkus makanan, beterbangan. Mereka bertabrakan dengan debu-debu kecoklatan. Suasana yang kami rindukan. Suasana lampau yang kini kami lakukan lagi. Angkot-angkot kuning seperti peluit dengan kode-kode huruf bersliweran di depan kami yang duduk di sebelah jembatan penyeberangan. Sebuah mobil dengan kode P berhenti di depan kami. Mobil yang sudah kami tunggu-tunggu. Cukup 25 menit, kami telah sampai di Tunjungan Plaza.
Dari pukul 09.00 hingga senja yang mendatangkan hujan. Kami di Plaza itu. Mencoba semua permainan, jelmaan anak SMA berjiwa anak SD. Ketika suara panggilan Tuhan dikumandangkan, kami akan menuju ke basement beralasan sebagai seorang musyafir dan menggabung ke empat rukuk dalam satu waktu. Ketika lapar, kami enggan makan di dalam Plaza. Kami lebih memilih emperan, dua piring gado-gado dan tiga gelas es teh. Kami tak lupa pada toko assesoris, Ana hendak membeli kerudung dan sebuah bros. Perempuan dan pernak-pernik, gula dan semut. Di akhir, kami masuk ke carrefour. Ana mengurungkan niatnya menghangatkan makanan dan memilih untuk memasak. Katanya, “Aku baru saja mencoba menu baru loh… kamu harus nyoba, kalau nggak enak pun harus habis.” Kalau dipikir-pikir. Sudah hampir tiga tahun kami bersama, sesuap pun aku belum pernah mencoba masakannya. Belum-belum dia pun sudah memberikan ultimatum begitu. Hmmm…
Lalu, deburan ombak kembali menyambut kami. Tiga kantong plastik putih kucincing, sementara Ana berlarian dikejar hujan. Bagaimana denganku? Kubiarkan tubuhku basah berharap isi ketiga plastik ini tak sebasah diriku. “An… kamu punya baju model cowok gak di kontrakan? Atau aku hubungi Lutfi aja biar nanti malam mampir?”, tanyaku sembari melihat tetes-tetes air jatuh dari bajuku ke lantai. “Baju ospekku mau gak? Ada sarung juga kalau mau? Atau celana pendek polkadot-ku?” ucapnya sambil menahan tawa, “Nanti jeans dan dalemanmu kucuci deh, besok kusetrikakan”, lanjutnya. “Yang paling dalem nggak usah ya, biar kutangani sendiri, yang penting ada kaos ada sarung cukup kok.”
Senja telah menjadi malam. Hari ini langit cerah tak berbintang. Kami berbincang di teras kontrakan Ana. Mengilhami langit luas. Sebuah atap yang sama sekali tak pernah benar-benar memisahkan kami. Hanya jarak hitungan langkah bumi dan secuil waktu. Burung-burung berkelebatan dari atap ke atap. Warnanya hitam. Mungkin juga kelelawar. Satu di antara mereka yang beterbangan berhenti di seutas kabel listrik di depan kontrakan Ana. Kemudian aku teringat, sebuah hal yang sangat krusial kami lupakan. “An… kita lupa nggak beli kembang api!”. Ana melihatku. Matanya berair. Bibirnya mulai bergetar. “Bwuahahahaha…hephephphp!”. Ia tertawa terbahak-bahak sembari menutup bibirnya, menyisakan dua potong gigi putih di balik bibirnya yang merah jambu tipis. “Dasar anak kekinian! Norak tahu!” ucapnya padaku, “Malam ini cukup kita ilhami saja pertemuan kita ini ya Kal… aku tak ingin ada suara-suara atau cahaya-cahaya berpendar apapun, selain suaramu dan kilat bola matamu.”
“Habiskan masakanku! Itu spesial loh… tumis tahu bawang bombai dengan bumbu pedas lada hitam. Tak lupa tempe tepung kering kesukaanmu. Dan, sepotong cinta…”
“Malam ini kamu banyak gombalnya ya! Aku sudah habis dua piring. Sudah tak sanggup ini perut menampungnya. Bagaimana kalau besok pagi digoreng lagi saja.”
“Iyeye… masuk yuk. Mulai gerimis nih! Kita nonton film aja ya!”
Di ruang tengah kami gelar sebuah matras merah. Dua buah bantal telah siap sedia di depan kami. Sebuah laptop dan speaker kecil telah terpasang. Dua gelas susu hangat yang baru saja Ana buat ketika kusiapkan perangkat-perangkat tadi juga sudah siap di depan kami. Tak lupa, sebungkus wafer Tango coklat dan sebungkus tanggung Chitato siap kami lahap. Membiarkan lemak-lemak bergumul di malam hari sembari sebuah film romansa kami tonton. Letters to Juliet, film yang Ana pilih di Plaza tadi siang.
Semilir angin berhembus di celah-celah fentilasi ruang tengah. Gerimis telah menjadi hujan. Petir menyambar-nyambar tanpa gemuruh. Air-air yang membasah telah meresap di pori-pori bumi. Aku, telah menjadi Charlie dalam film itu. Apakah Ana telah menjadi Sophie? Film itu telah usai. Namun kisah kami malam ini baru saja dimulai. Lampu ruangan itu kami matikan. Kami sisakan sebuah lampu tidur di pinggir kulkas dan di kamar Ana. “Benar nanti nggak ada yang pulang An?”. Ana tak menjawab. Hanya sebuah kecupan yang menghentikan suaraku – membuatku terbang di segala waktu yang fana. Sempat kuintip air mukanya. Pipinya yang telah memerah dan rambutnya yang terkulai menutupi telinganya. Malam telah larut, entah jiwa atau tubuh kami saja yang bersatu.
