Lionel Uchida, yang saat ini menggunakan tuksedo berwarna hitam, memandang ballroom rumahnya yang telah didekorasi dengan luar biasa untuk pesta penyambutannya.
Pesta itu sungguh meriah dan dihadiri seluruh keluarga serta kolega Uchida, bahkan kerabat-kerabat Lionel dari Inggris dan Arab ikut datang.
Pemuda berusia 27 tahun itu memang adalah blasteran Jepang-Arab-Inggris. Ayahnya, Kensuke Uchida, berasal dari keluarga Uchida yang sangat termahsyur di Jepang dan adalah pemilik dari salah satu perusahaan elektronik terbesar di dunia. Sedangkan ibunya, Nadia Ali atau yang sekarang bernama Nadia Uchida, adalah perempuan blasteran Arab-Inggris yang adalah putri dari pemilik perusahaan minyak terbesar di jazirah Arab yang kini mendominasi seluruh dunia.
Bisa dibilang, Lionel adalah seorang pemuda yang nyaris sempurna dengan wajah yang terlampau rupawan, kekayaan yang melimpah, keluarga yang terpandang, kepintaran yang jauh di atas rata-rata, dan masa depan yang cemerlang. Ayahnya sudah menjanjikannya posisi yang bagus di perusahaan keluarga mereka dan warisan serta usaha keluarga Uchida sudah pasti berada di tangannya.
"Lionel," seorang gadis memanggil namanya dan Lionel menoleh. Seketika itu juga ia menyesalinya. Mimi Chen ada di sampingnya sambil tersenyum, dengan mengenakan gaun megar berwarna pink.
Gadis itu adalah putri dari CEO perusahaan game online asal China yang adalah rekanan dari perusahaan ayah Lionel. Ia kuliah di sebuah universitas swasta di London dalam waktu yang sama dengan Lionel dan sejak dulu telah sangat agresif mendekatinya. Sebenarnya ia cukup menarik dengan wajah cute dan tubuh yang proporsional, tapi Lionel tidak bisa tahan dengan suaranya yang cempreng, parfumnya yang terlalu memabukkan, dan sikapnya yang genit. "Bagaimana kalau kita berdansa?"
"Maaf, Mimi, rasanya aku melihat seorang temanku di sana," Lionel berkelit dengan mulus. Ia tidak bohong karena memang melihat seorang temannya di ujung ruangan, terlihat sedang menikmati minumannya. Dengan lihai, ia menyelinap di tengah kerumunan orang dan tiba di depan orang yang dimaksudnya, "Nicholas Anderson?"
Seorang pemuda berambut pirang keperakan dengan mata biru dan kulit putih pucat mendongak untuk menatap Lionel. Ia berwajah luar biasa tampan dengan pakaian berupa tuksedo model klasik berwarna hitam.
"Ah, Lionel Uchida. Lama tak jumpa. Suatu kehormatan besar bisa bertemu denganmu," sapanya pelan dan sopan. Ia adalah rekan Lionel di Charlton University yang beda tingkatan tiga tahun darinya. Mereka sempat tergabung di Student Council dalam periode yang sama dimana ia adalah ketua dan Lionel adalah Clubs and Societies Support Officer. Kalau Lionel mengambil jurusan Ekonomi, maka ia memilih jurusan Kedokteran. Ini selaras dengan usaha orangtuanya di bidang kesehatan. Ayah Nicholas adalah pemilik jaringan rumah sakit swasta terbesar di dunia. Salah satu rumah sakitnya berdiri di Jepang dan keluarga Lionel adalah pasien VVIP mereka yang rutin melakukan check-up atau pengobatan di sana.
"Kau di sini? Kupikir kau berada di London."
"Aku memang tinggal di London, tapi tak ada salahnya, bukan, menghadiri pesta keluargamu?" sahut Nicholas tenang.
"Begitu?" Lionel mencoba berbasa-basi. "Spesialisasi apa yang kau ambil?"
