Rissa bergerak gelisah dibalik pintu kamarnya. Ada rasa tak nyaman yang diam diam mulai menggerogoti relung hatinya. Sebelumnya tak pernah ia segelisah ini hanya untuk perkara sarapan pagi. Biasanya, Rissa lah yang paling pertama membangunkan Mama dan adiknya untuk segera bangun dan sarapan, namun kali ini tidak lagi. Ritual itu sudah hilang semenjak adanya ego yang melunturkan keharmonisan keluarga Rissa.
Adiknya—Zhelia sudah mengetuk pintunya berkali kali, terhitung sudah 10 kali ketukan itu terdengar, namun Rissa masih enggan membuka pintu kamarnya.
"Ka Icha, Mama syudah panggil kakak untuk makan. Kakak banun dong" ucap Zhelia dengan aksen suara khas anak berumur 5 tahun. Rissa bergeming. Masih enggan membuka suara. Jangankan bersuara, untuk bernafas saja rasanya Rissa tak mampu. Rissa menggeleng. Tidak seharusnya dia begini, mengabaikan rasa lapar dan juga adiknya diluar adalah hal paling tak manusiawi yang pernah Rissa lakukan.
Setelah menarik nafas panjang panjang. Rissa menarik knop pintu kamarnya. Sosok gadis mungil dengan seragam TK pun menyambutnya dengan wajah lugu nan polos. Rissa menggendong adiknya, mencium kedua pipi gembul adiknya hingga keduanya tiba di meja makan. Namun pil pahit harus kembali ia rasakan. Hal yang tadinya ia kira adalah mimpi dan halusinasi ternyata adalah fakta yang harus ia terima mentah mentah.
Disana, ia melihat Mamanya yang saat ini genap berumur 37 tahun, tengah duduk mesra dengan sosok 'Ayah barunya'. Jika yang berada di sana adalah Ayah kandungnya, mungkin Rissa akan sangat bahagia menyaksikan adegan tersebut, tapi keadaan kali ini adalah hal yang jauh dari harapannya.
Rita—Mama Rissa menoleh dan tersenyum melihat anak gadisnya akhirnya mau turun dan makan bersama dengannya. Ritta tahu, dia sangat egois dimata putrinya, namun lagi lagi, egonya tak mengindahkan perasaan putrinya, nuraninya tak mengizinkan perasaan bersalah itu untuk masuk ke dalam hatinya.
"Eh Rissa, sini nak, duduk dekat papa"