Di dalam kabinet dapur berjejer cangkir-cangkir berwarna polos yang tidak perlu didasari oleh pertimbangan penting apapun salah satunya langsung diambil oleh Gita. Ia sudah merebus air dan mengambil daun-daun teh yang disimpan dalam toples bening. Seperti kata Tosca kemarin, ia bebas menggunakan apa saja yang terdapat di lantai bawah rumah itu. Ia menuang air panas dengan setengah melamun akibatnya banjir pun terjadi dan ia menyumpahi keteledorannya sendiri.
Teh beraroma melati itu ia hirup dalam-dalam sembari berjalan menuju halaman belakang, ketika ia membuka pintu kaca hawa dingin segera menyambutnya. Tubuh Gita yang meskipun terbiasa dengan pendingan ruangan namun udara alami penggunungan ini sangat berbeda dengan dingin buatan. Pertama rasa segarnya segera membasuh paru-parunya dan yang kedua dingin itu benar-benar mengigit hingga ke sumsung tulang. Ia sudah mengenakan kardigan tebal dan panjang namun ia harus merapakatkan lagi kancing-kancingnya agar tubuhnya merasa lebih hangat. Kedua tangannya memegang tubuh cangkir di depan dada seperti saat ia sedang berdoa.
Hamparan persawahan yang sedang hijau-hijaunya dan deretan pepohonan jati yang jarakanya hampir satu kilo meter dari tempatnya duduk kini membuat hatinya merasa asing sekaligus damai. Namun, terselip juga rasa takut, apakah di sana bersembunyi hewan buas? Misalnya srigala. Bulu kuduk Gita jadi bergidik. Halaman belakang rumah itu cukup apik dengan bunga-bunga yang ditanam langsung di tanah, ada bunga mawar putih, kembang sepatu, bunga telang dan tanaman lainnya yang kurang Gita ketahui namanya. Ada juga pepohonan tapi tidak serimbun di sisi kiri rumah. Gita sudah mengitari rumah itu kemarin sore, rumah yang asri dan menyenangkan, sangat berbeda dengan rumahnya sendiri di Jakarta. Gunung yang sebagian besar tertutup kabut itu masih menunjukan bagian tubuhnya yang bertundak-tundak. Gita tidak tahu banyak soal gunung tapi satu dua kali ia pernah mendengar bahwa di Pulau Jawa ini banyak gunung yang dianggap keramat dan salah satunya adalah gunung yang puncaknya mestinya tampak di hadapannya ini.
Gita suka minum teh ditambah madu, tapi di dapur rumah itu ia tidak dapat menemukan madu, terpaksa ia pakai gula batu.Tosca berkata bahwa bila ia ingin makan sesuatu ia dapat mengatakan dan memesannya kepada pria itu, ia tidak perlu pergi ke pasar tapi kalau ingin ya terserah saja. Apa-apa yang dipesannya itu dapat ia tulis di secarik ketas dan tempel di muka pintu kulkas. Tosca berkata ia akan berusaha untuk tidak turun ke lantai bawah dan tidak akan berkomunikasi secara langsung dengan Gita.
Bagi Gita hidupnya kini benar-benar terasa aneh, ia seperti berjalan dan bahkan hidup di alam mimpi. Entah mimpi buruk atau mimpi yang datang dari masa lalu, pokoknya mimpi ini tidak membuat hidupnya atau hari-harinya terasa cerah apalagi menyenangkan. Gita menyandarkan punggungnya ke salah satu kursi anyaman yang jumlahnya sepasang namun sayang satu kursi lainnya hanya diduduki oleh angin. Gita menyeruput teh panas dengan pandangan melamun. Dalam benaknya saat ini sedang timbul pertayaan-pertanyaan yang sebenarnya jawabannya bisa langsung ia dapatkan dari pria yang tinggal di lantai atas rumah yang disewanya. Akan tetapi nyalinya sendiri langsung ciut ketika gagasan menanyakan sejumlah pertanyaan itu berkelebat dalam kepalanya. Gita hampir loncat berdiri saat matanya menangkap gerakan cepat dibalik rimbunnya dedaunan pohon bunga telang, ia pikir ia baru saja melihat ular tapi ternyata itu adalah buntut kadal yang cukup gemuk. Gita menghebuskan napas lega.