"Bedah," sahut Nicholas singkat. “Agar tak ada celah untuk ceroboh.”
Lionel tersenyum tipis, "Kau memang perfeksionis, Ketua."
Nicholas hanya membalas dengan senyum yang sama. Keduanya memiliki sifat yang hampir mirip karenanya bisa berkomunikasi dengan baik.
"Lionel, kemari, Nak," lagi-lagi sang ibu mengamit lengan Lionel dari belakang. Ia tampak cantik dengan long dress anggun berwarna hitam lengkap dengan kerudungnya. "Ada yang ingin Ibu kenalkan padamu," namun kemudian sang nyonya melihat kehadiran Nicholas. "Ah, Tuan Anderson, saya senang Anda bersedia untuk datang. Boleh saya pinjam Lionel sebentar?"
"Silakan, Nyonya Uchida."
"Terima kasih."
Sang ibu membawa Lionel ke ujung ruangan lainnya.
"Ibu, mau kemana?" tanya Lionel penasaran.
"Ada gadis yang ingin Ibu kenalkan padamu."
"Ibu..."
*******
Putri Cakradiningrat berada dalam kesulitan besar. Sudah enam bulan ia berada di Tokyo dan belum juga mendapat pekerjaan meski memiliki gelar sarjana dari Charlton University serta bisa berbahasa Jepang dengan baik. Berkali-kali interview, hasilnya selalu sama : ditolak. Tabungannya menipis dan karena ia kabur dari rumah, maka jika tak ada uang lagi maka ia harus bersiap-siap jadi tunawisma. Sarjana lulusan Charlton jadi tunawisma? Betapa sangat memalukannya!
Karena itu, Putri pun melepaskan harga dirinya dan mengesampingkan ijazah Charlton-nya. Ia mulai melamar untuk pekerjaan apa saja yang penting bisa bertahan hidup. Untung saja tetangga flatnya menawarinya pekerjaan paruh waktu sebagai pelayan katering dan tanpa pikir panjang ia menerimanya. Putri Kirana Cakradiningrat, lulusan tercepat dengan salah satu IP tertinggi dari jurusan European and Middle Eastern Language di Charlton University, Inggris, kini bekerja sebagai pelayan katering? Ah, inilah hidup!
Disinilah ia sekarang, di pesta mewah keluarga Uchida, sebagai pelayan katering. Ia tahu beberapa Uchida pernah masuk ke Charlton, tapi tak pernah beruntung untuk bisa berteman dengan mereka. Satu-satunya Uchida yang dia tahu adalah Lionel Uchida yang seusia dengannya namun berasal dari fakultas Ekonomi. Lionel adalah support officer sebelum setahun kemudian menjabat sebagai Ketua dari Student Council, sedangkan ia adalah staf biasa yang hanya bertahan satu periode kepengurusan di sana. Ia yakin Lionel tak akan mengenalinya. Siapa sih dia? Hanya mahasiswi biasa yang tak terkenal meski IP-nya adalah salah satu yang terbaik di jurusannya.
Kini, di pesta yang berlangsung meriah itu, ia memegang nampan dan melayani semua orang. Ia memakai setelan pelayan katering berupa kemeja putih yang ditimpuk dengan dasi kupu-kupu, vest, celana kain, dan apron berwarna hitam. Hijab hitamnya yang panjang diikat rapi ke belakang. Para tamu agung tampak mondar-mandir di pesta meriah itu dan Putri hanya bisa melihat dan mengagumi mereka dari jauh. Memangnya dia siapa? Hanya pelayan, yang kebetulan pernah kuliah di Charlton University. Hidup ini memang keras.
Awalnya Putri mengira kehidupannya akan mulus seperti semua orang. Ia adalah salah satu siswi yang terpintar di semua tingkatan sekolah dengan ayah yang adalah pengusaha pabrik kertas yang cukup mapan di Indonesia. Ia berhasil diterima di Charlton University yang sangat prestisius dan merupakan salah satu lulusan tercepat dengan IP cumlaude. Ia bisa berbahasa Inggris, Jepang, Jerman, dan Arab dengan segudang pengalaman organisasi. Dikiranya akan gampang mencari pekerjaan dengan kualifikasi dirinya yang baik itu.
