Tasia tahu dan sudah lama menyadari bahwa kakanya sedang tidak baik-baik saja, ia seperti orang yang terkena sakit demam, kalau tidur siang di sofa kadang suka bergumam, kalau makan ia mengunyah makanannya lebih lambat daripada dulu-dulu, kalau sedang sedang sendirian matanya jarang berkedip, wajahnya sampai daun telinganya yang agak besar itu suka merah sendiri tiba-tiba dan sekarang pintu kamarnya selalu dikunci, heran sekali Tasia dengan tingkah Tosca sekarang ini.
“Mam, Kak Tosca sepertinya sakit deh.”
“Sakit? Mama lihat dia segar bugar saja, malah tubuhnya semakin berbentuk sekarang, ia giat sekali olahraganya.”
Tasia tidak jadi melanjutkan kekhawatirannya kalau ibunya saja tidak menganggap Tosca kenapa-napa itu artinya ya memang tidak ada apa-apa. Namun, Tasia tetap memperhatikan setiap gerak-gerik kakaknya dengan seksama.
Suatu malam Tosca keluar dari kamar dan menyerahkan sebuah bingkai berisikan bunga kering pada ibunya.
“Waw, bunga edelweiss!” puji Everly. “Tosca, apa ini?” raut wajah Everly berubah menjadi serius.
“Saya tidak memetiknya Mam,” ujar Tosca bersungguh-sungguh. “Sumpah, memang sudah tergeletak di tanah saat saya menemukannya, jadi saya pungut dan bawa pulang.”
“Tumben-tumbenan bawa kenang-kenangan dari gunung, biasanya sangat patuh dengan apa itu Pap pesan yang populer di kalangan pendaki yang dulu sekali disebut-sebut oleh Tosca?” Tasia memohon bantuan pada Riantiarno yang sedang membaca koran sore.
“Jangan ambil sesuatu kecuali gambar.”
“Nah ya itu!”
“Betul sekali, apalagi ada undang-undang konservasi yang melarang pendaki untuk memetik bunga ini, bisa-bisa kamu masuk penjara.” Tambah Everly.
Everly tahu banyak hal mengenai pendakian karena ia sendirilah yang menularkan kegemarannya itu pada Tosca dan Tasia namun sayangnya anaknya yang bungsu lebih suka mendaki eskalator mal.
“Tapi kan Tosca tidak memetiknya Mam, mumpung bunga itu masih untuh sebagian apa salahnya Tosca bawa pulang, selain dari itu Tosca tidak membawa apa-apa lagi kok.”
Tosca membela dirinya meski ia juga merasa malu dan sedikit bersalah. Ia menatap bunga di dalam pigura itu dengan perasaan menyesal namun penyesalan itu lebih berupa karena rencanannya yang semula mau menghadiahkan bunga itu untuk Gita mesti ia urungkan.
“Dan bunga ini kamu berikan untuk Mama?” tanya Everly.
Tosca mengangguk dan memberikan senyum tipis agar Everly yakin dengan sebagian kebohongannya.
“Terima kasih kalau begitu.”
Everly tersenyum dan mengecup pipi Tosca satu kali sebelum pergi ke kamarnya untuk menyimpan bunga kering dalam figura itu.
Tasia masih mengawasi kakaknya yang tampak tidak bersemangat. Hati dan mulutnya yang jahil mendorongnya untuk mendekati Tosca yang sedang memeluk bantal sofa.
“Tumben-tumbenan kasih Mama bunga, kan ulang tahun Mama masih lama.”
“Kan aku tidak naik gunung sebulan sekali dan tidak setiap pendakian bisa menemukan harta karun begitu.”
“Ah masa? Tapi kan terakhir kali kamu mendaki gunung dua bulan yang lalu, mengapa baru kamu beri bunga itu pada Mama sekarang?”
“Ah anak kecil cerewet sekali.” Ucap Tosca ketus.
Riantiarno membalik kertas koran namun ia memberi jeda untuk mengamati Tosca selama sesaat. Tosca jarang bersikap kasar pada Tasia, apalagi bila berada di depan ayahnya yang sangat menyayangi putrinya itu.
“Pap, Tosca bilang saya cerewet padahal saya kan hanya bertanya baik-baik.” Tasia merajuk pada ayahnya.
Everly menuruni anak-anak tangga dengan tungkai kakinya yang panjang dan langkah yang mantap. “Sudahlah Tasia jangan ganggu kakakmu terus menerus, kalau Tosca ngambek dia tidak akan mau mengatarmu untuk pergi ke undangan yang diberikan Theo. Jam berapa kalian akan pergi?”