How Long Will I Love You?

Dian Y.
Chapter #6

Penonton Misterius

Hampir semua bangku di dalam ruangan auditorium itu dikosongkan, yang ditempati hanyalah tiga buah bangku pada barisan ketiga dari depan saja menurut pengelihatan Gita.

“Apa alasanmu ingin masuk teater?” 

Alasan? Ya, tentu saja ada alasan atas setiap putusan namun dirinya sudah pasti tidak akan mau membeberkan alasannya yang paling personal kepada siapapun juga apalagi kepada orang yang belum dikenalnya ini. 

“Orangtua saya…, mereka kadang mengajak saya pergi menonton pertunjukan teater dan saya selalu menikmati setiap pertunjukan yang saya tonton. Saya merasa bahwa seni pertunjukan teater penuh dengan tantangan dan dinamika. Dan bagi aktor dan aktris yang berperan harus memiliki keseriusan sekaligus ketulusan saat sedang berakting di atas panggung…, jadi saya sangat tertarik untuk ikut unit kegiatan mahasiswa ini karena tantangan yang saya sebutkan barusan.”

Wajah kedua orang yang menjadi juri terlihat datar saja ketika mendengarkan jawaban Gita yang ia sendiri rasa tidak terlalu meyakinkan, sedangkan seorang lagi yang wajahnya terlihat paling muda namun sengaja memelihara cambang (sengaja, soalnya terlihat sangat klimis tidak asal tumbuh) tersenyum sekaligus mengangguk-angguk. 

“Ok, kalau begitu coba sekarang kamu akting marah…, terserah marahnya karena apa.” Perintah seorang pria berkacamata yang duduk di ujung kiri.

Jantung Gita berdetak kencang, otaknya kebat-kebit bekerja keras mengarang sebuah cerita yang kiranya menarik para pemirsa sekalian. 

Di atas panggung tidak terdapat benda apapun yang dapat dijadikan properti pembantu. Gita menarik satu napas panjang, imajinasinya yang sejak dulu memang tidak tinggi-tinggi amat ia harap tidak terlalu buruk untuk dinilai. 

“Aku akan selalu menghormatimu, seperti yang sudah selayaknya terjadi. Andaikan kita hidup di dunia tanpa sopan santun dan tanpa pandangan juga pengawasan dari komunitas maupun masyarakat…,” Gita berhenti dengan mendadak, entah mengapa ia tiba-tiba teringat anjingnya Bruno yang pernah tersedak tulang. Gita menggeleng, ia harus fokus. “Aku sering merenung, bagaimana seandainya manusia tidak perlu menjadi mahluk sosial, tidak perlu ada komunitas dan tidak ada seperangkat aturan yang tak tertulis dalam kehidupan bermasyarakat secara umum. Andaikan renungan itu dapat menjadi sebuah kenyataan maka hal pertama yang akan aku lakukan adalah meludahimu!

“Apa kau terkejut? Mengapa bisa kau terkejut? Apa kau ini bodoh! Masa kau tidak bisa merasa bahwa di balik sikap kesopansantunanku yang sesuai dengan tuntuttan dan norma hidup dalam masyarakat itu sesungguhnya hanya terjadi karena aku dituntut untuk berlaku seperti itu…”

Gita pura-pura merengut lantas bibirnya seolah-olah mencibir lawan bicaranya yang berupa sosok bayangan saja, ia kembali teringat akan Bruno, anjing itu selalu menerjang sepatu dan sandal yang tidak disimpan di rak yang tinggi.

“Aaaah, kau tak perlu mengatakan apa-apa padaku karena itu tidak akan berguna. Sama sekali tidak berguna. Karena mau kau meminta maaf seperti apapun aku tidak akan pernah merubah pendirianku itu. Aku membecimu dan aku sangat murka padamu. Kau dengar itu? Tapi tentu saja aku tidak dapat menunjukan amarahku itu padamu, karena apa? Karena tututtan dan norma mayarakat yang justru akan menghakimi diriku andaikan aku menunjukan keberanaran ini di muka umum.”

Gita berpura-pura membelakangi seseorang, tangannya memegangi kepalanya dengan frustrasi. Bruno sangat benci petir, kalau ada gemuruh saja dia langsung berusaha membebaskan lehernya dari jeratan tali kekang. 

Lihat selengkapnya