How Long Will I Love You?

Dian Y.
Chapter #8

Perasaan

Tosca menyimpan formulir pendaftaran yang asli milik Gita yang mestinya disimpan sebagai arsip penting oleh Theo, ia mengembalikan fotokopiannya saja dan tentu saja konco dekatnya itu menghujaninya dengan protes keras disertai kata-kata yang cukup menyentil gendang telinganya namun Tosca bersikeras dan dengan sikapnya yang bagaikan batu karang itu lah yang membuat Theo akhirnya mengalah dan membiarkan kertas itu disimpan olehnya. 

Tosca mengangkat tinggi kertas itu sejajar dengan kepalanya yang sedang rebahan. Sebuah foto kecil di pojok kanan atas memperlihatakan bidadarinya sedang tersenyum. 

“Brigita. Seribu sembilan ratus delapan puluh tujuh. Hobi makan manis.”

Semua itu sudah dihafal oleh otak Tosca yang termasuk golongan cerdas dan juga sudah sepenuhnya masuk ke dalam hatinya yang termasuk golongan lemah. Ia tidak tahu mengapa ia bisa setertarik itu terhadap gadis itu dan parahnya ia tidak dapat mengontrol perasaan dan dirinya sendiri, yang ia tahu dengan pasti hanya bahwa ia senang jika tidak sangat bahagia saat melihat wajah manis dan cantik itu, di dunia ini seolah-olah hanya si dialah yang paling penting, hanya si dialah yang menjadi dambaannya dan hanya si dialah yang menyita hati dan pikirannya, yang lainnya sih tidak begitu penting sekarang-sekarang ini. 

***

Gita mendadak terbangun karena suara gaduh di luar rumah. Kamarnya sendiri berada di lantai dua dan karena ia penasaran ia menarik sandal kamarnya dan berjalan menuju jendela. Di bawah sana Gina kakaknya yang memiliki jarak usia dua tahun darinya ternyata baru pulang, diantar oleh sebuah mobil sedan BMW keluaran terbaru. Bukan hal yang aneh sebenarnya, kehidupan kakaknya memang begitu. Ia jarang berada di Indonesia dan sekalinya pulang Gina jarang berada di rumah atau kalaupun ada di rumah ia hanya menumpang tidur atau sarapan saja. Gita kembali ke ranjangnya dan menarik selimut sampai sebatas kapala tapi percuma rasa ngantuknya sudah hilang entah ke mana. Gita menarik sandalnya kembali

Dapur rumahnya terang benderang dan Gina sedang menegak segelas besar susu segar meski begitu Gita dapat mencium bau alkohol yang sangat kuat dari tubuh kakaknya. Mereka tidak bertegur sapa. Gita menyalakan kompor dan mengambil kaleng coklat dari dalam lemari penyimpanan. 

“Kau sudah memutuskan mau tinggal dengan siapa?” tanya Gina dengan suaranya yang selalu serak. 

“Belum. Aku tidak tahu…, aku belum tahu.”

Gina mengguncang-guncang gelas yang ia pegang, kakinya yang panjang ia lipat menjadi huruf x saat ia bersandar pada kulkas. 

“Sebaiknya kau ikut Papi saja.”

“Aku tidak minta saran.”

“Mami pasti akan tinggal dengan pacarnya itu, apa kau mau tinggal serumah dengan selingkuhannya yang usianya saja tidak jauh dari usiaku.”

“Kan kamu yang mengenalkannya dengan Mami.”

Gina tertawa namun tawanya terdengar sekali dibuat-buat, “Jadi kamu mau menyalahkan aku”

“Lantas siapa lagi?”

“Kalau begitu lebih baik kamu ikut Mami saja, atau mau ikut denganku? Mumpung aku sedang sedikit berbaik hati nih.”

“Aku tidak butuh belas kasihan dari siapa-siapa.” Jawab Gita judes.

Tangannya gemetar saat menuang susu yang baru saja dihangatkannya dan membuat Gina kembali tertawa. 

“Jangan sok kuat, kamu masih anak-anak.”

“Kamu juga baru dua puluh tahun.”

“Tapi aku sudah bisa cari uang sendiri.” Ucap Gina angkuh. “Dan hidup selalu memerlukan uang…, uang yang sangat banyak sekali.”

Apa yang dikatakan oleh Gina memang tidak terbantahkan sehingga Gita diam saja menutup bibirnya rapat-rapat sampai ia kembali ke atas dan menangis sepuasnya, saat ia meneguk susu coklat yang dibuatnya hangatnya sudah hilang dan ia merasa sebagian air matanya malah ikut tercampur ke dalamnya. 

Gita terus memamerkan senyumnya saat Siska menyapanya di depan Gedung S tempat di mana seminar yang wajib mereka ikuti akan diadakan sebentar lagi.

Lihat selengkapnya