“An… ketiga titik ini seperti pola segitiga bermuda ya!” kucoba menggodanya sembari menghela napas sebentar – istirahat dari kedekapan hangat di malam tahun baru.
“Ah, Kau Kal! Yang kau lihat bukan itu kan sebenarnya.” Lalu ia tersenyum kembali membasahkan bibirnya. Aku tak sanggup menolaknya. Kami kembali mengilhami malam tahun baru ini dengan mengacuhkan segalanya. Tapi…
Gemuruh terompet bersautan memecah guntur yang terlambat datang. Kilatan-kilatan langit tak hanya berhenti di awan. Beberapa telah jatuh bersama rintik hujan. Beberapa lainnya ikut memecah cahaya kembang api. Lampu-lampu rumah di sekitar telah dimatikan. Sengaja, membiarkan cahaya-cahaya tahun baru 2012 menggantikan cahaya-cahaya neon. Suara-suara kodok dan jangkrik telah menjadi terompet yang mencoba memecah keheningan. Namun, tak satupun dari semua itu menghentikan gerak kami yang tanpa suara dan hampir tanpa cahaya ini.
Tiba-tiba…
Brakk… Brakk… sesuatu menghantam jendela ruang tengah. Kami berhenti. Cepat-cepat kupakai lagi kaos dan sarungku. Begitupun juga Ana, baby doll kembali menutupi tubuhnya. Kubuka korden jendela ruang tengah. Hanya segaris. Kulihat sebuah bulu hitam dan bulu putih kecil menempel di jendela, lengket karena air hujan. Lalu, bulu itu terjatuh. Kulihat di arah jatuh bulu itu, seekor burung walet menelungkupkan sayapnya. Ia menggerakkan lehernya, memutar kepalanya hampir 180o – memandangku. Apa dia kedinginan? Tak sengaja menabrak jendela rumah ini karena mencoba berteduh dari hujan. Ana ikut mengintip. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebuah helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang tipis. “Lanjut An?” kataku. Ia hanya tersenyum, sebuah sketsa yang sama dengan yang kulihat kemarin pagi. Senyum yang membuat duniaku berhenti di tipis bibirnya yang melengkung.
***
Sisa-sisa basuhan air masih membekas di sayapku. Aromanya yang asin burgumul di sekitar paruhku. Aku masih belum sanggup membuka mataku. Kurasakan angin-angin kuat menghantam bulu-bulu sayapku. “Pa… kepakkan sayapmu Pa?”. Teriakan Alya membangunkanku dari ketidaksanggupanku membuka mata. Pelan-pelan kelopak kecil ini kubuka. Gumpalan-gumpalan putih terlihat samar di mataku. Kubuka lagi hingga seberkas cahaya mengangkat semua kelopak mataku. Kulihat sebuah kota. Asing. Aku belum pernah melihatnya di negeraku. Orang-orang keluar dari sebuah rumah besar. Masih terlihat seperti segerombolan semut dari ketinggianku. “Pa… terbang Pa!”. Sekali lagi, teriakan Alya menyadarkanku. Aku yang terjatuh menukik pada sudut elevasi final hantaman peluru pada landasan beratap merah dan tanahnya yang berbatu. Kotak-kotak. Swash…
Aku berhasil mengepakkan sayapku tepat sebelum cakar-cakar mungilku menghantam sebuah genting merah. Aku bertengger di atas genting itu. Alya ikut duduk di sampingku. “Papa loh… untung saja masih sempat!” ucapnya sambari mengelus-elus kepalaku. Kemudian ia meraihku. Ia biarkanku bertengger di bahunya. Tangannya bergerak-gerak. Menunjuk-nunjuk. Sebuah kota tua. Setidaknya itu menurutku. Tapi, kuabaikan telunjuk Alya. Aku masih tak tahu apa yang sebenarnya terjadi ini.
“Alya… sebenarnya apa yang terjadi pada kita? Di mana kita? Bagaimana kita kembali pulang? Apakah aku bisa kembali menjadi manusia? Dan, apa atau siapa sebenarnya kamu Alya?”
“Hmmm… Papa banyak sekali tanyanya.” Ucapannya berhenti pada awan putih yang bergerak di atas atap kami. Ia memandang awan itu. Sebuah helaan napas panjang ia keluarkan ke arah awan. Mungkin, ia ingin menghempaskan awan itu. Namun, awan tak bergeming. Ia bergerak pelan di atas kami. Menjadi peneduh di siang terik. Panas tak begitu terasa. Namun, matahari tak ubahnya matahari dengan segala sinar-sinarnya. Kedatangan awan itu meneduhkan kami. Alya berhenti melihat awan. Ia mengambilku yang sedari tadi bertengger di bahunya. Ia letakkanku di telapak tangannya. Ia dekatkan aku ke wajahnya. Ucapnya, “Aku sendiri tak tahu apa sebenarnya aku Pa... suara yang kita dengar di lautan tadi dan di rumah, suara itu pula yang menuntunku untuk bertemu denganmu Pa… ingatan terakhirku sebelum suara itu datang adalah sebuah taman bermain di sebuah pulau yang tak kukenali siapa pun yang ada di sana. Namun, semua orang saling berbuat baik, tak ada kejahatan apapun. Bahkan, tak ada seorang pun yang menggunjing seseorang yang lain. Berbeda sekali dengan kilas-kilas yang kulihat selama perjalanan sebelum bertemu denganmu Pa... Aku yang saat itu terdiam di sana pun mulai di sapa beberapa orang Pa… Emmm…” ia berhenti berujar seperti sedang berpikir, “Kita bisa pulang dengan cara kita datang Pa… Namun, apakah Papa tak ingin tahu apa yang ada di tangan Papa itu? Aku juga memilikinya Pa,” ia berhenti berucap, lalu membuka kardigannya. Sebuah kardigan ungu selutut yang Kirana berikan kemarin. Lalu, ia buka pula pinggangnya. Tidak terlalu banyak ia perlihatkan, hanya secelah untuk menunjukkan sebuah gambar – tato – yang serupa dengan yang ada di pergelangan tanganku.
