Selama tiga hari hujan terus turun meski tidak selalu deras namun suasana sendu dan melankolis memenuhi dinding ruangan berserta dinding hati pada jiwa-jiwa yang merindu, dan pada hari keempat tiba-tiba langit berubah menjadi begitu terang seterang musim panas. Gita masih tidak putus asa meski setelah pagi yang lumayan ramah itu Tosca kembali menghilang dan berusaha menghindarinya, ia yakin bahwa Tosca tidak benar-benar membencinya atau tidak ingin berbicara dengannya hanya saja ada sesuatu yang membuatnya begitu.
Di rumah itu tidak ada pembantu jadi semua pekerjaan rumah tangga mesti ditanggung masing-masing namun Gita tidak merasa keberatan justru ia mengangap itu sebagai bentuk olahraga saja. Ia memukul-mukul pundaknya sehabis menjemur kain seprai dan baju-bajunya yang tidak begitu banyak jumlahnya. Jemuran itu sendiri berupa tali yang diikat pada dua batang besi yang ditancapkan di tanah dan teletak di sisi kanan rumah. Jipeng mengeong saat lewat di belakang Gita membuat Gita kaget.
“Ah kau, mengagetkan saja. Ke mana tuanmu? Apa belum bangun? Malas juga ya.”
Gita mengelus kepala Jipeng dengan lembut dan Jipeng mengeong karena senang dan merasa nikmat.
“Kau tahu Tosca berjanji mengajakku pergi jalan-jalan tapi sampai hari ini belum juga diwujudkan olehnya. Apa? Bukan salahnya? Memang bukan salahnya kalau dari kemarin hujan terus tapi kan dia bisa sesekali turun ke bawah dan mengajakku berbicang. Apa? Dia sariawan? Aduh, apa aku harus membuatkan jeruk peras untuknya? Apa? Tidak usah, dia pria jahat? Ah, jangan begitu Peng, biar bagaimanapun ia senang mentraktirmu dengan kepala udang kan dan lagipula…, Tosca bukan pria jahat…”
Gita menatap langit, meski baru jam delapan pagi tapi panasnya sudah seperti jam sebelas siang. Dia sendiri agak heran ternyata matahari di daerah pegunungan lebih terang dan lebih ganas sinarnya daripada yang dijumpainya di rumahnya sendiri di ibu kota.
“Kita tidak boleh gampang melupakan kebaikan orang kepada kita Jipeng, malah kita harus bisa melupakan dan memaafkan kesalahan yang orang perbuat pada diri kita, begitulah kata Romo. Tosca tidak salah apa-apa padaku, aku pun tidak bersalah apa-apa padanya, bukannya begitu?” belaian Gita semakin lama semakin lambat. “Andaikan ia masih hidup, ia pasti akan senang sekali bermain denganmu. Anakku itu manis sekali, ia seperti boneka. Ya, boneka yang amat lucu sekali, tapi sayangnya anakku itu tidak dapat dibeli di toko dan tidak dapat ditukar dengan apapun juga.” Gita mendorong kacamatanya mundur. “Ah, aku tidak boleh membicarakan dia yang sudah tiada saat hari begini cerah. Katakan padaku Jipeng apa kalau tidak hujan mataharinya selalu seterik ini di sini?”
Gita berusaha mengembalikan senyum ceria pada wajahnya yang sudah beberapa bulan ke belakangan tidak bisa muncul sama sekali. Dengan adanya Tosca di sekitarnya rasanya tidak sulit untuk kembali menjadi Gita yang terlihat ceria.
Saat masuk ke dalam rumah ia melihat Tosca sedang menuruni anak tangga dengan berpegangan pada railing. Ia mengenakan celana selutut, kaos gombrong hitam dan topi beseball dengan warna senada.
“Kau mau pergi?”
“Ya.”
“Ke mana?”
“Belanja makanan.”
“Ini hari pasaran? Kau tidak akan mengajak aku?”
“Kau sungguh mau pergi ke pasar?”
“Ya, sudah aku katakan kemarin.”
Tosca berhenti di anak tangga paling bawah, “Kau akan capek nanti, mobilku masih di bengkel, mungkin dua minggu lagi baru selesai perbaikannya.”
“Lantas kau akan pergi dengan apa?”
“Jalan kaki.”
“Aku juga punya dua kaki, aku akan ikut berjalan kaki denganmu.”
“Jauh, kurang lebih lima kilo sekali jalan.”
“Anggap saja olahraga pagi! Tunggu aku akan bertukar pakaian!” perintah Gita dan buru-buru melewati Tosca untuk masuk ke dalam kamar.
Jipeng tentu tidak diajak ikut serta, ia dikunci di dalam rumah. Gita memakai topi dari bahan anyaman dengan merek Siska Siswato yang dijahit rapi dibagian dalam topi. Ia menutup tubuhnya dengan kardigan tipis berwarna kuning cerah dan celapan panjang putih berbahan linen, ia berusaha mengimbangi santainya busana Tosca jadi ia tidak membawa tas, hanya sebuah dompet kecil yang ia kantongi.
“Kalau kau capek di sini ada ojek.”
“Kita bahkan baru keluar beberapa langkah dari rumah dan secara halus kau sudah mengusirkku kalau tidak meremehkan kekuatan fisikku.” Kata Gita dengan masam namun sama sekali tidak tersinggung. “Kau selalu berbelanja ke pasar?”
“Ya.”
“Apa di pasar juga menjual barang impor yang mahal? Di sana tidak mungkin menjual sirup mapel yang harganya ratusan ribu itu kan?”
“Aku membawanya dari rumahku, tapi juga bisa beli secara daring. Di sini tidak sedusun yang kau kira.”
“Asal kau tahu saja ya sebelum menyewa rumah itu dan pergi ke sini aku juga sudah sedikit banyak mencari tahu ini dan itu tapi bertanya denganmu dapat membuka percakapan, kalau itu mesti aku lakukan meski akan terlihat seperti orang dungu maka akan aku lakukan. Tidak enak tahu kalau jalan dengan orang tapi hanya saling diam.”
Dari pintu rumah, mereka berjalan melewati halaman yang panjangnya dua ratus meter sampai ke jalan utama yang jalannya bukan dari aspal melainkan dicor di dua buah sisi jalan. Gita melongok ke kanan ke arah kumpulan pohon jati.
“Di sana apa masih ada rumah?”
“Ada, masih ada desa di sana. Itu bukan hutan tapi kebun pohon jati milik orang, lewat kebun itu ada jalan menanjak yang sangat curam sehabis itu baru ada desa.”
Gita mengangguk-angguk, itu dia alasannya mengapa masih ada kendaraan yang lewat di depan rumah Tosca, ia pikir setelah tempat yang dikiranya hutan itu yang ada adalah puncak gunung.
“Kalau ke puncak masih jauh?”
“Kau mau ke puncak?” tanya Tosca dengan wajah datar saja, kelewat datar untuk hari yang begitu cerah. “Masih sangat jauh dan biasanya para pendaki tidak mendaki dari sini melainkan dari Magetan sana, jalur Cemoro Sewu itu yang paling cepat untuk mencapai puncak.”