Tosca memiliki perawakan yang lebih besar dan tinggi daripada teman-teman sebayanya dan hal tersebut sudah menjadi permakluman di lingkungan permainannya sebab semua orang pun tahu pria dengan mata abu-abu terang itu memiliki darah campuran, ibunya berasal dari Amerika. Ibunya memiliki rambut pirang dengan warna kornea abu-abu terang. Tosca tahu bahwa leluhur dari pihak ibunya dulu bermigrasi dari Irlandia dan Prancis, mungkin warna abu-abu yang diwariskan kepadanya itu berasal dari salah satu leluhurnya itu.
Tasia lebih mirip dengan ibu mereka, rahangnya tajam tapi ramping, kulitnya pucat dan meskipun tidak pirang akan tetapi rambutnya berwarna coklat terang. Sementara Tosca, kulitnya memang cerah tapi karena hobinya sejak dahulu bermain sepak bola, menjelajah alam dan berjemur di bawah sinar matahari lama kelamaan kulitnya terlihat kecoklatan, selain itu bentuk wajahnya lebih mirip dengan ayahnya yang lonjong dengan garis-garis yang tidak begitu tajam. Aneh, biasanya anak laki-laki akan terlihat lebih mirip dengan ibu mereka tapi tidak begitu adanya yang ada di keluarganya, hanya matanya saja yang benar-benar sama dengan milik ibunya dan juga Tasia. Sekali pandang dari jarak yang jauh pokoknya Tasia terlihat sangat bule dan dirinya tidak begitu. Dan meskipun perbedaan fisik mereka cukup mencolok tapi keakraban dan rasa persaudaraan dalam diri mereka terjalin sangat erat.
“Kak Mama bilang katanya besok undang Kak Theo untuk makan malam di rumah.” Ujar Tasia menerobos masuk begitu saja ke dalam kamar Tosca.
Tosca yang sedang melepas kaosnya terus saja melakukan kegiatannya tanpa merasa malu atau kesal karena Tasia tiba-tiba menerobos ruang pribadinya.
“Dalam rangka apa? Perasaan ulang tahunku masih beberapa bulan lagi dan tidak ada rencana mau membuat perayaan apa-apa. Atau aku kelewatan sesuatu?”
“Biasa deh Mama kan emang suka sama Theo, naksir kali.”
“Hei, mulutnya dijaga ya anak muda.” Ujar ibunya yang bernama Everly. “Kalau aku tidak mengundang Theo, aku tidak akan tahu bagaimana perkembangan dunia Tosca.”
“Ah, Mama selalu ingin tahu kehidupan Tasia dan Tosca, padahal kami kan sudah besar.”
“Apanya yang besar? Kalian masih hidup di bawah atap rumah milik Mama dan Papa, artinya kalian masih anak-anak.”
Tasia memutar bola matanya secara diam-diam, dalam banyak hal Everly memang memberikan banyak kebebasan pada anak-anaknya namun dalam banyak hal juga ia tampaknya sangat takut menjadi seorang ibu yang tidak cukup baik untuk kedua keduaanaknya.
“Dan lagipula pamannya Theo kan memiliki rumah produksi, tidakkah kamu bisa melihat peluang yang sedang Mama usahakan untuk Tasia?”
Kedua buah pupil mata milik Tasia seketika membesar dan langsung tanggap. Tosca yang duduk di kursi belajar menatap Everly dan Anastasia secara bergantian, lalu mengela napas.
Tasia mirip dengan Everly, cerdas namun ribut kalau sudah kenal dekat apalagi lama sedangkan dirinya lebih mirip dengan Ayahnya Riantiarno Soedibyo yang tenang, seorang bekedudukan tinggi di salah satu bank ternama. Tasia mendekati abangnya yang menopang wajah dengan tangannya.
“Tosca, apa kiranya makanan yang disukai oleh Theo?”
“Theo kan sudah puluhan kali berkunjung ke rumah ini masa kamu tidak tahu apa-apa saja yang disenanginya atau tidak, apa yang paling sering diambilnya kalau disajikan makanan.”
“Theo kan tamumu bukan tamuku, mana sempat aku mengawasi hal yang seperti itu lagipula kan bila ia main ke sini kami juga paling hanya bertegur sapa secara sekilas saja, sama seperti kalau gengku main ke rumah ini.”
“Salahmu kalau begitu.”