How Long Will I Love You?

Dian Y.
Chapter #21

Kota Impian

Meskipun menyukai buah durian namun terlalu banyak makan buah itupun membuat perut Gita merasa tidak enak, seperti balon yang diisi dengan terlalu banyak gas.

“Aku rasa aku mabuk durian.”

“Setidaknya mabuk durian tidak membuat kamu kehilangan kesadaran seperti mabuk minuman kan?”

“Kalau sampai iya pun, memang apa yang akan kamu lakukan padaku?” 

Tosca mengalihkan padangannya sebentar dari jalanan tangannya tetap berada di kemudi. “Aku terpaksa menggendongmu lagi kalau begitu.”

‘“Oh, jadi sesungguhnya dulu itu kamu terpaksa ya?” Gita merengut dan mendekap kedua tangannya di depan dada. 

Jimny bercat hitam itu melewati jalanan yang tidak mulus hingga membuat tubuh kedua orang di dalamnya seperti oleng ke kanan dan kiri. Gita sudah mengembalikan SIM Tosca sejak mereka berbaikan.

“Daripada terpaksa lebih baik aku tidak datang pada hari itu.”

“Jadi kamu datang khusus untukku pada hari itu?”

Tosca teringat dengan percakapannya dengan Tasia di ruang baca ayahnya dulu. Terbersit dalam hatinya untuk mengakui perasaannya pada Gita saat itu juga, mengingat belahan jiwanya itu sudah berniat berpisah dengan suaminya. Namun, Tosca mengurungkan niatnya ketika ia teringat akan vonis dokter, kanker payudara stadium 3B. 

“Kamu salah satu alasan utamanya.”

“Apa? Aku alasan utamanya?” Gita pura-pura tuli dan tertawa jahil. “Tosca, apa kamu keberatan kalau kita pergi ke gereja yang waktu itu lewati.”

Tosca mengikuti keinginan Gita semudah hidungnya bernafas. Gita membuka jendela mobil dan membiarkan angin segar menerpa wajahnya, sudah begitu lama hatinya tidak merasa seringan ini. 

“Tosca.”

“Ya?”

“Tosca.”

“Apa?”

“Tidak apa-apa, aku hanya senang bisa memeanggil dan menyebut namamu dengan sesuka hatiku begini.”

Wajah Tosca merah padam, ia mematikan pendingin mobil dan juga membuka jendela di sisinya tak lupa ia juga menggaruk-garuk terlinganya yang terasa panas. 

“Tosca.”

“Hmm.”

“Tosca.”

“Brigita.”

“Akhirnya kamu memanggil namaku.” Gita menyibak rambutnya yang terkena angin. “Apa hal yang ingin kau lakukan tapi belum sempat kau lakukan hingga kini? Kau pasti punya hal seperti itu bukan? Sesuatu hal yang ingin kau lakukan tapi entah kenapa selalu saja tertunda.”

“Tidak ada….” kata Tosca meski salah satu hal yang sangat dilakukannya tapi hingga kini tidak dapat ia lakukan tentu saja adalah menjadi kekasih abadi dari wanita yang duduk di kursi penumpang di sebalahnya, tapi ia menyimpan jawaban itu hanya untuk dirinya semata. Ia ingin Gita bahagia dan hidup bersamanya belum tentu akan membuat wanita itu hidup bahagia di masa mendatang, berapa lama ia bisa hidup bahkan andaikan ia memilih untuk mengjalani prosedur kemoterapi dan operasi?

“Wah enak sekali kalau tidak ada. Kalau aku, aku sejak dulu ingin sedikit memiliki keberanian yang lebih. Begitu lulus kuliah aku menikah, bekerja membangun label Siska dengan sungguh-sungguh. Hidupku sangat teratur dan monoton dan baru terasa menyenangkan saat Birta lahir. Terkadang aku berharap bahwa aku ini punya keberanian untuk menyebrangi padang pasir si Saudi Arabia atau berkemah di kaki Gunung Kilimanjaro, yah pokoknya berpetualang seperti itu.” Gita tertawa sendiri. “Tidak, tidak, itu sih berlebihan buatku. Tapi aku ingin mencoba hidup di tempat yang asing buatku selama beberapa bulan, bukan hanya sekedar berlibur selama dua minggu.”

“Bukannya sudah kau lakukan? Kau perempuan kota tapi sudah dua bulan ini tinggal di desa. Asing bukan?”

“Ah ya! Benar juga! Meskipun bukan seperti bayangan dan alasanku yang sesungguhnya menyewa rumah mu itu.” Jawab Gita dengan sedih, ia teringat akan Biru dan akan permasalahan yang masih menantinya di Jakarta. Ia tahu tidak selamanya ia bisa kabur dan menyepi. “Tosca sebutkan satu kota di dunia yang ingin kamu tinggali selama beberapa waktu andaikan kamu bisa.”

“Sydney.” Jawab Tosca cepat. 

“Kenapa?”

“Entahlah… pantainya bagus, orang-orangnya pun jauh lebih santai… yah begitulah kata Theo, aku sih belum pernah ke Australia”

“Akupun belum, padahal kalau naik pesawat tidak seberapa jauh ya dari Indonesia. Kanguru hanya hidup di sana kan? Ya, baiklah aku sudah memutuskan akan tinggal selama beberapa waktu di sana nanti.” Gita membetulkan letak kacamatanya dan menoleh pada Tosca yang mencoba untuk fokus ke jalanan yang berkelok. 

“Kapan?”

Gita tidak dapat menjawab tapi ia benar-benar sudah menjadikan kota itu dalam salah satu impian dalam hidupnya dan entah bagaimana caranya nanti ia benar-benar berharap bisa mengunjungi kota itu bersama Tosca.

Hari itu hari biasa, gereja itu sepi. Gita membuat tanda salib saat hendak memasuki ruang gereja, sementara Tosca hanya diam dan mengawasi apapun yang diakukan Gita. Gita bertelut selama beberapa waktu sementara Tosca hanya duduk dengan tegang di sampingnya. Mereka berjalan ke area samping gereja di mana terdapat Gua Maria. Gita duduk di salah satu bangku yang disediakan beberapa meter dari hadapan patung Bunda Maria. 

“Dulu aku tidak pernah merasa perlu dekat dengan Tuhan. Aku percaya pada-Nya tapi aneh rasanya harus terus bertobat dan memohon pada-Nya setiap hari. Aku memiliki keyakinan bahwa selama aku tidak melakukan hal-hal buruk itu sudah cukup untuk membuat-Nya senang denganku. Tapi setelah malaikatku pergi dan aku tidak memiliki siapa-siapa yang sungguh dapat mendengarkan duka dan kesedihanku, aku mencoba datang pada-Nya. Aneh, Ia tidak benar-benar ada di hadapanku, tapi rasanya aku benar-benar didengarkan.

“Memang Birta tidak akan pernah kembali padaku tapi rasanya aku tahu di sana, di tempat yang jauh sana ada kekuatan besar dan suci yang benar-benar menjaganya sampai nanti aku dapat kembali berjumpa dengannya. Entah kapan itu.”

Tosca mendengarkan Gita dengan seksama dan sesekali tanpa malu-malu lagi ia memandangnya dengan mesra, perempuan itu di matanya masih sama memukaunya seperti saat ia melihatnya untuk pertama kalinya di Bundara HI di hari yang terik dan lembab dulu. 

“Kau Tosca, bagaimana denganmu? Apa kau mau kembali berdoa?”

Lihat selengkapnya