Aku berhenti mengeluh padanya. Kulihat air mukanya yang jatuh pada celah-celah jejalanan. Ia angkat lagi kepalanya. Ia pandang langit untuk sekedar membuang bekas pandangannya di jejalanan. “Pa… cara Papa kembali menjadi manusia sangat mudah. Semuanya ada pada kekuatan pikiran. Tapi, dalam waktu dekat ini mungkin Papa belum bisa menjadi manusia ketika melakukan perjalanan di lorong sungai waktu dan di lautannya. Ada sedikit perbedaan di gambar tato kita Pa!”. Kulihat lekat-lekat tato milik Alya dan kubandingkan dengan punyaku. Burung walet menjadi simbol di penutup dalam jam saku di pergelangan tanganku. Sementara milik Alya, yang menjadi simbol di tutup jam saku itu adalah sketsa Alya sendiri. “Sekarang, pikirkan saja untuk kembali menjadi manusia Pa!”.
Slap… swess… swuss… angin bergerak di sekitarku. Tubuhku dikelilingi lesus. Aku hanya berpikir untuk menjadi manusia. Kembali pada pijakan kakiku dan sebuah sandal gunung. Tangan-tangan kulit dan badan yang berkaus hitam lengan panjang – berompi abu-abu kain parasut, bersaku empat, dua di atas dan dua di bawah segaris pinggang. Juga celana jeans abu-abu yang sering kali kupakai. Sekejap, bulu-bulu hitamku rontok. Benang-benang transparan seolah muncul dari rontokan bulu-bulu itu. Menyambungnya hingga terbentuklah sebuah kaus yang menyelimuti tubuhku. Mengikuti perubahan tubuhku yang mungil kembali berbadan manusia. Tulang-tulang sayapku pun telah kembali menjadi sebuah lengan dan jemarinya – kurasakan saraf-sarafku telah membedakan jenis angin. Tulang-tulang kaki kecilku yang tadinya membentuk cakar telah kembali sebagai kaki manusia. Tribal abu-abu pada ekorku juga berjatuhan – mengeluarkan benang-benang transparan, menjadikannya sebuah celana jeans abu-abu dan sandal gunung yang juga abu-abu di telapak kakiku. “Aha… bagaimana penampilanku Alya?” Slap…
“Arkhhhhhhhhhhhhh…..” belum selesai aku bergaya di atas genting merah itu. Menunjukkan pada Alya kegagahanku sebagai seorang petualang. Aku terpeleset. Aku seperti tak terbiasa dengan kaki manusiaku setelah beberapa saat menjadi seekor walet. Dari ketinggian lima meter aku terjatuh. Sekali lagi, kurasakan kulitku dapat membedakan angin. Pori-pori di sekujur tubuhku merasakan setiap gerakan. Aku seperti seorang petapa yang tubuhnya di kelilingi angin untuk melidungi dirinya dari serangan musuh pada jarak tertentu. Ingatanku melayang pada film Naruto, sebuah gerakan memutar dengan juken – sebuah serangan dan pertahanan sempurna milik Neji Hyuga. Dalam keterjatuhan itu pula, ingatanku berlayar pada sebuah gerakan salto yang kulakukan ketika aku menabrak sebuah sepeda motor, kisah lampau yang melatih refleksku. Aku terpental sejauh dua meter. Namun, aku dapat berpijak pada kakiku dengan sekali salto di udara. Aku berhasil mendarat di aspal tanpa luka yang serius, hanya beberapa sayatan di pergelangan kakiku karena pecahan lampu motorku yang berserakan di mana-mana – memecah di udara. Sebuah pergerakan detik waktu yang melayangkanku pada ingatan-ingatan itu.
