"Di sini, Kak?" Suzaku menatap gedung-gedung berhiaskan cahaya lampu warna-warni di depannya.
Akihabara.
Pemuda yang sedang kuliah semester empat itu diminta mengantarkan Putri ke salah satu destinasi paling populer di Jepang itu.
"Iya, terima kasih. Ini mantelmu," Putri mengembalikan mantel milik Suzaku dan mengenakan jaket berwarna pink lembut miliknya.
"Kakak bersembunyi dari siapa? Kenapa sepertinya panik?" tanya Suzaku sambil menerima kembali mantelnya.
"Stalker. Dia sangat menggangguku," jawab Putri asal saja. Suzaku terlihat terkejut.
"Apa perlu aku turun tangan, Kak?" pemuda baik hati itu menawarkan diri. "Begini-begini, aku ini pengurus dojo karate di desaku."
"Ah, tidak perlu," Putri menampik cepat. Membiarkan Suzaku menghalau Nicholas sama saja dengan memberi pemuda desa ini misi bunuh diri. Bukan saja karena kekuasaan Nicholas yang bisa membuatnya menghancurkan Suzaku dalam satu kedipan mata saja, tapi juga karena mantan ketua Student Council ini adalah seorang ahli aikido. Putri bukan fans Nicholas tapi dia pernah membaca profil pria Inggris itu di situs milik kampusnya. "Aku bisa mengatasinya sendiri, terima kasih."
"Kakak yakin?" Suzaku masih bertanya dengan muka concern.
Putri mengangguk mantap dan tersenyum, "Ya, pulanglah! Kalau tidak, Jasmine, kekasihmu itu, akan mengkhawatirkanmu!"
Wajah Suzaku merona merah mendengar nama itu, lalu dia pun mulai memasang helm dan menghidupkan mesin sepeda motornya. Sebelum pergi, dia membuka kaca helm-nya dan berkata, "Hati-hati, ya, Kak! Kalau ada apa-apa, hubungi aku!"
Putri mengacungkan kedua ibu jarinya dan Suzaku pun berlalu. Setelah pemuda itu tidak terlihat lagi, Putri memasuki salah satu gedung di hadapannya dan langsung menuju basemen. Ia melangkah menuju sebuah pintu bertuliskan huruf kanji berwarna merah dan membukanya perlahan-lahan. Seorang pelayan berpakaian kimono menyambutnya.
"Selamat malam, Nona, ada yang bisa kami bantu?"
"Saya ingin menyewa bilik selama 12 jam, bisa?"
"Bisa, Nona. Pembayarannya di sebelah sini, silakan."
Setelah prosedur pembayarannya selesai, Putri digiring ke sebuah bilik kecil yang hanya berisi sebuah kursi dan meja lengkap dengan CPU.
Putri melepaskan jaketnya dan bersandar di kursi empuk itu dengan lega. Malam ini ia harus menginap di warnet untuk menghindari Nicholas. Semoga besok laki-laki itu sudah melupakannya dan kembali ke negara asalnya.
*******
Pagi tiba. Setelah menghindari Nicholas semalaman, akhirnya Putri bisa pulang juga ke apartemennya.
Gedung apartemennya terdiri dari tiga lantai, dengan harga sewa puluhan ribu yen per bulan. Ini termasuk lumayan untuk ukuran pekerja biasa yang gajinya ratusan ribu yen per bulan. Tapi karena Putri hanya bisa kerja part-time maka ini sangat mahal.
Gaji kerja part-time Putri saat ini hanya separuh dari gaji pekerja biasa jadi dia harus rela nombok dari uang tabungannya untuk makan dan kebutuhan lainnya. Ini lumayan daripada dulu dimana ia tidak punya penghasilan sama sekali dan harus bergantung penuh pada tabungannya. Ia sempat ingin pindah ke apartemen lain yang lebih murah, namun sudah terlanjur betah dengan apartemennya meski termasuk sangat kecil.
Putri naik sampai ke lantai tiga lalu memasukkan kartu elektroniknya ke mesin pengunci otomatis.