Gita kembali pada polemik batinnya, ia sungguh tidak percaya bahwa Tosca tidak menyebut-nyebut bahwa mereka saling mengenal dulu…, dulu saat mereka masih begitu muda, ramun tapi juga lugu dengan perasaan mereka sendiri dan dulu itu sudah begitu lama berlalunya. Gita mencopot kacamatanya, kini ia jauh sekali dari kata muda, segar dan lugu, baginya ia kini tampak tua, bodoh dan menyedihkan. Tidak ada tempat baginya untuk mengingat-ingat hal-hal yang sudah berlalu, begitulah yang coba ia tanamkan dalam kepalanya selama ini namun perasaan ragu segera hadir sejak ia dapat kembali menatap bola mata yang begitu abu-abu dan indah itu. Apakah benar ia sudah setua itu? Sebodoh, semenyedihkan dan sejelek itu? Gita tersenyum sinis, tentu saja keempat hal itu benar semua.
Keyakinan Gita tersebut pun diperkuat dengan kenyataan bahwa Tosca telah melupakannya, pria itu sejak kedatangannya sama sekali tidak menunjukan adanya tanda-tanda bahwa ia ingat atau setidaknya merasa pernah berpapasan dengan dirinya di suatu tempat. Dada Gita seperti kena silet, cepat-cepat ia menyentuh bagian yang luka itu. Untung saja pemandangan yang serba hijau dan biru di hadapannya itu dapat membuat sedikit perasaan tenteram di hatinya.
Setelah cangkirnya setengah kosong Gita bangkit berdiri dan masuk ke dalam rumah, ia tidak mengharapkan kehadiran Tosca yang akan menyambutnya jadi setelah mencuci cangkir ia kembali masuk ke dalam kamarnya. Kamarnya tidak terlalu besar, hanya ada tempat tidur sederhana yang menempel ke tembok, satu nakas kecil, satu lemari pakaian satu pintu, sebuah lampu sudut dengan kap yang terbuat dari stainless. Tidak ada kamar mandi en suit tapi syukurnya kamar mandi itu terletak persis di seberang kamarnya. Kamar mandi itu tidak besar tapi bersih dan juga rapi, sayangnya tekanan airnya tidak terlalu kencang dan tidak ada pemanas air jadi andaikan ia mau mandi air panas ia harus merebusnya terlebih dahulu, menurut Gita hal tersebut sangat merepotkan, untung tembok rumah itu cukup tebal sehingga udara dingin tidak ikut masuk ke dalam. Gita tahu bahwa di lantai atas terdapat ruang tidur utama di mana terdapat kamar mandi di dalam kamar, ia masih kesal kalau mengingat hal itu tapi di satu sisi tinggal satu atap dengan pria bernama Tosca secara tidak sadar membangkitkan sebuah rasa di dalam dirinya sendiri yang sudah lama tertidur.
Gita menyisir rambutnya untuk kedua kalinya pagi itu, ia memulas bibirnya dengan lip balm berwarna cherry dan menepuk-nepuk pipinya agar tampak sedikit lebih “hidup”. Gita tidak memilik rencana apa-apa hari itu juga untuk esok hari dan esoknya lagi dan lagi, dalam kopernya yang besar itu ia sudah menyiapkan beberapa judul buku, ia mengambil secara acak dan membawanya naik ke atas ranjang. Kamarnya memiliki jendela yang juga kemarin ditutup dengan tirai hitam tebal yang kini sudah dibukanya dengan lebar. Jendela kamarnya dapat dibuka namun ia enggan membiarkan udara dingin masuk dan menjadi kawannya, maka dengan buku yang berada di atas pangkuannya ia bertopang dagu dan melihat pamandangan samping rumah itu dengan asyik.
