How Long Will I Love You?

Dian Y.
Chapter #20

Anastasia

Pekan depan akan menjadi salah satu hari paling penting dan mungkin berharga dalam hidup Gita. Ia sudah tukar cincin dengan Biru beberapa bulan yang lalu dan meski ia sudah sangat mengusahakan dirinya agar siap menghadapi hari yang teramat penting itu namun tetap saja dalam hatinya yang terdalam ia masih menyimpan keraguan dan permohonan pada semesta agar Tosca tiba-tiba muncul dan menyelamatkanya. Gita tahu pemikiran itu buruk dan juga salah dan bahwa Biru bukanlah tokoh antagonis tapi pikiran itu terus saja ada dan mengganggunya, kalau-kalau Tosca muncul dan menyatakan cintanya. Seperti kata Soraya dan juga bahkan isyarat-isyarat yang Theo berikan dalam beberapa kesempatan bahwa kawan karibnya itu sesungguhnya menyimpan rasa yang amat dalam terhadap dirinya, tapi bagi Gita itu semua adalah dugaan selagi bukan Tosca sendiri yang mengatakannya secara langsung padanya. 

“Raya katakan padaku, mengapa pria yang kita cinta malah memiliki kecendrungan bersikap jahat pada diri kita. Apa sesungguhnya aku kena kutuk?”

Hanya dengan Soraya ia dapat berterus terang mengenai keresahannya. Gita sendiri tidak dapat berkeluh kesah mengenai permasalahan hatinya pada Siska terutama karena sebentar lagi mereka akan menjadi keluarga besar. 

“Itu karena kalian berdua sama-sama aneh. Bang Tosca sungguh pemalu, terlampau luar biasa untuk ukuran pria dan kamu juga terlalu penakut untuk mengakui perasaanmu di hadapannya padahal kalau kamu punya sedikit saja kebaraniaan yang sayangnya juga tidak dimiliki pria itu cerita kalian bisa sangat berbeda sekarang ini. Dan memangnya andaikan Bang Tosca muncul, benar kamu dapat meninggalkan Biru begitu saja?”

Gita membisu, terkadang ia lupa pada perasaan Biru, pada perasaan keluarganya saat perasaan cintanya pada Tosca muncul rasanya ia mampu hanya mengikuti keinginan hatinya saja tanpa melibatkan logika dan kepala dingin. 

Gita menangis saat Biru membuka tudung rendanya dan mengecup bibirnya dengan ringan. Salah satu undangan yang datang melihat pemberkatan pernikahan itu di antaranya adalah Theo yang kini bekerja di perusahaan pamannya. Soraya duduk di sampingnya, ia menetap di Jakarta secara permanen setelah mendapat pekerjaan di perusahan konsultan yang bergengsi dan Siska duduk di baris kedua paling depan sibuk memotret momen di hadapannya dengan kamera yang dibawanya, kebahagiaan Siska komplit saat Gita menerima tawarannya agar menjadi rekan kerjannya. 

Setelah menghadiri pesta pernikahan Gita, Theo langsung bergegas menuju rumah Tosca. Saat ia datang Tasia sedang melamun di beranda atas. 

“Hi cantik,” sapa Theo. “Aku membawakanmu bunga. Ciumlah wanginya ini bunga asli dan masih segar.”

Tasia yang pucat tidak bergeming sama sekali. Theo meletakkan bunga yang diperolehnya saat prosesi pelemparan bunga yang dilakukan Gita dan Biru tadi, dalam pandangan dan penilaiaanya sendiri sang pengatin wanita tampak kurang menikmati pestanya sendiri. 

Theo bersandar pada teralis dan mendongak untuk melihat bulan. Badannya kini lebih berisi dan ia konsiten menjaga cambangnya untuk tumbuh dalam panjang sekitar dua senti meter. Tosca belum pulang, ia tahu kawannya itu sedang ada jadwal syuting iklan dan ia tidak sampai hati memberitahukan bahwa hari ini wanita yang masih sangat didambakan oleh sahabatnya itu sudah resmi menjadi milik orang. 

“Tas, aku akan pergi ke Los Angles bulan depan. Apa kamu mau ikut? Kita bisa mengunjungi Om mu juga kalau kau mau.”

Tasia sudah memiliki sepasang kaki palsu tapi ia jarang mau menggunakannya apalagi kalau ada di rumah, ia lebih senang duduk di kursi roda, terdiam dan menolak bicara pada siapapun bahkan Toscapun acap kali dianggurkannya meski kakaknya itu berusaha untuk tetap bersikap ceria seperti dulu. Untuk membantu kegiatan Tasia sehari-hari Tosca menyewa dua orang perawat sekaligus, mereka juga mencoba untuk tabah dan sabar menghadapi sikap Tasia yang sulit dan kadang bisa sangat galak pada mereka. 

Theo berusaha menghindari menatap dua kaki palsu yang tertutup rok panjang berwana hitam. Kedua tulang kaki Tasia remuk dan tidak mungkin diselamatkan, hanya amputasi di bawah lutut satu-satunya jalan yang bisa dilakukan oleh tim dokter. 

“Aku rasa jawabannya tidak.” Theo mencoba untuk tersenyum, ia mengambil langkah pendek dan berlutut di hadapan Tasia. “Anastasia, aku tahu ini bukanlah hakku untuk berkata seperti ini padamu. Tapi aku pun menyayangimu, pastinya tidak sebesar rasa sayang Tosca padamu, tapi aku pun peduli padamu dan juga pada kakakmu. Kau harus bangkit Tasia, jangan terlalu marah pada Tosca, ia melakukan ini demi hidup kalian dan ia pun memendam banyak duka dihatinya.”

Lihat selengkapnya