Jipeng selalu membuntuti Tosca ke manapun pria itu pergi, malahan karena jarang sekali turun ke lantai bawah kecuali lewat tengah malam dengan langkah kaki yang sangat halus atau di saat-saat terang hari setelah Tosca memastikan tidak ada suara pergerakan dari Gita barulah ia melakukan hal-hal yang perlu dilakukannya di lantai bawah. Meskipun sebenarnya Gita tidak bernar-benar terlelap atau beristirahat di dalam kamarnya ia lebih memilih membiarkan pikirannya sendirian berkelana tak tentu arah dan lagipula kabut canggung yang menyelimuti mereka terlalu aneh untuk ia hadapi.
Dengan kemampuan hatinya yang terbatas Gita berusaha keras untuk mengatasi rasa sakit hatinya. Setiap ia mengingat peristiwa tiga hari yang lalu ia merasa jantungnya laksana ditusuk sebuah pisau tajam, setiap ia mengingat hal-hal yang terjadi hampir dua puluh tahun dulu itu ia merasa seperti seorang bodoh yang ketololannya melebihi seseorang yang berlari ke tengah lapangan meski petir sedang menyambar-nyambar kulit bumi.
“Rasanya seperti aku menjebak diriku sendiri selama ini. Ya Tuhan, betapa bodohnya aku!” desis Gita. “Di Jakarta aku tidak bisa tenang apalagi bahagia dan di sini pun ketika aku menemukan secercah harapan ternyata itu juga hanya sebuah harapan kosong.”
Gita berjalan mondar-mandir dengan pikiran penuh dengan pertimbangan ingin hengkang dari rumah itu sesegera mungkin. Rasa malu terhadap pria itu tidak seberapa dibandingkan rasa malunya terhadap dirinya sendiri.
Setelah cukup lelah mondar-mandir Gita membanting tubuhnya ke atas ranjang lalu ia terdiam seperti patung dengan pandangan mata yang enggan mengedip. Ia sudah terlihat tenang meski di dalam kepalanya masih terjadi keributan dan utamanya pertentangan. Kelima jari Gita mekar seperti ingin menggapai sesuatu yang tak tampak dan seolah-olah benar-benar menjangkaunya Gita membawa hal itu ke dadanya.
“Tapi aku tidak dapat terus kabur dari orang-orang. Aku akan menghadapinya kali ini…, akan aku hadapi Tosca dan masa laluku.”
***
Hawa dingin kembali terasa menerjang tubuhnya yang sebelumnya sudah cukup hangat ketika ia gunakan untuk berjalan mengelilingi desa yang memiliki topografi yang masih sangat alami ini. Jalanan yang menanjak cukup membuat jantungnya bekerja lebih ekstra dan jujur saja kesehatannya tidak sebaik seperti yang tampak, Tosca memegangi dadanya dengan perasaan takut. Samar-samar dibalik kabut pagi yang tipis sebuah sepeda motor lewat, penumpangnya membawa tabung pompa, saat mereka berpapasan pengemudi itu menyapa Tosca dengan sebuah senyuman. Tosca membalasnya disertai lambaian tangan. Memang di kiri kanan jalan yang terbentang adalah lahan pertanian milik orang yang sebagian besar ditanami padi. Semua masih hijau tapi sudah lumayan tinggi. Hanya sepetak dan dua petak lahan yang ditanami cabai dan bibit edamame.
Sekarang adalah bulan Februari, ia datang tepat setelah tahun baru. Sebulan menetap di rumah yang dibelinya dengan harga murah dari Theo, Tosca sudah mulai terbiasa dan mulai dapat mengatur ritme hidupnya di desa yang disebut desa Giri Harjo. Akan tetapi, ritme itu harus berubah saat tanpa undangan Gita datang dan mengetuk pintu rumahnya, sesuatu hal yang tidak pernah berani ia impikan. Sejujur-jujurnya ia ingin sekali dapat memperlakukan Gita dengan baik, mengajaknya berbincang dengan santai, mengajaknya berkeliling ke sana-sini tempat yang menarik di sekitar rumah yang sudah menjadi miliknya selama lima tahun ini. Sebenarnya Tosca jarang mengunjungi rumah itu malah Tasia yang lebih sering menjadikannya sebagai rumah peristirahatan ketika dirinya butuh untuk “menyepi”.
Warna lembayung yang teduh menghiasi cakrawala dengan manisnya, Tosca berharap musim hujan tak usah berlanjut saja. Betapa anehnya bila ia berada satu atap dengan Gita dengan diliputi suasana sendu pendesaan yang hening dan mengusik sukma. Kemarin sewaktu ia memberikan semua tanda indentitasnya Tosca melihat dengan sangat jelas sebuah cincin dengan mata berlian tersemat di jari manis Gita, tentu saja ia tahu bahwa memang sudah sejak lama wanita itu tidak lajang namun melihat dengan mata kepalanya sendiri tanda bukti pengikat hati dan fisik yang semestinya pamungkas itu sangat menyakitkan hatinya.
Anak-anak sekolah sudah mulai berangkat dengan moda transportasi andalan yang paling digemari orang di desa itu, yaitu sepeda motor, pernah Tosca sampai melongo saat melihat anak yang masih berseragam merah dan putih menaiki sepeda motor yang sudah pasti ukurannya jauh lebih besar daripada tubuh si anak itu. Dulu sewaktu Gita belum datang, setiap pagi ia selalu berjalan kaki mencari pemandangan atau sekedar melatih otot kakinya agar kuat selain itu bukannya suasana alam juga dapat menyembuhkan raga dan jiwa yang sakit? Ya begitulah yang pernah didengarnya dulu, di suatu tempat, entah di mana ia sendiri lupa. Tosca berhenti tepat di depan sebuah bangunan terbuka yang sangat senderhana. Atapnya ditutupi seng sedangkan penyangganya sendiri hanya empat buah kayu kurus di masing-masing sisi, sebuah meja kayu lapuk berwarna kehitaman diletakan di bagian tengah. Tosca mengecek jam tangannya, sudah hampir jam enam namun tukang jenang yang sudah beberapa kali dibelinya itu belum tampak kehadariannya.
“Belum datang si Mbahnya Bu?” tanya Tosca pada tiga orang ibu-ibu yang tampaknya juga sedang menanti penjual jenang beraneka ragam rupa itu.