Aku berhasil menyatukan kedua ingatan itu – menjadikannya sebuah gerakan memutar dan lima kali salto di udara. Kurasakan angin-angin tipis yang berputar di sekelilingku menyayat-nyayat jalanan seperti sabetan seribu samurai. Bekas-bekas sabetannya bergaris-garis tipis di jalanan, juga di beberapa dinding bangunan tempatku terjatuh. Aku telah berpijak di tanah. Kulihat Alya di atas atap tersenyum sumringah melihatku. Kedua matanya terbelalak. Senyumannya berhenti pada keterngangaannya. Ia bertepuk tangan dari atas atap. “Papa hebat… Papa Hebat!”. Lalu, ia meloncat. Gila anak ini. ia sama sekali tak menunjukkan rona ketakutan. Justru senyum-senyum simpul ia sampaikan. Ia tidak melakukan salto sepertiku. Kulihat bercak-bercak angin menjadi mangkuk di kedua kakinya. Bercak-bercak angin itu membuat Alya jatuh pelan-pelan. Ia pun mendarat di tanah tanpa kesulitan apapun. “Di mana kau belajar gerakan itu Alya?” aku penasaran. “Semuanya adalah kekuatan pikiran Pa!” jawabnya sembari melangkah, meninggalkanku yang masih memaku di depan sebuah toko dengan tulisan “Temps La Chaux de Fonds”. Kulihat tulisan itu menempel pada sebuah selebaran coklat dengan gambar sketsa seseorang sedang memegang jam saku di tangannya. Kuambil selebaran itu. Kukejar Alya.
“Alya…!” panggilku padanya sembari menunjukkan poster di depan mukanya.
“Papa mencium rasa petualangan!”
Sinar matahari telah memecah awan yang sedari tadi mengawasi kami di atas atap. Atau, awan itu memang sengaja menjadi permadani langit. Sebuah tirai pemanggungan yang menantikan cahaya matahari sebagai lighting adegan saltoku dan lompatan ringan Alya yang dibaluti angin. Sebab tirai terbuka, jalan cahaya pun menuntun kami. Di gang ini. tempat kami menjatuhkan diri. Sinar itu mengarah ke utara. Sebuah gambaran langit tentang negeri di atas awan. Tapi, tidak, kami masih menatap di bumi, mencari sebuah jejak waktu yang membuat kami ke negeri ini. Negeri yang masih menyisakan tanya di bola mataku.
Akhirnya kami keluar dari gang itu. Sebuah poster masih kupegang kalau-kalau akan kutemukan tulisan yang sama menempel di tembok-tembok. Mungkin, sebuah papan nama kayu yang terpatri di atas sebuah pintu atau sebuah tiang besi yang di atasnya terdapat lampu kota. Temaram terlihat di malam hari. Sayangnya, ini masih di siang terik dengan panas yang tak membakar. Kulihat segerombolan pria melihat kami. Mereka berbaju lengan panjang terlipat hingga siku. Semuanya memakai rompi. Juga topi, yang jika di negeriku, topi itu disebut topi copet atau topi para seniman. Kurasa namanya yang benar adalah flat cap. Sepatu mereka yang runcing hitam dan coklat. Cukup mengkilat. Semua dari mereka mengapit sebatang rokok di bibirnya. Salah satu dari mereka menunjuk-nunjuk kami. Dan, mereka semua memalingkan mukanya dari kami. Mereka berlalu dan tertawa terbahak-bahak.
“Tu es d’où? Monsieur?” seorang pria tua yang berpakaian serupa para pria tadi menyapa kami. Hanya saja pria ini tak berompi, sebuah jaket tebal, winter jas, menyelimuti tubuhnya sampai lutut. Keriput berlipat dari matanya hingga pipinya. Bercak-bercak hitam bergerombol di hidung dan pipinya. Alisnya telah memutih. Rambutnya pun juga. Kutangkap bahasa Perancis dari kata monsiuer yang ia ucapkan. Sayangnya, aku tak paham bahasa Perancis. Aku berbisik pada Alya, “Apa kita juga bisa menggunakan kekuatan pikiran untuk mendadak bicara bahasa Perancis Alya?”. Ia tersenyum menangkap seberkas sinar matahari yang memantul ke giginya, “Seharusnya bisa Pa! Ini bagian dari Ilhamun Fitriyun. Tapi, aku masih ragu juga!” Ah, aku ingat ilhamun fitriyun, sebut saja insting dasar yang dimiliki semua makhluk. Frasa itu pernah kukenal ketika dulu aku masih duduk di bangku SMP. Di SMP Plus Ar-Rahmat. Yah, SMP itu, sekolah yang membuka gerbang mimpi-mimpiku. Sejenak aku ingin mengenang ceritanya, membaginya dengan Alya. Sebuah kawah candra dimuka-ku yang pertama. Namun, bukan itu yang harus kami lakukan sekarang.
Aku menangkap maksud Alya, aku lahir di pulau Jawa, negara Indonesia, tentu insting berbahasaku adalah bahasa Indonesia. Akan sangat sulit melatih insting dari bahasa yang hampir tidak pernah kudengar. Sementara saltoku di udara tadi adalah buah dari imajinasi yang juga sudah pernah kulakukan. Lalu, bagaimana aku membalas ucapan kakek ini. Kakek ini menarik lenganku. Dua kali lagi ia mengucapkan kalimat yang sama. Ia lalu menghela napas panjang. Mungkin lelah berdiri di sebelahku yang tak bisa menjawab pertanyaannya selain dengan menggeleng kepala dan tangan yang menengadah pada ucapannya. “English?” katanya lagi. Oh, kurasa kakek ini ingin mengajakku berbicara bahasa Inggris. Nah, ini baru bisa. “Oh yes! Yeah! English, I can speak that.”
“Oh… English People? British or American?”
“Call it a little to both of them Sir. Whatever you say for my tonque.”