Ternyata tidak.
Ia luntang-lantung cari pekerjaan kemana-mana selama bertahun-tahun baik di Jakarta maupun London. Pernah diterima kerja beberapa kali namun karena terlalu idealis, ia selalu resign, hingga akhirnya mungkin asosiasi HRD mem-blacklist dirinya. Ia pun tak kunjung mendapatkan pekerjaan kembali.
Bahkan perusahaan ayahnya sendiri menolak dirinya karena ia tak tahan dengan polusi. Putri bermaksud membuat lingkungan perusahaan yang lebih bersih dan sehat tapi ayahnya mencak-mencak dan menuduhnya ingin menghancurkan perusahaan yang sudah dibangun sang ayah dengan susah-payah. Ayahnya lebih memilih kakak laki-lakinya sebagai penerus usaha keluarga meskipun drop-out dari kampus dan bermental tidak stabil.
Sempat jadi penerjemah selama setahun, namun rekan seniornya yang sirik mem-blacklist dirinya dari dunia penerjemahan. Ia mencoba cari pekerjaan sebagai freelancer, tapi alamak susahnya. Belum lagi, kakak laki-lakinya yang drop-out dari universitas lantas menjadi liar dan iri dengan "kesuksesannya", lalu melampiaskannya dengan cara memukulinya. Orangtuanya mendukung kakaknya karena memang dia manis di depan orangtua mereka. Tak tahan dipukuli bertahun-tahun, Putri lapor polisi dan pergi dari rumah. Kakaknya dihukum empat tahun penjara dan dengan tabungan yang tersisa, Putri kabur ke Tokyo, Jepang, untuk memulai hidup baru. Itu membawanya ke masa kini, dimana sarjana lulusan Charlton ini sekarang hanya mampu menjadi pelayan katering untuk bertahan hidup.
"Boleh minta kuenya?" seorang gadis bertampang oriental bertanya pada Putri, memutuskan lamunannya. Gadis Indonesia itu mengangguk sopan dan sang gadis Tionghoa yang memakai gaun berwarna pink itu menjulurkan tangannya pada red velvet di nampan Putri sebelum menghilang di kerumunan.
Putri memandang gadis itu iri.
Ia juga mau hidup seperti itu, bahagia dengan limpahan uang, tapi kenapa takdirnya begini? Tak terasa enam tahun sudah berlalu sejak ia lulus kuliah dan sampai sekarang ia belum juga dapat pekerjaan tetap sementara teman-temannya sudah jadi supervisor atau manajer. Ini sangat menyakitkan. Menjadi manusia gagal yang kesulitan menghidupi dirinya sendiri tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Ia hanya ingin hidup normal seperti orang lain, apa doanya ini berlebihan, Ya Tuhan?
Tanpa terasa airmata mengalir dari mata gelapnya. Tapi siapa yang peduli? Ia hanya pelayan di kerumunan orang penting ini. Sama sekali tidak berharga. Atau setidaknya ia berpikir begitu. Tanpa disadarinya, sepasang bola mata tengah mengamati gerak-geriknya dengan seksama selama beberapa saat dengan tatapan yang sulit diartikan.
*******
Nicholas Anderson sedang berada dalam puncak kehidupannya. Ia adalah salah satu dokter ahli bedah termuda di dunia. Selain itu, ia menjabat sebagai kepala rumah sakit di Anderson International Hospital cabang London, yang juga adalah pusat dari semua rumah sakit milik keluarga mereka. Di sana, ia terkenal sebagai salah satu dokter yang paling laris. Fotonya yang menunjukkan wajahnya yang teramat tampan mungkin adalah penyebabnya, ditunjang oleh persentase keberhasilan operasinya yang sangat tinggi. Ia didaulat sebagai salah satu dokter bedah terbaik di dunia.
