Gita dan Soraya kini jarang terpisahkan kecuali di saat-saat mereka harus masuk kelas atau ada rapat di himpunan masing-masing. Soraya berasal dari Pekanbaru ia gadis yang memiliki suara kencang namun berhati baik.
“Gita, apa kau sadar kalau temannya Bang Theo itu selalu memperhatikanmu, dia selalu begitu setiap kali menghadiri latihan kita.”
Gita langsung tahu siapa yang dimaksud oleh Soraya, teman satu kosannya yang kamarnya persis berada di sebelah kirinya.
“Ah masa? Yang mukanya agak bule itu?” Gita sengaja pura-pura tidak tahu karena mendengarkan pernyataan itu dari mulut Soraya membuat hatinya senang, ia sendiri semakin yakin dengan dugaanya hatinya yang selama ini menjadi rahasianya seorang diri.
“Nah itu sadar.”
“Apanya yang sadar? Kan temannya Bang Theo yang suka mampir melihat latihan kita hanya dia saja, selebihnya siapa? Hanya senior teater lainnya kan.”
Siska yang sejak tadi sibuk dengan layar laptop memutar kursi belajar yang tersedia di dalam kamar kosan Gita.
“Siapa Raya? Ganteng orangnya?”
Siska jarang menghabiskan waktu bersama Gita dan Soraya, ia masiswi kupu-kupu alias kuliah pulang tapi hari ini kelas dibatalkan secara mendadak dan jeda ke kelas selanjutnya sampai lima jam jadi ia menumpang istirahat.
“Tinggi, ganteng dan kelihatannya sih baik orangnya.”
“Sok tau ah.” Jawab Gita untuk menutupi debar jantungnya. “Salah kau kalau hanya melihat pria dari kulitnya saja.”
“Ah lagakmu seperti ahli saja soal pria. Padahal selama ini aku kira kau malah mau jadi seorang biarawati.”
“Ah gila kau, masa orang seperti aku jadi biarawati. Berdoa saja kalau sedang ingat atau butuh.”
“Nah itu yang salah! Salah kalau kamu hanya mengharapkan belas kasih Tuhan kalau sedang butuh saja.”
Siska memang sejak kecil disekolahkan di sekolah Katolik yang ketat jadi ia jauh lebih alim daripada Gita yang SD dan SMP sekolah di sekolahan swasta biasa saja dan lagipula orang rumahnya juga tidak ada yang alim.
“Jangan-jangan kamu sendiri yang sebenarnya berniat menjadi soerang biarawati Sis?”
“Aduh mana kuat harus mengucap kaul kemiskinan, sedangkan niatku saja bisa pensiun muda lantas menikmati hidup dengan uang yang aku kumpulkan sejak muda.”
“Jadi itu alasanmu bekerja keras membangun bisnis sampai sedemikian rupa saat ini?” tanya Soraya yang sebetulnya belum kenal Siska terlalu dalam.
“Ya, betul.” Jawab Siska dengan bangga. “Eh, jadi siapa sih nama orang yang naksir Gita itu?”
Soraya sudah siap membuka mulutnya namun Gita buru-buru membungkamnya, “Raya, bukannya kamu ada kelas jam satu ini? Kamu juga belum sholat kan?” ucap Gita sekaligus mengingatkan teman yang berbeda keyakinan dengannya.
Soraya melirik jam memang dua puluh menit lagi kelasnya akan dimulai. “Aduh keasyikan ngobrol sampai lupa waktu. Aku pergi dulu deh, mau sholat dulu, kalau enggak sekarang enggak keburu lagi deh.” Ucap Soraya dengan terburu-buru kembali ke kamarnya sendiri.
Gita mengira Siska akan kembali ke kesibukannya di dalam layar laptop tapi ia malah terus saja mengayun-ayunkan kakinya dengan santai.
“Apa kamu menikmati hidup di kosan?”