Hotel

Wymantio
Chapter #1

Permulaan

Pagi ini aku harus berangkat ke luar kota. Matahari belum naik, kira-kira ini masih pukul tiga pagi. Tak biasanya aku sudah mandi dan berdandan rapi sepagi ini. Bergegasnya aku menuju ke terminal, diantar ayah dan ibu naik mobil kami yang satu-satunya itu. Aku duduk di kursi belakang, sementara ibu di depan–sebelah ayah yang mengemudi. Aku tak bisa melihat apa-apa karena kaca jendela sampingku ditutupi oleh embun dan gelap. Padahal aku ingin melihat kota kelahiranku ini untuk terakhir kalinya. Akanku rindukan kota ini.

Di mobil hanya terdengar suara angin yang ditembus jalan dan sedikit suara motor yang menyalip mobil kami, mungkin hendak buru-buru pergi ke pasar. Nampak sayup-sayup kuning lampu memancar dari bangunan tepi jalan. Tidak mengobrol kami sepanjang jalan. Memang bukan tipikal keluarga yang banyak mengobrol juga, tetapi kali ini agak berbeda. Aku bisa mendengar ibuku tersedu meskipun ia mencoba menyembunyikan suaranya. Wajar saja, mungkin karena harus merelakan aku, anak tunggalnya ini untuk merantau keluar kota supaya bisa bekerja. 

Mungkin ada rasa tidak rela dan sedih dalam hatinya ibuku, namun bagaimanapun juga ini adalah satu-satunya cara agar aku jadi dewasa. Ku ucap demikian karena sudah setahun lebih aku menganggur. Mungkin ada yang lebih lama menganggurnya dariku tapi menurut keluargaku ini sudah terlalu lama. Bahkan menurut ayahku, kalau aku melewatkan panggilan kerja satu ini aku tidaklah lebih baik daripada seekor kerbau yang bekerja setiap hari di persawahan. Aku bisa memaklumi ucapan ayahku itu, karena dia adalah seorang pegawai negeri yang bisa “mati” kalau tak kerja. 

Ayahku orang yang cukup keras, tapi sebetulnya boleh dibilang memanjaku terlalu berlebih juga. Sifatnya kerap kali kontradiktif dan membuat bingung semua orang, tapi aku bisa mengerti kalau yang terbaik untuk anak dan keluarganya lah yang dia inginkan. Meskipun cukup terpandang dan punya jabatan di kantornya, ayah tidak mau memasukkanku ke pekerjaannya itu menjadi pegawai negeri. Dia bilang aku tidak akan kuat, mungkin batinnya yang dimaksud. Dulunya ayahku adalah termasuk orang susah. Pernah dia bercerita kalau sewaktu kecil dia harus berjualan rokok di terminal demi bisa membayar uang sekolah adik-adiknya. Orang tuanya (kakek dan nenekku) sakit-sakitan karena lama bekerja di pabrik arang, pernapasannya terganggu hingga tak bisa bekerja lagi sementara 4 anaknya masih harus bersekolah. Ayahku adalah anak pertama, maka dari itu sedari kecil ia dipaksa untuk jadi dewasa demi merawat adik-adiknya dan kedua orang tuanya. Setiap harinya–dulu, ayah berjualan rokok dari jam satu siang (sepulang sekolah) hingga larut malam. 

Rokoknya diambil dari toko grosir milik Pak Ato yang sekarang sudah tidak ada. Aku pernah bertemu Pak Ato sewaktu masih sekolah dasar, orangnya baik sekali sudah seperti orang tua angkat bagi ayah. Dulu ayah sering dibelikan nasi kucing atau bahkan diajak makan bersama keluarganya Pak Ato, karena kasihan. Tak jarang ayah membawa pulang makanan pemberian itu untuk adik-adiknya di rumah. Begitu terus kehidupannya sampai kedua orang tuanya meninggal saat dia menduduki bangku SMP. Saat SMA, ayah ditawari kerja oleh kenalannya di terminal untuk menjadi kurir surat. Menurutnya tawaran seperti itu adalah berkah yang tak boleh kita abaikan. Sedari situ ayah menjadi seorang kurir surat untuk kantor kantor desa, hingga akhirnya bisa berkuliah dan menjadi pegawai negeri.

Untuk sampai di posisi seperti sekarang ini, ayahku melewati perjalanan dan perjuangan yang panjang. Makanya aku selalu mencoba mengerti kalau gaya didiknya terhadapku adalah gaya mendidik yang ketat dan sering kali aku dimarahinya. Karena sudah sepastinya yang dia inginkan adalah yang terbaik untuk aku dan ibuku. Apalagi ibu orangnya lembut dan sering memanjakanku. Meskipun tidak pernah dia mengaku soal itu, tapi nyatanya seperti itu. Saat masih taman kanak-kanak, ibu selalu duduk menunggu di luar kelas sampai aku selesai. Padahal aku tak pernah memintanya, bahkan sekali pernah aku menyuruh ibuku pulang karena merasa malu selalu ditunggu. Setelah besar barunya aku sadar kalau itu adalah bentuk cinta seorang ibu. Ibu selalu menantiku pulang bahkan sampai aku lulus kuliah, bedanya sudah tak menunggu di depan ruang kelas melainkan di depan TV di rumah. 

Lihat selengkapnya