Theo tidak bisa dikategorikan sebagai seorang pria yang tampan namun masuk kategori jelek pun tidak. Wajahnya biasa-biasa saja dan wajahnya cukup lembut untuk ukuran seorang laki-laki maka untuk saat-saat tertentu ia sangat berusaha untuk menumbuhkan cambang serta brewok agar terlihat lebih macho. Tapi karena garis wajahnya yang seperti itu juga membuat dirinya lebih fleksibel dalam melakoni dunia teater yang sudah digelutinya sejak masih SD.
“Buset, pakai kemeja batik bahan sutera segala! Mau makan malam sama siapa sih? Sama presiden.” Sindir Tosca saat menyambut temannya itu di depan pintu rumah.
“Ya namanya diundang makan malam harus menujukan banyak rispek dong terhadap nyonya rumah.”
“Aduh bawa buah tangan segala!” ujar Tosca sambil menarik kotak yang dijinjing Theo.
“Kata kakakku cake itu sedang populer di kalangan para wanita.”
Tosca mengernyitkan dahinya, “Sekarang jujur, siapa yang sedang coba kau dekati? Mamaku atau Tasia?”
“Aduh monyet! Tentu tidak keduanya! Dasar orang hutan masa sopan santun biasa begini mesti dicurigai yang tidak-tidak sih.”
“Habis formil amat, biasanya juga goleran di sofa situ sambil pakai seragam sekolah.”
“Sorry boy, itu kan waktu kita masih remaja sekarang sebentar lagi kita akan menjadi pria dewasa.” Theo pura-pura menjotos lengan sohibnya. “Dan kau, pastikan kalau nanti kau berkunjung ke rumah gadis itu, berpakaianlah secara layak, jangan pakai kaos band yang sudah kelewat butut itu dan jangan lupa membawa buah tangan, sopan santun yang paling umum.”
Tosca berusaha menyembunyikan semu merah di kedua pipinya yang pasti sudah merambat hingga ke daun telinganya sebab tawa Theo yang penuh ejekan mulai mengikik seperti setan kuda lepas dari kandang.
Makan malam itu sendiri berjalan lebih santai dari dugaan Tosca dan bahkan ibunya dan juga Tasia tidak membahas soal paman Theo yang merupakan orang tersohor itu ataupun dunia perfileman yang diidam-diidamkan adiknya selama ini dan tidak juga membahas seputar dunia kampus. Theo yang terlalu banyak makan terkapar tak berdaya di atas ranjang Tosca.
“Jujur ya, sebenarnya sebelum turun dari mobil berpuluh-puluh pertanyaan mucul di dalam kepalaku, jangan-jangan ini bukan makan malam biasa melainkan pesta pertunangan antara dirimu dengan seorang gadis yang dijodohkan oleh orangtuamu atau jangan-jangan aku hendak diinterograsi karena suatu kesalahan besar yang telah kau perbuat atau…,”
“Sinting kau! Terlalu banyak nonton film sih!”
Theo memiringkan tubuhnya dan mengelus-ngelus cambangnya, “Habis kau alim begini, rasanya tidak mungkin kau akan mendapat pacar atau calon istri kalau tidak karena perjodohan…, atau jangan-jangan ternyata kau…”
“Babi!”
Theo nyengir dengan jahil, “Bercanda Tos, aku kan sudah mengenalmu luar dalam. Eh, kok malah kedengarannya intim sekali ya? Pokoknya, maskudnya aku ini sudah mengenal dirimu dan juga kepribadianmu, saat pikiranmu terganggu dengan sesuatu pun aku bisa langsung tahu, misalnya saat ini pikiranmu itu sedang pusing tujuh keliling memikirkan siapa itu maba ekonomi yang namanya kau sebut-sebut dengan penuh gairah itu? Hmm Brigita kan ya?”
Tosca menunduk dan pura-pura menggaruk kedua daun telinganya. “Tidak penuh gairah, biasa saja.” Bantahnya dengan percuma.