Keluarganya pun terdiri dari orang-orang sukses. Ayahnya adalah dokter jantung terbaik di Inggris dan ibunya yang cantik dan berasal dari Islandia adalah dokter anak yang terkenal dan memiliki acara talkshow kesehatan sendiri di sebuah saluran TV kabel. Ia memiliki empat saudara kandung dan semuanya adalah dokter.
Kakak pertamanya, Ivan, adalah dokter bedah plastik yang paling rekomendasikan di Amerika Serikat dan memimpin rumah sakit keluarga mereka cabang New York. Kakak keduanya, Stephen, adalah dokter jantung seperti ayah mereka dan mengepalai rumah sakit mereka cabang Brussels, Belgia. Saudara kembarnya, Nikita, adalah dokter kandungan yang bekerja di Amerika, seperti Ivan, dan mengepalai rumah sakit mereka cabang Los Angeles. Sementara Aaron, adik bungsunya, adalah seorang dokter syaraf, dan mengepalai rumah sakit keluarga mereka cabang Reykjavik, Islandia.
Meskipun kisah cintanya tidak begitu mulus karena pernikahannya dengan Tatiana Ivanova, seorang balerina dari Rusia, batal, namun Nicholas yakin dengan kemampuan dirinya, ia bisa mendapatkan kisah cinta lagi yang lebih indah.
Kini ia sedang berada di pesta Lionel Uchida, kolega penting dari usaha keluarganya. Keluarga Lionel adalah salah satu keluarga paling berpengaruh di dunia dan merupakan pasien VVIP langganan mereka. Kesempatan untuk menjalin relasi dengan keluarga yang teramat kaya ini tentu tak boleh disia-siakan. Mengetahui bahwa Nicholas pernah berteman dengan Lionel di Charlton, tanpa pikir panjang, ayahnya langsung menyuruhnya ke Jepang untuk memberikan kesan terbaik.
Pesta Lionel Uchida malam ini memang sangat meriah. Banyak orang penting yang datang dari seluruh dunia bahkan termasuk keluarga kerajaan Eropa dan Asia. Para pengusaha dan pejabat penting dari seluruh dunia juga banyak yang datang.
Meskipun demikian, Nicholas merasa bosan. Ia adalah seseorang yang introvert dan bersosialisasi bukanlah keahliannya. Banyak gadis-gadis cantik dari keluarga terhormat yang berusaha mengajaknya berdansa tapi ia menolak dengan sopan. Di hatinya hanya ada nama Tatiana Ivanova, meski yang bersangkutan mengkhianatinya dengan berselingkuh dengan pria lain.
Memutuskan untuk berusaha melenyapkan bayangan Tatiana, Nicholas mengedarkan pandangannya ke area sekitarnya, namun ia terhenti saat melihat satu pemandangan yang menggetarkan hatinya.
Seorang gadis berpakaian pelayan yang berdiri beberapa meter darinya tengah meneteskan airmata dengan pandangan hampa ke arah lantai. Sebelah tangannya memegang nampan berisi kue namun yang satunya lagi mencengkram erat apron yang dikenakannya di atas pakaiannya.
Gadis itu berhijab, berkulit kuning langsat dan sepertinya berasal dari Asia Tenggara, mungkin dari Thailand atau Filipina. Matanya berukuran sedang dengan warna cokelat gelap dan wajahnya sangat cantik, membuat Nicholas terpesona. Namun apa gerangan yang membuat gadis muda secantik itu menangis? Bukankah pesta ini sangat megah? Ataukah ia iri pada orang-orang kaya di sekitarnya? Tapi tunggu...
Nicholas seperti pernah melihat gadis ini sebelumnya entah dimana. Rasanya wajahnya familiar. Nicholas berusaha keras mengingat-ingat, mencari-cari momen dimana ia pernah bertemu dengan gadis beretnis Asia Tenggara yang berhijab dalam hidupnya, yang cukup jarang. Namun dua menit kemudian, satu kenangan menyeruak ke pikirannya. Mungkinkah...?
