Hanna duduk sendirian di halte bis. Icha memang sangat pandai menyerobot memasuki bis yang sudah penuh. Gerakan Hanna yang lambat membuatnya menjadi penumpang yang dikeluarkan dari bis karena bis sudah tidak muat jika pintu ditutup. Mau tidak mau, Hanna harus menunggu bis selanjutnya.
Ciiittt ....
Sema menginjak permukaan ban sepeda ontel miliknya ketika melewati depan halte bis. Harap maklum, memang sepeda ontel itu harusnya sudah dimuseumkan karena berkarat, tidak mempunyai rem, juga rantainya sering copot. Hanya orang sabar yang mampu mengendarainya.
"Han, Hanna. Ngapain bengong sendirian?" Sema memundurkan sepeda ontelnya.
"Gue ketinggalan bis." Hanna memasang muka murung.
Sama seperti Sema, Hanna adalah anak yatim sejak kecil. Ibunya menjadi tulang punggung keluarga sejak dia duduk di kelas 5 SD dengan menjadi guru seni musik di sekolah elit. Kala malam, ibunya menjadi guru les biola anak-anak sultan. Ibunya tidak memiliki waktu untuk memasak atau mengurus keperluan rumah. Semua itu dilakukan Hanna untuk menghemat biaya pengeluaran.
"Mau gue anter?" Sema melirik sekilas kursi kosong di belakangnya.
"Rumah gue agak jauh lho," kata Hanna memperingatkan.
"Nggak apa-apa. Ayo!"
Hanna segera duduk di jok belakang sepeda ontel. Sema mulai mengayuh, menyusuri jalanan kota Jakarta di antara asap kendaraan bermotor yang berjubel di jalan Raya. Rumah Hanna sekitar 4 kilometer dari halte bis. Setidaknya, Sema butuh waktu 50 menit untuk sampai ke komplek perumahan Hanna.
Setibanya di sana, napas Sema ngos-ngosan. Dahinya berkeringat lancang. Sementara pandangannya mulai memudar, juga pusing. Mungkin akibat tidak makan siang hari ini.
"Capek ya, Sem? Masuk dulu yuk! Gue buatin es teh manis," ajak Hanna.
Sema memang kehausan. Tanpa berpikir panjang, dia menyandarkan sepeda ontelnya di pagar rumah Hanna, lalu memasuki rumah Hanna yang begitu minimalis. Hanya berukuran 6 kali 7 meter.