Berbeda dengan bagian belakang rumah yang menampilkan lanskap alam, sisi samping kanan rumah itu memberikan bentang pemandangan berupa perumahan desa. Rumah itu terletak di tanah yang lebih tinggi daripada rumah penduduk lainnya dan jarak dari rumah terakhir ke rumah itu bila Gita perkirakan secara kasar barangkali sekitar satu kilo meter lebih. Jantung Gita bergetar andaikan Tosca sudah berubah menjadi seorang psikopat yang haus darah maka kecil kemungkinan bagi Gita untuk dapat meminta pertolongan dari tetangga terdekat. Gita mendesah seperti sapi yang sedang menghadapi tukang jagal, mengapa kepalanya tidak bisa lepas memikirkan pria itu padahal banyak hal dalam kehidupannya kini yang dapat ia pikirkan dan memiliki pokok perkara dengan urgensi yang lebih mendesak. Tapi memikirkan perkara Tosca meskipun terasa memilukan hatinya lebih memberikan kesenangan dibandingkan realitas kehidupan yang ia tinggalkan di Jakarta sana.
Kover buku fiksi yang masih licin itu Gita buka namun napsu membacanya sirna sebelum terjadi, ia berbaring telentang dan memejamkan matanya dengan membiarkan bingkai kacamata berwarna hitam itu itu terus bertengger di hidungnya. Sebetulnya Gita selalu merasa kurang cantik saat mengenakan kacamata dan ia sudah mengenakan kacamata sejak ia remaja dulu dan untung saja ada yang namanya teknologi lensa kontak yang sangat menolongnya dulu terutama sekali ketika ia ingin merasa cantik. Tapi kini matanya terlalu lelah dan ia sendiri terlalu merasa tidak cantik untuk memakai lensa kontak. Gita teringat akan suatu peristiwa lucu mengenai lensa kontak di suatu ketika dulu, bibirnya tersenyum tipis lantas bergetar dalam getaran yang getir. Tanpa ia sendiri kehendaki matanya mulai rembes dengan air mata.
Gita menangis dalam diam, andaikan ada bahu yang bisa menjadi tempatnya untuk bersandar ia akan sangat bersyukur sekali, tapi sayangnya masalahnya ini enggan ia bawa keluar dari bibirnya yang telah membisu selama berminggu-minggu ini dan karena itu ia sengaja melarikan diri ke tempat yang menurutnya cukup terpencil dan jauh ini. Gita berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan air rembesan itu tapi nyatanya semakin ia berusaha semakin bertambah deras dan menggebu keinginannya untuk menangis.
Gita memiringkan tubuhnya dan memeluk kedua lututnya, ia wanita yang telah kehilangan segalanya. Kini ia sudah tidak memiliki sebuah tubuh kecil yang selalu minta untuk dipeluknya setiap malam menjelang tidur, ia sudah tidak dapat mendekap wajah malaikat itu di dalam hangat dadanya. Jantungnya yang hidup terasa hampa, meskipun ia sangat yakin bahwa jantung hatinya itu sudah damai bersama Bapa di surga dan separuh dirinya sudah bisa belajar untuk merelakannya untuk selama-lamanya dan belajar untuk mampu benar-benar memahami rencana Tuhan tapi rasanya sulit sekali. Gita sudah tidak terobsesi pada setiap detil yang membawa nyawa anaknya itu melayang karena menurut hasil visum dan penyedikan polisi ia memang meninggal karena pendarahan dalam akibat tubuhnya terpental setelah tertabrak sebuah mobil Toyota. Tidak ada bukti CCTV meski ada beberapa saksi mata namun mobil dengan plat kosong itu tidak pernah ditemukan. Peristiwa itu terjadi hampir tiga tahun yang lalu namun rasa kehilangan itu tidak akan pernah bisa meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.