How Long Will I Love You?

Dian Y.
Chapter #14

Kacamata

Tosca langsung menyeruput jus jeruk yang baru saja disajikan oleh pembantu untuk Tasia, gadis itu sendiri sedang asyik membaca novel saat motor kakaknya yang berisik masuk ke halaman rumah. 

“Ih, itu kan punyaku!”

“Minta buat dibikinin lagi apa susahnya sih,” kata Tosca tanpa merasa berdosa sedikitpun, ia mengelap bibirnya dengan kasar namun jelas sekali bahwa ia terlihat sedang senang hati. 

Tasia yang memang suka memperhatikan tingkah Tosca langsung mengendus perasaan yang berlebihan itu. 

“Habis menang taruhan ya?”

“Anak kecil ngomong taruhan segala, tidak boleh tahu.”

“Lantas kenapa kamu berbunga-bunga seperti itu.” Tosca ganti membuka toples berisi cookies yang baru dibuat semalam, buatan Everly dengan penuh cinta untuk Tasia. “Ih, itu kan juga punyaku!”

Tasia merebut toples itu namun Tosca sudah keburu mengambil beberapa buah. “Kalau habis kan Mama pasti buat lagi, kenapa sih kamu ini pelit sekali pada kakakmu sendiri. Sedangkan aku tidak pernah perhitungan padamu, coba sebutkan apa pernah aku tidak meloloskan permintaanmu padaku?”

Tasia tidak dapat menjawab pertanyaan itu sebab memang Tosca tidak bercela dan oleh karena itu juga ia sayang pada kakaknya meski kalau disuruh untuk menunjukan rasa sayangnya secara terang-terangan sih ia ogah.

“Paling tidak bilang dulu dong jangan asal ambil.”

“Ya aku minta jus jeruk dan kue keringmu.” Kata Tosca dengan keras. 

“Ya, silakan ambil.” Tasia mendorong toples itu mendekati Tosca yang terlihat sudah tidak marah, wajahnya malah sudah kembali cerah ceria. “Tosca, kenapa sih senyum-senyum sendiri? Apa kau sedang jatuh cinta?”

“Idih anak masih bau kencur sudah ngomong cinta-cintaan!” 

“Siapa sih yang masih kecil? Aku kan sudah SMA, lagipula dibandingkan dirimu aku kan jauh dari kata culun.”

“Jadi maksudmu aku culun?”

“Kalau tidak culun kamu pasti sudah punya pacar. Apa memang kamu sudah punya? Kasih tahu dong, siapa sih orangnya? Cantik tidak?” 

“Jangan kurang ajar ya Tas.”

“Aduh jangan marah-marah terus dong, mau darah tinggi seperti Papa? Eh, padahal Papa kan tidak pernah marah ya tapi kok tekanan darahnya tinggi? Tapi kalau soal Papa gak usah khawatir deh kan ada internis, kalau kamu aku perlu khawatir habis tidak ada dokter khusus cinta sih.” Tasia cekikian karena perkataannya sendiri. 

Tosca yang diledek seperti itu langsung marah-marah lantas ia pergi ke kamarnya tanpa menoleh ke meja makan, padahal jatah makan malamnya masih tersaji di atas meja, habis perutnya sendiri sudah terlanjur penuh dengan kupu-kupu. Sesampainya di kamar ia kembali senyam-senyum mengingat peristiwa siang tadi. 

Entah menurut perasaanya saja atau memang demikian adanya tapi Tosca merasa kini setiap ia berpapasan mata dengan Gita gadis itu tidak lagi membuang matanya ke arah lain atau pura-pura sibuk berbincang dengan temannya yang bernama Soraya atau temannya yang lain di teater, ia malah tersenyum lebih dahulu dan demi Tuhan untuk membalasnya Tosca perlu mengerahkan segala daya upayanya agar bibirnya dapat tersenyum tanpa gemetar dan tidak terlihat seperti Frankenstein. 

“Aku lihat ada kemajuan nih,” ujar Theo disela-sela latihan teater, hari itu ia memang sengaja menyuruh Tosca agar datang ikut latihan, bukan untuk ikut tampil di atas panggung melainkan untuk mempergunakan jasanya secara cuma-cuma. “Tos, kenapa yang ini belum kau gergaji?”

