How Long Will I Love You?

Dian Y.
Chapter #22

Brigita dan Tosca

Tasia bergegas keluar dari mobil seakan-akan dirinya sudah membuat presiden menanti selama lima menit. Suaminya sudah tahu dan paham dengan permasalahan genting apa yang sedang mereka hadapi. Saat Tasia masuk ke dalam rumah ia langsung dapat melihat Tosca sedang berlutut di sebuah gundukan kecil. 

“Tos, sedang apa?”

“Tasia!” seru Tosca. “Dia menghubungimu ya?” tanyanya dengan lemah.

Dia yang dimaksud Tosca adalah Gita yang memang menghubungi Tasia dua pekan yang lalu dan langsung menjelaskan sebenarnya siapa dirinya dalam kehidupan kakaknya dan juga penyakit yang masih dirahasiakan oleh Tosca dari Tasia. 

“Aku tidak menyangka orang yang menyewa rumah ini kepadaku adalah dia yang dulu disebut-sebut oleh Kak Theo. Maksud dia baik Tos, jangan marah padanya apalagi padaku. Kamu tidak marah kan padaku?”

“Bagaimana aku bisa marah pada adik kecilku.” Tosca mengecup ubun-ubun Tasia dengan cepat. “Kenapa kamu ke sini? Tidak ada pekerjaan?”

“Ah kerja dengan diri sendiri, semua bisa menunggu.”

Jalan Tasia sudah seperti orang normal meski bila kain rok atau celananya disibak yang terlihat adalah sepasang kaki palsu yang buatan Jerman yang menggunakan teknologi terkini, memiliki persendian serta memiliki sensor mikroteknologi untuk mengontrol gerak menjadi lebih nyaman dan sealami mungkin

Suami Tasia yang ditemuinya sewaktu sekolah kuliner di Singapura dulu membawa koper Tasia masuk ke dalam, menyapa Tosca dan langsung sibuk di dapur. Ia jauh lebih pendek dari Tosca dan bahkan Tasia namun rasa cintanya pada Tasia mungkin sama besarnya dengan rasa sayang kakaknya, jadi ketika Jun menyatakan niatnya menikahi Tasia tidak ada alasan bagi Tosca untuk menolaknya.

“Itulah gunanya memiliki suami yang punya ketrampilan memasak, jadi istri bisa memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan kakaknya.” Celetuk Tasia. “Jadi kapan Kak Tosca akan memulai pengobatan dan kenapa hal sepenting ini dirahasiakan dariku?”

Tosca menggeleng, “Aku tidak berniat pergi dari rumah ini.”

“Apa?” seru Tasia bak guntur. “Kak Tosca ini waktu yang amat serius jangan bergurau terus denganku.”

“Aku tidak sedang bergurau Tasia. Aku ingin hidup tenang di sini. Kucing peliharaanku, Jipeng, baru mati semalam, perutnya semakin membesar karena cacing.”

“Dan karena wanita itu pun sudah kembali ke suaminya?”

Jun yang sedang mencuci sayuran sampai menoleh ke istrinya, ia tidak menyangka bahwa Tasia akan seblak-blakan itu pada kakaknya yang sedang sakit bahkan mungkin sekarat. 

“Tolong jangan bahas dia lagi Tas. Dia sudah memberikan jawabannya padaku. Sudah jernih sekarang, kami memang tidak berjodoh.”

Tasia sedih mendengar jawaban kakaknya tapi ia juga tahu bahwa ia harus terus berusaha menyelamatkan Tosca, “Kalau kamu mau ikut ke Singapura untuk berobat baru aku mau diam.”

Jelas sekali Tosca menahan kesal, rahangnya mengatup dengan kuat. Tapi Tasia pun tidak pernah mudah menyerah dengan keinginannya, ia berencana akan terus berada di rumah itu sampai Tosca mau pergi berobat dengan serius.

Tosca berusaha mengabaikan adiknya setiap kali ia mulai membicarakan pengobatan ataupun hal-hal yang berkaitan dengan sekitnya itu. Dan semakin hari Tosca semakin tertutup dan semakin kuat menahan diamnya. Di dalam kamarnya yang dulu ditempati Gita, Tasia merasa frutrasi dan kesal dengan dirinya sendiri, ia kurang memperhatikan Tosca dan ia tidak bisa menjadi adik yang baik bagi kakaknya. 

Suatu pagi pada hari kelima Tasia berada di sana ia terbangun karena mendengar suara barang jatuh yang amat keras dari lantai atas. Jun belum pulang ke Jakarta dan ia bergegas lari ke atas, sementara Tasia masih harus mengenakan kaki palsunya terlebih dahulu. Saat ia tiba di atas Tosca sudah dibaringkan di ranjang dengan wajah meringis dan memegangi dadanya. Tosca tidak mau mengaku apa yang dirasakannya namun akhirnya ia mengatakan bahwa dadanya seperti diiris dan panas terbakar. Tasia tidak perlu berpikir panjang, ia tahu Tosca harus ke rumah sakit, tidak ada kata nanti apalagi tidak. Tosca pernah memintanya untuk bangkit, dan kini ia lah yang harus mendorong kakaknya agar ia juga mau bangkit. 

***

Untuk pertama kali dalam hidup kepalanya botak pelontos, Tosca merasa sangat aneh jadi ia selalu memakai topi atau kupluk untuk menutupi kebotakan dan perasaan anehnya itu. Tubuhnya lebih kurus, kulitnya pucat dan kusam dan meskipun dirinya bukan pria pesolek namun Tosca merasa ini adalah saat ia terlihat paling jelek selama ia hidup di dunia. Kini ia selalu memakai kemeja atau kaos lengan panjang, untuk menutupi bentuk kekurangan pada tubuhnya. Dan tenaganya pun belum pulih seratus persen, ia merasa tidak akan pernah kembali sesegar dan sekuat dulu. Dulu-dulu ia selalu bercermin dengan ala kadarnya saja, termasuk saat ia didandani setiap hendak syuting, kini ia sudah tidak mau melihat cermin bahkan ia mau membuang cermin dan segala hal yang dapat memantulkan bayangan dirinya. 

“Tosca, walaupun ketampananmu berkurang selama beberapa bulan ini tapi dimataku kau adalah pria paling tampan kedua yang ada di dalam hidupku. Tapi jangan pernah beritahu rahasia ini pada Jun ya.” Tasia mengerling. 

Lihat selengkapnya