Sore itu, langit di atas Panti Asuhan Pelita Kasih mulai meredup, menandakan matahari akan segera terbenam. Suasana di dalam panti masih ramai dengan aktivitas anak-anak yang berlarian dan bermain di sekitar halaman. Namun, bagi Irfan, sore itu terasa berbeda. Setelah bermain sepak bola dan petak umpet sepanjang sore, ia memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan kecil di sebelah kantor kepala panti, tempatnya sering menghabiskan waktu membaca.
Perpustakaan itu sederhana, hanya ada beberapa rak buku yang dipenuhi dengan buku-buku tua. Namun, bagi Irfan, perpustakaan itu adalah tempat pelariannya. Di sana, ia bisa tenggelam dalam dunia imajinasinya, jauh dari kenyataan hidup di panti asuhan. Randy, kakaknya, tidak terlalu suka membaca dan lebih sering bermain di luar bersama teman-temannya, tapi Irfan suka menikmati waktu sendirian di perpustakaan.
Sore itu, ketika Irfan sedang asyik memeriksa beberapa buku, dia mendengar suara dari ruangan sebelah. Ruangan itu adalah kantor Pak Haris, kepala panti. Biasanya, Pak Haris jarang sekali memiliki tamu di ruangannya pada sore hari. Namun, kali ini, Irfan mendengar suara lain yang tidak asing—seorang wanita yang sedang berbicara dengan Pak Haris.
Irfan tidak bermaksud menguping, tapi suara percakapan itu terdengar cukup jelas dari tempatnya berdiri. Penasaran, dia mendekat sedikit ke dinding yang memisahkan perpustakaan dan kantor Pak Haris, mencoba mendengarkan lebih jelas.
"Jadi, kapan mereka akan diberi tahu?" Suara wanita itu terdengar lembut tapi tegas.
"Besok pagi, setelah semuanya siap," jawab Pak Haris dengan suara yang terdengar berat. "Saya ingin memastikan mereka tidak terlalu terkejut. Apalagi Randy, dia anak yang cerdas. Dia pasti akan mengerti dengan cepat."
Irfan terdiam. Namanya dan Randy disebut. Perasaannya langsung berubah, dadanya berdegup lebih cepat. "Apa yang mereka bicarakan tentang aku dan Randy?" pikirnya.
"Dan bagaimana dengan Irfan?" tanya wanita itu lagi. "Dia anak yang lebih emosional. Apakah Anda yakin dia akan menerima ini dengan baik?"
Pak Haris menghela napas panjang sebelum menjawab. "Saya harap begitu. Keduanya memang sudah lama menunggu, tapi Irfan... dia lebih sulit ditebak. Namun, keluarga ini sudah sangat siap. Mereka akan diadopsi bersama-sama."
**Adopsi.**
Kata itu meluncur dari mulut Pak Haris dengan jelas, dan membuat Irfan terkejut. Dia menahan napas. Meskipun adopsi adalah impian hampir semua anak di panti, Irfan merasa campur aduk. Di satu sisi, ini adalah kabar baik. Mereka akan diadopsi. Tapi di sisi lain, Irfan merasa aneh mendengarnya seperti ini—dari balik dinding, tanpa penjelasan langsung. Terlebih lagi, kenapa Pak Haris tampak begitu hati-hati membicarakan adopsi ini?