Kemudian kakek itu mengajak kami berjalan. Kami berjalan ke arah matahari hingga kami temukan gang lain yang menutupi cahayanya. Di gang itu, sama halnya dengan gang-gang sebelumnya. Bangunan-bangunan setinggi lima meter atau lebih. Temboknya bercat coklat muda atau krem. Atapnya yang memerah atau coklat tua. Jendela-jendelanya yang persegi besar dengan pintu-pintu di setiap samping jendela. Balkon-balkon di ketinggian tiga sampai empat meter di depan jendela. Beberapa di antaranya kulihat perempuan-perempuan sedang menjemur kain-kain putih pada beberapa lonjor kawat. Lonjoran kawat-kawat itu tersusun bagai garis-garis sejajar. Seperti benang yang menjahit satu bangunan dengan bangunan di depannya. Sehingga, cahaya matahari enggan menembus kain-kain itu. Atau, memang begitulah susunannya, sehingga panas tak terasa sebab kain-kain terjemur itu melindungi manusia yang berjalan di bawahnya. Sehingga, lumut-lumut pun begitu senang merambat di tembok-tembok. Beberapa di antaranya telah melapukkan tembok menjadi tanah gembur. Beberapa perempuan lain pun kulihat, memanfaatkan tembok gembur itu untuk menanam anggrek atau sekedar tanaman rambat yang meliuk hingga pagar balkon.
Kakek itu berhenti. Kami ikut berhenti. Sebuah pintu dengan dua jendela. Tergabung dalam sebuah bangunan kotak dengan tinggi 5 meter, dan sepertinya sisi-sisi lain sepanjang 8 meter, juga dengan atapnya yang memerah. Di atas pintu itu sebuah besi terukir seperti akar anggrek menjorok ke depan. Tidak terlalu panjang. Di bawah ukiran besi itu ada sebuah papan kayu bertuliskan La Café Personnes. Kami masuk ke dalamnya. Sebuah lonceng kecil berbunyi ketika pintu terbuka. Juga ketika pintu tertutup kembali. Lonceng itu sengaja di letakkan di bagain depan dan bagian belakang pintu. Tepat di tengah-tengah bagian atas badan pintu. Lalu, seorang perempuan berbalut baju putih berlapis coklat tua, seperti rompi, hanya saja bagian coklat itu menjulur hingga bagian depan pahanya. Putih roknya hingga mata kakinya. Kupandangi lekat-lekat perempuan yang membawa secarik kertas dan nampan itu. “You see the girl or clothes she wear?” ucapan kakek itu menghentikan pandanganku dan imajinasi liar yang sedang tergambar di otakku.
Bagaimana tidak, perempuan itu memang terlihat memakai baju yang menutup rapat. Namun, dadanya yang sedikit meninggi dan mengembang itu membuka kancing bajunya yang teratas dan sebuah garis lembut terlihat. Membuat bola mataku tak bisa bergerak dan terjebak di celah-pipih dari garis itu. Dari semua itu, aku melihat sesuatu yang tak asing di mataku. Sebuah tanda yang tak bisa kulupakan dari seorang perempuan pertama yang mengecup kesendirianku.
“Oh… I’m sorry. Aku terjebak di antara keduanya?”
“Jika kau ingin bersama gadis itu, kau harus bertanya pada pria kekar yang selalu menyimpan kapak di bawah mejanya itu.” Kakek itu lalu menunjuk pria paruh baya yang berbaju persis sama dengan para pria yang kami temui tadi. Hanya saja kali ini, lipatan lengannya hingga siku. Kekar ototnya menembus paksa pori-pori baju putih yang ia pakai. “Hey Ferdy… pria ini tertarik dengan putrimu!” ucap si kakek. Oh, tidak-tidak. Lelaki kekar itu meraba-raba bagian bawah mejanya.
“Ke sini anak muda. Duduk ke sini! Kau berani menyukai putriku? Harus kau ubah dulu dimitry pocket-nya yang hanya berisi batu-batu dan kertas itu dengan kebahagian.” Ucap lelaki kekar itu yang menggelagarkan seisi ruangan. Oh, tidak-tidak. Aku tidak sedang ke sini untuk mencari gara-gara.
“Kayaknya Ibu Kirana bakal suka ceritaku nanti Pa! Hehehehe” dan, Alya terkekeh.
“AlyaaAAAA!!!” volume suaraku berfluktuasi.
“Kan Papa sendiri yang ngelihatin penuh kegembiraan tadi!”
Keringat dingin sudah menetes di dahiku. Punggungku pun telah basah. Aku terjebak dalam sebuah ruang yang berisi kengerian. Rona-rona merah telah memancar dari setiap pria kekar yang duduk di kafe ini. Mereka menatap kami tajam. Kaki-kaki mereka yang terbalut sepatu mengkilat, oh itu model chelsea. Tajam dan runcing ujungnya. Mantap hentakannya sebab ban di bawahnya yang mengeras bahkan mungkin dapat menghancurkan sebalok es besar. Si kakek ini duduk dengan santainya. Ia pun menarik lenganku. Memaksaku duduk di sebalahnya. Tepat di depan meja barista, Ferdy si lelaki kekar. Hahahahahahaha…. Tiba-tiba saja seisi ruangan yang penuh dengan rona merah itu ditiupi angin sepoi dari tawa yang menghentikan hentakan kaki mereka. Cangkir-cangkir kopi dan sepiring waffle mereka angkat. Lalu, gemerincing. “Maafkan aku anak muda. Aku hanya ingin menakut-nakutimu. Aku cuma ingin tahu, orang menarik seperti apalagi yang dibawa kakek tua Michlet ini.”
