Tosca masih merenungi sikapnya saat ia mendengar pintu di bawah dibanting dan tak berapa lama pintu lainnya dibanting lagi juga dengan sama kerasnya. Jam menunjukan sudah pukul delapan malam, entah mengapa ia mendapat firasat bahwa Gita akan pergi meninggalkannya dan kali ini kalau ia meloloskannya kembali maka ia akan kehilangan wanita itu untuk selama-lamanya. Tosca bergegas turun ke bawah, saat ia mengetuk pintu kamar Gita ia tidak mendapatkan jawaban, ketika ia membuka pintu kamar ruangan itu sudah ditinggalkan penghuninya. Tosca berlari menuju pintu depan rumah dan saat itu dalam gelap malam ia dapat melihat Gita sedang naik ke dalam sebuah minibus.
“Hidup akan lebih indah kalau kamu bertemu dengan cinta sejatimu dan saat kamu menemukannya jangan pernah sekalipun kamu sia-siakan wanita itu.” Perkataan itu kembali berdengung dalam benaknya seperti sebuah dogma yang sudah lama ia lupakan. Tosca berjalan hanya dengan sandal rumah, jalannya tidak santai tapi tidak cukup cekatan untuk menyelaraskan isi kepala dan hatinya, tapi pada akhirnya, kali ini ia memilih kata hatinya. “Brigita! Brigita!” teriaknya.
Mobil itu mulai melaju tanpa mempedulikan diri apalagi perasaan Tosca yang serta merta merasa begitu takut, ia takut kehilangan Gita kembali. Ia takut bahwa hanya kesempatan inilah yang ia miliki dalam sisa hidupnya.
Gita dengan mata yang sembab mencoba untuk tidak terlalu memikirkan keputusannya. Benar bahwa ia sangat senang dapat kembali bertemu dengan cinta pertamanya, benar bahwa semakin lama ia tinggal di rumah itu harapannya semakin membumbung pada cinta yang sempat ia sebut sebagai ilusi masa lalu. Gita tahu harusnya ia tidak memaksakan diri dan keadaan, ia tahu apa yang diperbuatnya itu sama saja dengan bermain api dan ia tahu saat ia mencoba melupakan statusnya yang istri orang demi laki-laki lain sama saja ia sudah bermain serong, tapi ia rela melakukan dosa itu agar dapat memiliki kesempatan bersama dengan Tosca, mengenal laki-laki itu dengan lebih baik, suatu hal yang ia sesali tidak ia lakukan dulu tapi pria itu justru semakin membencinya dan Gita merasa harga dirinya sudah dibuang terlalu banyak. Sangking ia sibuk dengan pikirannya sendiri ia sampai tidak mendengar namanya dipanggil dan diteriakan dengan sepenuh hati.
“Mba, itu ada orang yang ngejar mobil ini. Manggil-manggil nama Mba apa kita perlu berhenti?”
Supir itu adalah supir mobil rental yang juga mengantar Gita ke rumah Tosca, tadi siang setelah perseteruan mereka Gita langsung membeli tiket pesawat dan memesan mobil untuk mengantarnya ke Solo, ia akan kembali ke Jakarta meski tidak akan mau kembali ke rumahnya.
“Apa?” Gita menoleh ke belakang dan segera melihat Tosca berlari menuruni jalan yang dilaluinya tadi. “Pak berhenti Pak!” Ucap Gita memukul-mukul kursi supir di depannya.
Tosca berhenti berlari dengan napasnya yang berisik dan benar-benar terengah-engah ia masih saja menyebutkan nama Gita.
Suasana sangat sepi dan malam begitu gelap, lampu jalanan jaraknya saling berjauhan antara satu sama lainnya dan minibus itu berhenti di tempat yang hanya mengandalkan sinar bulan. Di kanan kiri mereka tidak ada rumah warga, hanya hamparan sawah yang gelap dan terlihat cukup seram di malam hari.
“Tosca kenapa kamu begini? Kenapa kamu selalu membuat aku bingung?” bentak Gita yang sudah turun dari mobil dan segera berjalan menuju Tosca.
“Brigita… Brigita… aku bodoh, aku bodoh!”
“Iya aku tahu kalau kamu memang bodoh.” Ucap Gita dengan getir. “Tapi aku juga sama.”
“Jangan pergi ini sudah malam, bahaya!” ucapnya masih dengan napas yang sulit. “Aku tidak pernah membencimu, tidak pernah sama sekali. Maaf, maafkan aku.”
“Kalau aku mau memaafkanmu apa kamu tidak akan bersikap jahat lagi padaku?” biar bagaimanapun juga ini adalah Tosca dan hati Gita selalu lemah padanya. “Aku benci setiap kali kamu bersikap dingin padaku. Apa salahku?”
Tosca menatap Gita dan rasanya ia ingin menciumnya tapi ia tahu biar bagaimanapun juga ada batas yang tidak bisa dilanggarnya dan ia sangat menghargai Gita sebagai seorang wanita.