Pintu apartemennya terbuka, menampilkan satu ruangan campuran antara ruang tamu, ruang belajar, dan ruang keluarga. Seperangkat sofa berwarna krem ditata dengan posisi langsung menghadap TV layar datar berukuran sedang yang terpasang di dinding, dengan sebuah meja berukuran kecil ada di antaranya. Rak serbaguna yang terbuat dari kayu ada di bawah TV, selain untuk meletakkan stereo set juga sebagai tempat bagi berbagai barang. Meja belajar lengkap dengan kursinya ada di sebelah TV dan sebuah pot tanaman sempat-sempatnya nangkring di pojok ruangan sempit itu untuk mempercantik suasana. Bukannya sengaja, tapi tetangga Putri yang memberikannya sebagai hadiah.
Dapur ada tepat di bagian belakang ruangan yang memanjang ini, dilengkapi dengan kompor gas mini, bak cuci piring, microwave, dan kulkas super besar yang katanya adalah milik penghuni terdahulu yang enggan dibawa pergi. Tempat mencuci baju ada di balkon mini dengan mesin cuci sederhana.
Sementara itu, kamar pribadi Putri ada di sebuah bilik kecil.
Kamar itu hanya berisi sedikit perabotan, berupa futon, rak serbaguna kecil berwarna putih, dan seperangkat meja-kursi kecil berkaki rendah. Sebuah PC ada di sana, lungsuran dari mahasiswa teknik informatika di lantai dua yang katanya sudah beli laptop.
Kamar mandi berada di sebelahnya dan untungnya cukup menawarkan kenyamanan. Di pintu masuk, terdapat wastafel yang cukup bersih.
Sedangkan kloset duduk yang kinclong ada di sebelahnya. Yang terakhir ada bathtub dan shower yang terlihat cukup bagus. Meski tidak sebanding dengan fasilitas di rumahnya yang megah di Jakarta, tapi Putri masih beruntung setidaknya masih punya tempat tinggal yang cukup nyaman. Ia akan berusaha mencari pekerjaan lain, entah part-time atau full-time, agar bisa hidup lebih layak lagi. Namun sebelum itu, ia perlu makan agar dapat merencanakan hal yang akan dilakukannya selanjutnya.
“Omelet enak kali ya?” Putri pun membuka kulkasnya yang mayoritas kosong dan mengambil dua buah telur serta margarine, bersiap-siap membuat satu omelet yang enak. Namun sebelum ia menghidupkan kompor, terdengar suara ketukan pintu.
“Apa Suzaku ingin pinjam sesuatu?” Putri bergumam, karena dari semua kunjungan ke apartemennya, sekitar 90 persennya adalah Suzaku. Ia melangkahkan kaki ke bagian depan apartemen dan membuka pintu, hanya untuk tidak mendapati siapapun.
“Suzaku? Apa itu kau?”
Tapi tidak ada yang menjawab, bahkan sosok manusia lain juga tidak ada di sekitarnya. Putri berjalan beberapa langkah dari tempatnya berdiri dan menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan apa tadi ada orang yang mengetuk pintunya.
“Orang iseng mungkin,” desis Putri sambil berbalik dan hendak masuk kembali ke apartemennya namun sangat kaget saat mendapati siapa yang telah berdiri tepat di bibir pintu. “K… ketua?”
*******
“Selamat pagi.”
Suzaku tidak menyangka bahwa yang berada di depan apartemennya saat itu adalah Jasmine Uchida yang cantik menawan dengan pakaian fashionable-nya, sementara ia sendiri baru bangun tidur dan belum mandi.
“Kenapa pagi sekali?” Suzaku melebarkan jarak antara dinding dan pintu, membiarkan Jasmine masuk.
“Aku membawakan sarapan dan dorayaki kesukaan kakak kesayanganmu di kamar sebelah,” Jasmine mengedipkan mata, sementara Suzaku berupaya mati-matian merapikan penampilannya yang berantakan. “Kau sudah tampan, Kakak.”
