How Long Will I Love You?

Dian Y.
Chapter #1

Kedatangan

Brigita menjinjing kopernya dengan susah payah saat bejalan melewati jalanan yang di satu sisi lembek, basah dan sebagiannya lagi ditutupi kerikil-kerikil tajam. Ia mengenakan sepatu datar dan dengan amat jelas ia dapat merasakan kerikil-kerikil itu menusuk-nusuk telapak kakinya tapi menurutnya itu lebih mending daripada sepatunya harus melewati tanah merah yang lembek dan bahkan di beberapa sisi masih tergenangi air, pasti semalam hujan turun dengan cukup meriah. 

Langkah kakinya lambat dan sebentar-sebentar ia berhenti melangkah, medan yang ia lalui ini sangat asing bagi kedua kakinya yang langsing meski tidak jenjang. Gita membenarkan tas kulit yang tersampir di pundaknya, tatapannya sendiri menatap lurus ke depan, ke sebuah bangunan yang terlihat seperti sebuah anomali di antara bangunan-bangunan lain yang dilewatinya tadi dan di antara hijaunya alam yang menjadi latar belakang rumah tersebut. 

Koper itu langsung ia banting begitu ia tiba di halaman rumah atau vila yang temboknya berwarna putih susu dan kusen-kusennya berwarna seperti arang. Kedua bola mata Gita langsung menjaring seluruh pemandangan di hadapannya dengan perasaan lega sekaligus puas, ini adalah tempat yang ia butuhkan saat ini. Tempat ini akan menjadi rumah sekaligus tempat persembunyiaanya selama beberapa bulan ke depan. 

Jemari Gita mengaduk-ngaduk tas kulitnya, amplop yang dicarinya ternyata terselip di antara buku catatan dan dompetnya yang besar. Gita menaikkan kacamatanya yang melorot hingga ke tengah batang hidung dan setelahnya ia mengeluarkan kunci yang tersimpan di dalam amplop putih tersebut. Ia memasukan kunci ke dalam lubang namun usahanya itu langsung menemukan kendala. Kening Gita mengkerut dalam, ia menarik kunci dan memasukannya sekali lagi, tapi tetap tidak bisa. Kepala Gita menoleh ke kiri dan kanan. Di sisi kanan rumah, di bagian halaman ada sebuah kanopi yang semestinya menjadi garasi luar tetapi tidak ada kendaraan yang terparkir di bawahnya. Di sisi lain ada sebuah pohon mangga yang sedang tidak berbuah karena memang belum musimnya dan di salah satu dahan ada dua buah tali tambang yang melilit sebuah ban hitam besar, menjadikannya sebuah ayunan. 

Sifat Gita yang akhir-akhir ini jauh dari kata sabar membuatnya segera mendesah dan mendumal kesal. Firasatnya memang sudah tidak enak saat kunci pintu di dalam amplop itu hanya diantar melalui jasa ojek online, padahal ia sendiri tidak berkeberatan bila harus bertemu dengan si pemilik rumah yang sampai kini ia tidak ketahui bagaimana rupanya. Gita yang sedang kelelahan segera menyesali keputusannya yang cukup sembrono, menyewa rumah ini langsung lewat tangan pertama hanya karena melihat foto-fotonya saja di media sosial. Akan tetapi lokasi dan harga yang ditawarkan memang sangat pas dengan kebutuhannya saat ini. Gita kembali merogoh tasnya yang dalamnya mungkin sedalam Lautan Pasifik hingga perlu keuletan dan jerih payah untuk dapat segera menemukan benda yang dicarinya, terlebih ponsel zaman sekarang dirancang untuk menjadi tipis dengan sedemikian rupanya. Gita terlalu sibuk dan asyik hingga tidak menyadari bahwa ada bunyi klik dari balik pintu sesaat sebelum pintu itu sendiri setengah terbuka. 

Saat Gita sudah menemukan ponselnya dan kepalanya sudah berbalik kembali menatap pintu yang dicat dengan warna abu-abu tua, tubuhnya melonjak hingga ia lompat ke belakang. Tanganya yang memegang ponsel ia letakkan di depan dada, pertanda bahwa ia benar-benar terkejut dan lebih terkejut lagi dengan sorot mata dari seseorang yang berdiri di balik pintu. 

Bibir Gita sedikit terbuka, ia terlihat seperti sedang bengong sedangkan yang berada di dalam rumah masih menyembunyikan sebagian tubuhnya, ia memindai tamu yang masuk ke pekarangan rumahnya tanpa disertai undangan dari atas hingga bawah dan terus begitu sampai-sampai ia hampir lupa untuk bernapas selama sekian belas detik. 

“Halo,” sapa Gita dengan suara serak dan ragu-ragu. 

Pria di balik pintu tidak segera menjawab. Di dalam rumah tampaknya pencahayaan kurang baik hingga wajah pria itu hanya terlihat samar-samar meski di luar sinar matahari masih terang bersinar, akan tetapi sorot mata itu segera membuat Gita terkenang akan suatu masa yang sudah terlalu lama berlalu. 

“Saya penyewa vila ini, nama saya Brigita Gunadi.” Gita melangkah maju, selain berusaha mencari jawaban atas suasana yang membingungkan ini ia juga ingin melihat mata itu lebih dekat dan lebih jelas lagi. 

Mata itu penuh selidik dan ekspresi alisnya yang tebal mengkerut dalam menandakan perkenalan diri Gita itu kurang berkenan dengan hatinya. 

“Saya yakin pasti ada kesalahan besar,” akhirnya pria itu membuka suaranya. 

Jantung Gita hampir melesat keluar dari tempatnya, bibirnya kembali ternganga kini lebih lebar dari sebelumnya, untungan cengkraman jemarinya masih kuat memegang ponselnya. 

“Tidak, saya yakin tidak ada kesalahan sama sekali.” Ucap Gita dengan gugup. “Saya bisa buktikan…, eerr….” Gita hendak menanyakan nama pria itu namun tiba-tiba keberaniannya menciut. 

“Maaf, Anda pasti salah rumah.”

Dan pintu dibanting tepat di depan hidung Gita. Kini Gita lebih terkejut lagi, selain mulutnya yang ternganga kelopak matanya pun tidak mampu berkedip. 

Deru motor di kejauhan menyadarkan Gita dari lamunannya. Tangan Gita bergerak cepat mengetuk pintu, pertama-tama ia mengetuk dengan sopan namun lama-kelamaan ia tahu kesopanan tidak selamanya bisa dijadikan tumpuan kehidupan apalagi di saat kondisi sedang mendesak jadilah ketukan itu semakin kencang dan bringas. 

“Halo, saya tidak mungkin salah bicara dan saya belum selesai bicara! Halo!”

Lihat selengkapnya