“Oh… aku belum memperkenalkan diriku anak muda. Aku John J. Michlet. Dan, aku belum terlalu tua untuk kau sebut kakek, setidaknya aku masih punya 20 tahunan lagi. Just call me John or Michlet.”
Nama itu? Setidaknya satu atau dua kali aku pernah membaca tentangnya atau beberapa catatannya. Catatannya tentang renaissance jugalah yang sedikit banyak menjadi anak tangga dalam kehidupanku. Yah, memang tidak sebanding dengan Karl Marx dengan sosialisnya. Namun, sejarah renaissance – kehidupan budaya, kesenian, kesusastraan, sampai pemerintahan Perancis ada di genggamannya. Oh, tidak, ada di tahun berapa ini kami. Aku membuang pandangan ke segala arah. Melihat kubik-kubik kayu yang tertata rapi dengan bata coklat. Lampu-lampu petromak kecil. Juga lampu-lampu kaca dengan penyulut minyak tanah. Pandanganku berhenti di tingkah duduk Alya. Kulihat ia yang malah sibuk menciumi aroma kopi dari berbagai toples di meja barista.
“Kau mau kopi Nona?” ucap Ferdy si kekar sambil melihat gelagat Alya yang langsung saja menutup toples itu malu-malu.
“Eh, anak kecil minum susu aja!” ucapku dengan mata nyinyir. Melihat Alya yang begitu santainya. Seperti bukan anak kecil. Membuang mukanya, membiarkanku berkeringat dingin di tengah kengerian.
“Yap, Monsiuer Ferdy… aku mau kopi itu, yang aromanya paling harum, yang paling ujung itu!” Alya abai padaku. Yah, biarlah, kopi bukan minuman seberbahaya anggur. Untung saja kafe ini tak menawariku anggur. Kalau iya, bagaimana aku menolaknya.
“Oh… kau punya selera yang bagus Nona. Kopi itu dari Turki, sudah dikenalkan kepada Raja Louis XIV sejak tahun 1669.” Kata Michlet yang kemudian juga meminta kopi yang serupa dipesan Alya. Kuangkat telunjukku. Aku mengangguk dan tersenyum pipih kepada Ferdy. Ia menangkap isyaratku. Tidak lama. Tiga cangkir kopi itu datang. Juga tiga piring waffle dengan selai madu lumer dan mengisi setiap celah-celahnya.
Suasana dalam kafe ini sedikit mengalihkanku. Siapa yang tak pernah bermimpi ke sini. ke zaman ini. Aku yakin, mereka yang meletakkan tangannya di atas kertas. Mengguratkannya dengan pena, membentuk tulisan-tulisan. Atau, para seniman jalanan yang setia ditemani kanvas tua dan sebilah kuas. Hanya nampan piring dan warna-warna yang berusaha berpisah di atasnya. Mereka pasti bermimpi ke zaman ini. Zaman yang masih merekam renaissance di awal modernisasinya. Buruh-buruh berpakaian rapi siap menjadi awal penggulingan kapitalisme. Wadah para proletar yang bersenjatakan perkumpulan. Hanya saja, kengerian perang dan kesadisan psikopat setiap malam selalu menjadi ancaman di sini. Oh ya, di zaman inilah imperialisme bersenjatakan mesiu dan mesin-mesin mulai dibuat – dirancang semakin canggih. Sebuah zaman perkembangan teknologi dan militer.
Baru kemudian aku ingat. Sebuah poster coklat dengan tanda jam saku dan sebuah sketsa tergurat padanya. Masih di kantong rompi parasutku. Teringatku pada John J. Michlet yang kini duduk di sampingku. Aku yakin dia tahu tentang poster ini. Bahkan, aku yakin dia tahu siapa yang tersketsa itu. Oh, apakah ini bagian dari catatan semesta. Apakah aku sedang menari-nari di atas Lauhul Mahfudz? Atau, sengaja Tuhan sedang menjadikanku lakon dalam naskah yang Ia buat atau Ia koreksi. Ah, sudahlah, aku harus bertanya pada Michlet. Poster itu kubuka di atas meja. Ingin kupanggil Michlet yang sedang masyuk ke dalam kepulan asap rokok yang terapit rapat di bibirnya. Kemudian, ia mengambil cangkir kopi. Dan, tanpa memanggilnya, ia sudah melihat poster itu.
“Ohho… si cecunguk Frekopf dan jam-jamnya! Ia sepertinya sudah tercatat tak akan bisa meninggalkan La Chaux de Fonds. Ia dan ayahnya. Di tanah ini mereka mencoba mengadu nasib sebagai watchmaker. Lihat ia, jatuh-bangun dengan prinsipnya membela kaum proletar melalui jam saku buatannya. Katanya, dia akan membuat para buruh pun tampak seperti kaum beradab? Yah, kalau dia mau bertahan dan berdarah-darah sampai menjelang kematiannya. Mungkin, ia akan tercatat dalam buku sejarah. Mungkin, kalau aku masih hidup akan mencatatnya pada bukuku ‘Frekopf and The Watch for Proletarian’. Poster ini? Kalian mencari orang dalam sketsa ini?”