DELAPAN TAHUN YANG LALU
Nicholas baru saja selesai melakukan rapat dengan anggota inti Student Council lainnya. Ini adalah rapat yang penting karenanya memakan waktu lama. Lionel langsung pulang lewat pintu belakang, sementara Arthur, sahabatnya yang adalah Vice President of Access and Academy Affairs, menggumamkan sesuatu tentang buku dan menghilang ke perpustakaan. Ruangan Student Council sudah sangat sepi, hanya tinggal dua orang pemuda yang sedang menyelesaikan berkas entah untuk apa.
Nicholas hendak pulang ke apartemennya namun saat mencapai pintu keluar, ia melihat ada seorang gadis sedang bersandar di dinding sendirian.
Gadis itu sangat cantik dengan kulit kuning langsat khas Asia Tenggara, berhijab hitam panjang yang menutupi rambutnya, bermata gelap, dan memiliki tubuh yang langsing. Ia memakai jaket hitam yang dipadukan kemeja dan rok panjang berwarna putih. Sebuah tas bermerk berwarna putih diselempangkan ke bahunya.
Nicholas ingat bahwa gadis itu adalah salah satu anggota Student Council karena sering melihatnya di sekitar sini, tapi ia heran kenapa gadis itu belum pulang juga padahal sudah semalam ini. Apa dia tidak takut pada kejahatan atau semacamnya? Ini London, bung!
"Hei," Nicholas mendekati gadis itu, yang terkesiap begitu melihatnya.
"Ketua?"
"Kenapa kau masih ada di sini? Ini sudah sangat malam," tegurnya. Gadis itu tersenyum malu, yang membuatnya sangat manis sampai membuat jantung Nicholas bergetar.
"Saya sedang menunggu hujan reda."
Nicholas memandang ke arah luar dan benar saja, hujan sedang turun dengan derasnya.
"Kau tidak bawa mobil?" tanya Nicholas.
"Mobil saya ada di bengkel sejak seminggu yang lalu jadi akhir-akhir ini harus selalu naik bis," sahut gadis itu jujur dan nelangsa. "Saya biasanya bawa payung tapi hari ini..."
"Dimana tempat tinggalmu?" potong Nicholas.
"Sekitar satu jam dari sini. Bisnya beroperasi 24 jam, jadi saya akan tunggu sampai hujan reda saja."
Nicholas berdecak, "Kau bisa kemalaman kalau begitu. Ayo, kuantar ke stasiun."
"Tapi..."
"Ikutlah denganku. Ini perintah."
Gadis itu tidak berani membantah lagi dan mengikutinya sampai ke parkiran, dimana sebuah supercar berwarna merah sedang terparkir dengan manis.
"Masuklah."
Gadis itu memandang mobil mewah Nicholas dengan sangsi, "Apa ini tidak berlebihan, Ketua? Saya bisa tunggu sampai..."
"Aku hanya tidak ingin wartawan se-Inggris Raya mewawancaraiku karena ada anggota Student Council Charlton yang tewas dirampok orang di tengah jalan."
Gadis itu menunduk dan terdiam.
"Apa lagi yang kau tunggu? Ayo, masuk!"
Gadis itu membuka pintu mobil dengan enggan dan duduk di kursi penumpang. Nicholas masuk ke jok pengemudi dan memasang sabuk pengaman sebelum menyalakan mobilnya. Mobil kebanggaannya itu pun melaju pelan membelah hujan kota London yang sangat deras.
Sepanjang jalan, mereka hanya diam. Nicholas agak heran. Gadis lain tentunya tidak akan melewatkan kesempatan langka ini dan merayunya habis-habisan, tapi gadis ini justru lebih suka memandang ke luar jendela dalam kebisuan. Apa tampangnya sudah tidak menarik lagi?