Brendan Walker tahu kisah ini tak akan berakhir bahagia.
Dia berdiri di pantai dekat rumahnya di Sea Cliff Avenue bersama kedua saudaranya, Cordelia dan Eleanor, menatap Teluk San Francisco. Bukan seluruh teluk, melainkan titik tertentu di airnya, tempat mereka baru saja melihat teman mereka, gergasi bernama Fat Jagger, berdiri beberapa saat yang lalu.
Mobil-mobil berhenti di Jembatan Golden Gate. Beberapa orang mengintai dari pinggirnya, mungkin penasaran benarkah mereka baru saja melihat versi raksasa gembrot Mick Jagger setinggi bangunan lima lantai di tengah Teluk San Francisco, melolong ke arah bulan.
Tetapi, itu jelas mustahil. Fat Jagger tidak nyata, setidaknya dalam cara yang berbeda dengan Brendan dan kedua saudaranya. Fat Jagger hanyalah sebuah karakter dalam novel lama karya Denver Kristoff. Atau begitulah dalam bayangan Brendan. Tetapi, kalau dipikir-pikir, cukup banyak hal “mustahil” yang disaksikan anak-anak Walker dalam beberapa bulan terakhir sehingga mereka percaya sebenarnya tak ada yang mustahil.
Kebanyakan anak mungkin bakal lari tunggang langgang sambil menjerit-jerit jika melihat sesosok gergasi besar bercawat muncul dari lautan. Atau, paling tidak, menelepon 911. Bisa dipastikan mereka tak bakal mencoba-coba membujuk raksasa bongsor itu mendekat. Tetapi, ketiga anak Walker jelas tidak seperti anak-anak kebanyakan. Setidaknya, tidak lagi. Terutama sejak mereka pindah ke Rumah Kristoff dan terlempar ke dunia magis buku-bukunya—terlibat pertempuran tiada henti dengan Penyihir Angin yang jahat, monster salju, cyborg Nazi, bajak laut haus darah, serta berbagai kengerian lain dari kedalaman imajinasi sang pengarang.
“Nah, terus bagaimana?” tanya Brendan. “Kita bisa saja menelepon guru bahasa Inggris-ku, Ms. Krumbsly, supaya membujuk Fat Jagger keluar. Dia masih lajang dan hampir sebesar Fat Jagger. Mungkin mereka pasangan yang cocok.”
Adik perempuannya, Eleanor, memukul lengannya. “Bren!” tegurnya. “Fat Jagger itu teman kita! Mestinya kau lebih ramah kepadanya. Dia sudah berkali-kali menyelamatkan nyawa kita, tahu! Ms. Krumbsly kelewat jahat—aku bahkan tidak ingin dia menjadi musuh besarku.”
“Yeah, aku tahu, Nell,” kata Brendan. “Sebenarnya aku cuma ingin bilang kita tidak punya rencana bagus.”
“Sejak kapan kau cemas soal rencana yang tersusun rapi? Biasanya kau main hajar saja,” ucap Cordelia.
Dia anak sulung dari ketiga bersaudara Walker. Dia hampir enam belas tahun, meskipun gaya bicara dan sikapnya bagaikan dua kali lipat usianya itu.
“Hei, kadang-kadang aku bisa menyusun rencana dan menjadi pemimpin, kok,” Brendan memprotes. Kedua saudaranya hanya menatapnya. Seperti Brendan, mereka tahu dia jauh lebih pandai dalam membuat lelucon.
Anak-anak Walker tengah berdiri di pantai tepat di bawah tebing yang pernah ditempati Rumah Kristoff. Bangunan bergaya Victoria setinggi tiga lantai itu dulu bertengger dalam posisi berbahaya di sana—bangunan yang mereka sebut “rumah” hanya dalam semalam. Karena setelah sekali lagi berhasil lolos dari dunia buku yang fantastis dan kembali hidup-hidup, di dunia nyata mereka mendapati ayah mereka ternyata kalah judi dan kehilangan sepuluh juta dolar. Maka, besok pagi, mereka akan pindah lagi ke apartemen penuh sesak di dekat Fisherman’s Wharf.
“Yuk,” kata Cordelia, merapatkan mantelnya untuk menghalau angin lautan yang dingin menggigit. “Lebih baik kita mendekat ke arah jembatan saja, di sekitar tempatnya muncul tadi. Kalau hanya sibuk mengoceh di sini, kita tak akan mendapat apa-apa.”
Brendan dan Eleanor mengikuti Cordelia menyusuri pantai ke arah jembatan. Masih tak ada tanda-tanda Fat Jagger.
Saat berjalan di pantai, anak-anak Walker melewati seorang pria tunawisma berjenggot kelabu panjang yang sedang duduk di semak-semak di dasar tebing. Pria itu mengawasi mereka melintas, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dalam cahaya bulan, kedua matanya bersinar bagaikan berlian dalam kegelapan bayang-bayang. Selama sepersekian detik, Brendan mengira orang itu Raja Badai, panggilan Denver Kristoff untuk dirinya sendiri sejak Kitab Petaka dan Hasrat merusak jiwanya bertahun-tahun silam.
Namun, buku itu sudah lenyap sekarang. Eleanor telah menyingkirkan buku itu untuk selamanya, menggunakan sihirnya sendiri. Begitu pula Raja Badai. Anak-anak Walker melihatnya tewas tertabrak bus kota di luar Bohemian Club di pusat kota San Francisco—dibunuh oleh putri kandungnya sendiri, Dahlia Kristoff, alias Penyihir Angin. Tetapi, meskipun artikel berita online menyatakan jasad pria itu dikuburkan di mausoleum tak jauh dari sana dengan identitas samaran, Brendan tidak seratus persen yakin penyihir tua licik itu benar-benar sudah mati.
“Fat Jagger!” jerit Eleanor, membuyarkan lamunan Brendan.
Untuk sesaat, Brendan mengira si gergasi muncul lagi. Tetapi, Eleanor kembali meneriakkan namanya, berseru memanggil-manggil di sepanjang teluk seolah tengah mencari anjing yang hilang.