Bahkan aku sama sekali tak bertanya. Ia sudah menjelaskan panjang lebar. Aku mulai menggambar benang merah tentang kejadianku menjadi seekor walet, sungai waktu, lautan waktu, dan di sini, di zaman yang mencatat buku besar renaissance. Tapi, zaman ini lebih dari sekedar itu, zaman ini menjadi gejolak perkembangan dunia. Percobaan-percobaan ilmiah di masa lampau yang belum terselesaikan mulai terjawab di sini. Bukankah sang artista, Da Vinci, dulu pernah menggambar tank dan pesawat. Oh, zaman inilah yang mulai mencipta ulang karyanya, karya salah satu maestro ranaissance menemukan perwujudannya.
Zaman para pemikir modern dan pertentangannya. Bisa juga dikatakan zaman ini susah untuk menemukan tokoh panutan. Mereka semua punya pertimbangan matang tentang 100 tahun mendatang. Juga ratusan tahun sebelumnya. Yah, 100 tahun mendatang kita baru mulai mencatat mereka sebagai panutan. Zaman ini adalah zaman chaos. Zaman yang masih mencatat pertumpahan darah. Sebuah masa penciptaan alat-alat penyangga para manusia yang nantinya akan semakin malas. Zaman yang juga menyiratkan kejadian dalam kehidupanku. Aku seperti meraba sebuah kain dari benang-benang yang dimiliki semua makhluk yang kemudian terjahit. Ya, jadilah kain itu mencatat semua takdir tanpa kita ketahui. Kita seringkali mengatakan ini atau itu sebagai sebuah kebetulan. Dan ternyata, dari awal ini dan itu adalah para benang menggeliat pada mesin jahit atau jarum-jarum penenun, menjadi sebuah kain bernama kehidupan.
“Iya, Monsiuer Michlet… aku ingin menemuinya. Kalau Tuan bersedia, kiranya beritahu kami.”
“Dia mungkin sekarang sedang termenung di La Chaux de Fonds fontaine monumentale di Carmagnole. Dari kafe ini kalian cukup berjalan ke barat saja. Ikuti gang-gang yang di sana banyak terdapat penjemur kain. Mereka cantik-cantik. Awas, jangan matamu teralihkan lagi. Setelah kau lewati para penjemur itu, akan kau lihat patung dewi tertunduk. Ia menengadahkan tangannya di atas kepala, sebuah cawan tergenggam di pengadahannya, menanti hujan. Di bawahnya air terus mengalir. Memancur. Dan, patung kura-kura kecil mengelilinginya, menengadah pada airnya yang memancur. Dia pasti sedang di sana. Berbaju sepertiku. Mungkin lebih coklat gelap dengan flat cap abu-abu. Dia pasti sedang terdiam mengotak-atik roda penggerak jam dan jarumnya.”
“Jelas sekali Tuan menjelaskannya?!”
“Aku tahu kau dan adik kecilmu itu bukan dari sini Anak muda. Bahkan, dari catatanku, aku belum pernah melihat model baju yang kau dan adikmu itu pakai. Aku mendadak penasaran denganmu anak muda. Apakah aku boleh tahu dari mana kau berasal? Oh, oh, kau juga belum menyebut namamu.”
“Sedari tadi Tuan baru sadar. Maafkan aku Tuan, namaku Arkaan Kalantara… dia anak angkatku, namanya Alya Kalantara Kirana. Kami dari negeri yang tanahnya tak seluas lautnya di timur jauh sana Tuan. Negeri yang mendongak ke atas untuk mencari jalan ke langit.”
“Bisa saja kau Nak… namamu, memang sangat ketimuran. Oh, jangan percaya dengan kata timur dan barat, mereka hanyalah nama imajiner semata. Bersombong untuk merendahkan. Tapi, nama anak angkatmu itu mengandung bahasa Sansekerta dan Arab. Sepertinya kalian dari negeri yang suka menyerap bahasa ya? Oh, oh… Batavia? Sumatra? Negeri yang pernah didatangi Inggris, pedagang dari Gujarat dan China. Oh, oh… negeri yang kini dikuasai bedabah VOC. Kenapa kalian belum juga mengalahkan mereka?”
“Bahkan Tuan lebih tahu banyak daripadaku.”
“Insting ini tak pernah menipu Nak… aku tahu kalian berdua orang yang menarik. Sekarang pergilah, temui si cecunguk Frekopf itu. Nanti, kita akan bertemu lagi. Biar kutraktir lagi kalian dua cangkir kopi dan waffle. Mungkin, nanti malam sebotol anggur dan spageti. Setidaknya semalam saja, menginaplah di rumah singgahku. Atau, kita bermalam saja di kafe ini, kau suka melihat Sophia kan? Aku ingin berbincang banyak denganmu Nak!!!”
Aku mengangguk. Kutarik Alya dari kursinya. Sepotong waffle masih penuh di mulutnya. Alya pun mengangguk, berkedip pelan dan mengucapkan salam. Klonteng. Klonteng. Klonteng. Suara lonceng di pintu kafe itu, dari keras mengalun pelan. Langkah kami percepat. Alya kugendong. Alya enggan. Ia menghentakkan kakinya. Membuat mangkuk angin menyelimuti kakinya. Ia terbang. Tidak. Ia hanya berjalan di udara dengan sebuah dorongan angin. “Alya… tunggu… apa kau tahu kita mau ke mana?” teriakanku menggema di udara terpantul oleh dinding-dinding bangunan yang saling berdekatan. Alya dari kejauhan pandang di atas sebuah gedung berteriak “Aku mendengar semua pembicaraan di kafe tadi Pa… ayo bergegas Pa!!!”. Aku pun berlari. Menghentakkan kaki serupa Alya, membayangkan sebuah dorongan angin di telapak kakiku. Wush….
