“Kau tahu dulu…, dulu sekali Theo pernah mengatakan padaku salah satu alasannya mengapa ia suka tampil di atas panggung, ya tentu saja selain karena latar belakang keluarganya, katanya saat ia berada di atas panggung, ia bisa lepas menjadi orang lain, kepribadian lain, dunia yang lain daripada yang mesti dihadapinya sehari-hari. Tidak mudah dan mesti fokus namun di situ nikmatnya. Begitupula saat ia berada di belakang panggung, meski ia tidak tambil namun mengadakan sebuah pertunjukan benar-benar menyedot seluruh perhatian dan imajinasinya. Apa menurutmu pendapatnya masih sama hingga hari ini?”
Tosca tampak acuh tak acuh mendengar celoteh Gita, ia sendiri sedang memasukan cairan detergen ke dalam kotak sabun di mesin cuci.
“Aku dengar ia sekarang menetap di Singapura ya? Menjadi salah satu pemimpin produksi teater terkenal di sana. Apa benar?”
Tosca yang sudah ribuan kali mencuci pakaian kotornya sendiri sejak muda tidak perlu berlama-lama berkutat di ruang cuci, begitu selesai memencet tombol-tombol yang sudah akrab denganya itu ia langsung keluar dari ruang cuci. Gita langsung membuntuti Tosca, tidak peduli lagi bila sikapnya itu dianggap seperti sikap lalat sekalipun, terus menempel dan menganggu. Saat itu hanya ada mereka berdua, entah di mana Jipeng berada, mungkin kucing itu masih tertidur pulas, sepertinya hanya dia yang tidak memiliki permasalahan serius di rumah itu.
“Kau ingat pertunjukan pertama yang dipimpin Theo di kampus dulu? Yang dari naskah Putu Wijaya? Ingat?”
Di rumah itu tidak ada dispenser dan air minum harus direbus di ceret, Tosca menggumamkan perkataan yang tidak jelas saat ia mengetahui air dalam ceret kosong melompong. Gita mengira bahwa Tosca membalas pertanyaanya, ia berusaha mendengarkan perkataan Tosca baik-baik.
“Bisa ulangi? Aku tidak mendengar jelas perkataanmu.”
“Kalau ceret air kosong, bisa tolong kau isi dan rebus?”
Gita tersenyum manis, “Ya, tentu bisa.”
Bibir Gita terus menyunggingkan senyum sembari memperhatikan Tosca bekerja. Sebenarnya ia baru tertidur kembali setelah sengaja bangun di jam tiga dini hari, ia memanjatkan doa yang sudah menjadi kebiasaanya selama dua tahun kebelakang, saat matanya baru terpejam kembali selama beberapa menit ia mendengar derap langkah menuruin anak tangga dan ketika ia memeriksa jam di ponsel ternyata baru pukul empat pagi, ia buru-buru menarik kacamata dan jaket dan merapikan rambutnya sebelum menyergap Tosca karena bila tidak begitu ia tidak akan pernah bisa berpapasan dengannya.
“Untuk bubur yang kemarin, terima kasih. Sangat enak dan aku memang sangat suka makanan manis.” Aku Gita.
Tosca menoleh sekilas, “Sama-sama.” Ucapnya.
Laki-laki yang semakin hari bila diperhatikan dengan seksama kulitnya semakin pucat itu seperti tidak tahan bila harus lama-lama berdekatan dengan Gita jadi setelah api dalam kompor menyala ia segera pergi ke kamar mandi karena hanya di sanalah perempuan itu belum terlalu gila untuk membuntutinya.
Gita duduk dengan postur tegap di sofa, ia melihat kesepuluh jari tanganya dan hatinya kecut saat melihat cincin kawainnya sendiri. Cincin itu akan selalu mengingatkannya dengan suaminya dan perasaan bencilah yang kini selalu dirasakannya setiap kali wajah itu teringat. Gita mencopot cincin itu dan menyimpannya di dalam saku celana piyama, ia memang selalu ingin melepas cincin itu setelah keluar dari rumah tapi ia selalu saja lupa, entah karena sudah terlalu lama menempel, jadi sudah menjadi seperti suatu kesatuan saja dengan tubuhnya sendiri seperti misalnya hidung, telinga, kutil atau karena ia takut orang-orang akan menghakiminya ketika jemari tanganya tak berhiaskan penanda tersebut, tapi tidak ada alasan yang berkenaan dengan perasaan cinta mengapa cincin itu masih saja menempel di jari tangannya. Gita malah agak menyesal mengapa tidak ia copot dulu cincin itu sebelum pergi ke rumah ini, tapi mana ia tahu bahwa ia akan bertemu dengan Tosca dan mana ia tahu pula bahwa meskipun bersikap menyebalkan namun sesungguhnya pria itu masih menyimpan sedikit kepeduliaan dan mungkin juga perasaan padanya, terbukti dari bubur yang dibelikannya untuknya kemarin dan catatan pendek yang menurut Gita cukup memberikan alasan padanya untuk mencoba sekali lagi.
Gita memejamkan matanya dan tulisan yang rapi itu segera memenuhi bayangan dalam kepalanya : Untuk Brigita, bubur ini enak cobalah. Gita membuka matanya, hanya Tosca yang memanggilnya Brigita, sejak dulu selalu Brigita tidak pernah Gita dan dengan begitu berarti benar bahwa ia masih belum melupakannya. Semangat Gita meluap-luap, ia menemukan sebuah gairah lagi dalam hidupnya.
Gita memeriksa isi kulkas, ia ingin membalas kebaikan Tosca tempo hari, sarapan yang lezat tampaknya ide yang baik, lazimnya perasaan dan terutama hati yang keras dapat luluh saat perut bahagia. Senyum Gita pudar saat ia menyadari bahwa ia hampir tidak tahu apa-apa mengenai Tosca selain bahwa ia pria yang sangat baik, gagah dan mempesona, tapi ia tidak pernah tahu apa makanan yang disukainya? Apa makanan yang ia benci atau membuatnya alergi? Jangan-jangan Tosca mengikuti suatu pola makan khusus, kalau begitu usahanya akan sia-sia nanti dan lagipula isi dalam kulkas itu hanya menyisakan sedikit bahan makanan, tampaknya hanya seminggu sekali bahan makanan di rumah itu diperbarui.