Theo tergelak senang sampai-sampai kedua tanganya aktif memukul-mukul lututnya sendiri dan perlu waktu yang lumayan sampai tawanya itu reda.
“Aku jadi penasaran seperti apa sih cewek yang sudah membiarkan panah Cupid yang terkenal enggan kepada dirimu itu sampai-sampai akhirnya rela melepaskan panahanya yang berharga itu ke situ.” Theo menunjuk letak jantung Tosca berada.
Tosca meraba dadanya sendiri dan terbayang lagi wajah Gita yang membuatnya terpesona pada pandangan pertama.
“Dia cantik,” Tosca berusaha menghindari tatapan penuh selidik yang sedang mengwasinya sedari tadi. “Juga manis, tapi cantik dan manisnya seorang perempuan itu kan relatif.”
“Ah, aku sih percaya saja kalau kau bilang dia cantik dan manis, soalnya kamu sendiri kan hidup dengan dikelilingin perempuan-perempuan cantik, jadi aneh kalau biji matamu yang aku tahu tidak minus atau plus itu malah terpikat dengan perempuan yang kurang cantik.”
“Siapa maksudmu perempuan-perempuan cantik?” tanya Tosca dengan jujur dan bingung.
Theo melotot, “Tentu saja Tante Everly dan Tasia, wah andaikan pamanku melihat adikmu itu pasti ia akan langung menawarinya untuk diorbitkan menjadi artis sinetron atau film, kan sekarang sedang trennya menggunakan aktris dan aktor berdarah blasteran, konon kata orang-orang sih mereka terlihat jauh lebih cantik dan ganteng daripada orang Indonesia asli.”
Tosca mengangkat alisnya, “Jadi menurutmu Tasia bisa diorbitkan jadi seorang aktris, selebritis?”
“Tentu saja, apa adikmu mau? Kalau mau aku bisa hubungi pamanku, Laksana Anjasmoro, kalau aku bisa menemukan calon bintang yang bersinar terang kan aku bisa minta persenan juga padanya. Lumayan lah untuk dipakai jalan-jalan ke Hollywood atau Broadway.”
Tosca tersenyum dengan penuh arti, mungkin dengan sedikit dorangan ia bisa menyenangkan hati ibu dan juga adiknya.
“Apa kau tidak tahu salah satu cita-cita Tasia kan memenangkan Piala Citra. Kalau itu bisa mewujudkan impiannya dan impianmu, kenapa tidak?”
Theo membalas senyum Tosca dengan lebar, “Kalau begitu, bisa aku atur dengan mudah nanti. Kau sendiri bagaimana? Mau diorbitkan juga tidak? Tampangmu kan meski lebih masuk ke wajah pribumi tapi masih ada ciri dari ibumu dan matamu itu langka sekali, bisa menjadi daya tarik yang besar dan…, kalau kau sudah jadi terkenal kau tidak perlu pusing-pusing membayangkan si Brigita, Brigita itu, percaya deh kelak ia yang akan datang sendiri padamu kalau kau sudah jadi artis beken.”
“Enggak deh, enggak minat! Itukan mimpi Tasia kalau mimpiku beda lagi dan lagipula jadi terkenal tampaknya tidak begitu menyenangkan.”
“Ah sok tau, kau kan belum pernah mengalaminya bagaimana tahu kalau itu tidak menyenangkan?”
“Banyak kok cerita suram dibalik kehidupan selebriti yang glamor itu, ternyata tidak seterang dan seindah yang tersaji di layar kaca dan lagipula aku juga sadar diri, kepribadianku yang seperti ini tidak cocok untuk bekerja di dunia showbiz.”
Theo sudah siap untuk membuka mulutnya dan memberi sanggahan namun diurungkan niatnya tersebut. Ia tahu sikap pemalu Tosca dan ia tahu mau dipaksa seperti apapun pria itu tidak akan sudi merubah pendiriannya, kecuali paksaan itu datangnya secara lembut dan tidak ketara.