**
“Hari ini kubuat lagi jam ini. Aku hanya ingin membuat waktu berjalan. Para buruh tak lagi kesusahan dengan waktu. Tak ada lagi yang terbentak di tempat kerja. Namun, jamku tak mau berdetak. Orang-orang bahkan tak meliriknya. Sebenarnya, apa bedanya jam-jamku ini dengan yang mereka jual di ujung kota ini?”
Lamunanku berhenti di jatuhnya air mancur di mulut kura-kura yang menengadah berkah dari sang dewi. Barangkali sang dewi yang tertunduk itu melihatku yang setiap hari selalu duduk di sini. Melihat awan dan burung merpati yang datang silih berganti. Sebuah kantong kertas berisi sepuluh roti kering masih kupegang. Coba kuremukkan. Segerombol merpati putih dan abu-abu turun dari atap. Kulempari mereka remah-remah roti. Seperti tak pernah merasa kenyang. Mereka tak berhenti pada satu berkas remah. Saling mematuk. Suara patukannya yang membentur jalan bersemen terdengar seperti suara detik jam saku yang sedang kupegang. Iya, andai saja jam itu bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Swush… swush… angin berhembus bukan dari dataran. Tak kulihat sekelebat angin pun di dedaunan di depanku. Pohon-pohon tak bergoyang. Rerantingnya tak gemeretak. Namun, remah-remah roti yang sedari tadi kusebar di jalanan ini berserakan. Burung-burung merpati itu buyar, menyebar mereka mencari remah-remah roti yang tak lagi berkumpul di depanku. Pelan kurasa angin itu ingin meniup flat cap yang kupakai. Akhirnya, topiku pun jatuh. Hampir-hampir membasah di berkah air sang dewi. Namun, topiku berhenti di bibir kolam. Dan kulihat seorang perempuan muda dengan kulit kuning langsat. Jarang, hampir tak pernah manusia berwarna kulit seperti itu kutemui di kota ini. Anak ini orang timur, yah begitulah kata para orientalis. Kulihat lagi di sebelahnya, seorang lelaki muda memakai rompi dan celana abu-abu. Mereka tersenyum. Siapa mereka?
“Monsiuer Frekopf? Could I speak english to you?”
“I’m not dull boy. Of course I can!”
Lelaki itu tahu namaku. Sepertinya aku tak seterkenal itu, kecuali hanya kegagalan-kegagalanku di usaha jam saku ini. Aku dan ayahku. Kami yang mungkin terlalu percaya dengan usaha jam saku yang bahkan tak sanggup menghidupi ibu dan adik-adikku dulu. Aku saja yang beruntung telah menikahi janda muda kaya, oh Francoise semoga kau tak kecewa padaku. Ah, kenapa tiba-tiba saja aku mengingat istriku. Yah, paras anak perempuan di sebelah lelaki ini sejenak telah menghentikan mataku. Ia memiliki mata yang sama dengan mata Francoise-ku, mata yang penuh harapan dan kepercayaan.
“Monsiuer… maaf kami mengganggu ketermenunganmu. Kami ingin bertanya padamu tentang jam saku. Atau, lebih tepatnya tentang waktu.”
“Kukira apa anak muda! Sekarang baru saja pukul 14.00. Kalau hanya tanya tentang waktu kau bisa lihat di seberang monumen itu. Pada jam yang menempel di took itu!”
“Bukan itu maksud kami Tuan. Maafkan kelancangan kami, izinkan kami memperkenalkan diri kami dulu Tuan. Saya, Arkaan. Ini anak angkat saya Alya. Kami berhasil menemuimu di sini atas petunjuk Michlet dan poster ini.”
“Oh… si tua Michlet itu datang ke kota ini lagi. Pantas saja kalian langsung tahu namaku dan di mana aku berada. Bukankah dia seharusnya terlalu sibuk di Perancis. Poster itu sudah lama Boy. Sudah lama ditolak. Dan, kau yang semuda ini bagaimana bisa sudah memiliki anak asuh. Dan, baju kalian itu? Kalian pasti bukan dari Eropa. Bagaimana kalian bisa sampai ke sini? Anak semuda seperti kalian pasti sedang menjelajah bersama seorang Tuan besar.”
“Panjang ceritanya Tuan. Namun, kedatangan kami di sini seperti sudah digariskan Tuhan. Kami menemukan poster dengan sketsa Tuan dan tulisan temps tepat setelah kami mendarat. Setelah sebuah badai yang kami alami di lautan semalam. Dan, tulisan itu sama dengan yang ada di lenganku ini Tuan.”
Lelaki itu menunjukkan sebuah gambar di lengannya. Seperti sudah lama membekas di sana. Seperti sebuah tanda budak orang-orang selatan. Tetapi gambar itu terlalu anggun. Pola-polanya sangat halus seperti pernah kudengar lengan-lengan pengantin tanah Hindustan dan Arab juga terlukis hal yang sama. Namun, gambar itu seperti rantai pengikat dengan burung-burung walet menghiasinya. Perempuan kecil di samping lelaki itu juga membuka sebagian pakaiannya, memperlihatkan pipih pinggangnya yang juga tergambar pola yang hampir sama. Siapa mereka? Apa sebenarnya yang tergambar di tubuh mereka itu.