Rasanya Tosca ingin mengergaji batang leher temannya itu namun tentu saja hal itu tidak akan pernah benar-benar ia lakukan, hanya ingin dalam benak saja dan lagipula apa kata Gita nanti, yang ada ia akan histeris dan bukan tidak mungkin akan menyuruh orang-orang untuk memasukan dirinya ke RSJ yang berlokasi tidak jauh itu dari kampus mereka. 

“Kau pikir aku tukang kayu?” 

“Kau tidak tahu ya? Wanita kan suka dengan pria yang dapat diandalkan, makanya Gita terus tersenyum padamu, karena ia tahu kau ini pria yang dapat diandalkan. Nah, gergajilah kayu-kayu itu sesuai dengan ukuran yang sudah kami tulis di situ, nanti kalau sudah, kau gabung dengan tripleks yang ada di sana itu, ok? Aku janji kau akan memiliki kesempatan berduaan dengan Brigitamu itu nanti.” Theo mengerling genit. 

Tosca benar-benar merasa dimanfaatkan tapi memangnya dia punya daya untuk menolak? Tentu saja tidak, apalagi ia diiming-imingi hal besar begitu. Tosca mengikuti perintah Theo dengan rajin, persis seperti anjing yang patuh. 

Tosca yang memakai kaos band berwarna putih yang sudah agak kumal merasa gerah dan tanpa niat untuk dipuji ia melepas kaonya, ia bertelanjang dada dan terus bekerja persis seperti tukang yang lagaknya sudah pro. Soraya mencubit lengan Gita. 

“Wah, sainganmu banyak rupanya Git.” 

Dalam pandangan Gita, para wanita yang sedang memandangi Tosca yang sedang giat bekerja tidak ada bedanya dengan ancaman tingkat tinggi kalau perlu alaram keamanan tingkat nasional mestinya dibunyikan sekarang juga. Tapi perhatiannya sendiri pun akhirnya ikut teralihkan pada punggung Tosca dan otot-ototnya yang kuat, ia menelan ludahnya sendiri sampai terdengar ke telinga Soraya. Gita mengucek matanya yang terasa tidak nyaman, entah karena pemadangan itu atau karena matanya terlalu kering.

“Astaga, dia malah ikut-ikutan! Hei, aku memberitahumu agar kamu bergerak bukan malah ikut terbengong-bengong begitu.”

“Apanya yang bergerak? Kau menyuruh aku untuk ikut megergaji lantas memalu dan mampaku?” 

Tentu saja tidak sebab pelatih teater mereka telah datang dan sebentar lagi latihan mereka untuk pertunjukan yang tinggal beberapa minggu lagi akan dimulai. 

“Suruh dia pakai bajunya, apa dia tidak segan jadi tontonan?”

Sekali lagi Gita memperhatikan sekelilingnya, para pria sih acuh saja keculi mereka yang gacoanya menatap Tosca dengan gairah maka para pria itu malah menatap Tosca dengan murka.

“Apa hakku untuk menyuruh-nyuruhnya?” ucap Gita dengan nada sedih. 

“Tapi dia mengantarmu ke puskes tempo hari.”

“Maksudmu membantuku membawakan tas dan barang-barangku saat aku masih syok karena keserempet?”

“Nah, itu tanda bahwa ia peduli dan menyukaimu.”

“Orang peduli bukan berarti suka Raya, kalau dia suka dia harus mengatakannya padaku kalau tidak jangan-jangan itu hanya perasaanmu saja.”

Soraya gemas dengan temannya, ia rasanya iangin berteriak dan mengatakan bahwa hanya lewat tatapan singkat saja ia sudah tahu bahwa Tosca tergila-gila pada Gita, perempuan memang bisa kelewat bebal. 

“Kalau begitu buatlah dia mengatakannya padamu.”

Gita kembali menelan ludahnya saat ia melihat seorang gadis menghampiri Tosca dengan penuh percaya diri, gadis itu berambut bodol dan badannya kurus kering seperti triplek yang dibeli oleh temannya sebagai bahan pembuatan properti namun kepercayaan dirinya, caranya bicara dan sikapnya yang terlihat sangat santai itu malah membuatnya terlihat menarik dan mungkin karena itu pula Tosca juga ikut terlihat begitu santai saat meladeninya. 

Lihat selengkapnya