“Hahaha…” Suzaku tersenyum masam. “Seharusnya kau memberitahu kalau akan datang.”
“Teleponku disadap tahu?” Jasmine menampakkan muka serius sambil mengedarkan pandangan ke apartemen kecil Suzaku yang hanya berisi satu ruangan campuran dan kamar tidur yang disekat. “Mereka akan menghentikanku sebelum bisa pergi.”
“Bukankah sudah dibilang bahwa hubungan ini seharusnya dihentikan saja?” Suzaku berkata dengan muram. “Aku bukan pria yang pantas untukmu.”
“Kak Suzaku…”
“Itu benar. Kau adalah Jasmine Uchida, anak seorang milyuner terkemuka, dan aku hanya pemuda biasa dari desa yang kebetulan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Tokyo. Dari sisi manapun kita tidak cocok. Aku tidak bisa membiayai gaya hidupmu, Jasmine,” Suzaku duduk di sofa putihnya yang warnanya sudah memudar. “Mari kita hentikan semua ini.”
“Aku tidak mau! Aku mencintaimu, Kakak!” pekik Jasmine setengah menangis.
“Keluargamu akan menghancurkanku dan keluargaku. Hentikan, Jasmine.”
“Tidak!”
“Memangnya kau bisa hidup di apartemen seperti ini seumur hidupmu?!” Suzaku akhirnya membentak. “Tidakkah kau mengerti?! Aku melakukan ini karena sangat mencintaimu! Aku ingin melindungi masa depanmu! Aku ingin kau hidup bahagia, meski tidak denganku, karena kalau kau bahagia maka aku juga bahagia!”
“Tapi aku hanya bisa bahagia denganmu, Kakak… tolong jangan tolak aku… kita bisa hidup bahagia bersama…” isak Jasmine. “Kita pasti akan menemukan caranya…”
Suzaku hanya menghela napas sambil mengacak rambutnya.
“Ini tidak akan mudah… Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu…”
“Aku tak akan menyerah sampai kapanpun!” wajah Jasmine tampak penuh tekad.
Suzaku tersenyum miris sebelum kemudian mengerling beberapa bungkusan di tangan gadis kaya itu, “Baiklah… baiklah… apa ini yang kau bawa?”
*******
Awkward.
Itulah yang dirasakan Putri saat Nicholas Anderson yang tampan sempurna duduk di ruang tamunya yang sempit dan sederhana. Nicholas hari itu seperti biasa tampil necis dengan setelan jas berwarna abu-abu, dasi merah, dan kemeja putih.
“Jadi ini tempat tinggalmu sekarang?” Nicholas akhirnya memecahkan keheningan sambil melihat-lihat sekelilingnya dengan pandangan tertarik.
“Ya, seperti yang Anda lihat,” Putri menjawab singkat, sebenarnya agar Nicholas segera angkat kaki dari apartemennya.
“Kenapa kau harus susah-payah ke Tokyo? Kenapa tidak bekerja di perusahaan ayahmu di Jakarta saja? Kudengar Bayu Cakradiningrat adalah seorang pengusaha.”
“Kenapa Anda tidak menanyakan kepadanya?” timpal Putri sinis.
“Maaf, apa aku menyinggung masalah keluarga?”
Putri menunduk, “Cepat katakan yang Anda inginkan dari orang seperti saya.”
“Cakradiningrat…”
“Jujur saja saya tidak mengerti kenapa Anda harus mengikuti saya sampai ke sini. Setahu saya, kita cuma kenalan,” potong Putri. Nicholas memalingkan wajahnya.
“Dengarkan aku dulu, bisa?”
“Tap…”
Tiba-tiba terdengar suara perut keroncongan. Putri sangat malu sampai rela menceburkan diri ke kolam renang sedalam lima meter saat ini juga. Namun sebaliknya, Nicholas malah tersenyum menggoda.
“Kalau kau penasaran, aku sudah sarapan sebelum kesini di kafe dekat apartemenmu. Avalon Café, kalau tidak salah.”
Tentu saja. Avalon Café adalah tempat nongkrong kalangan berduit di Tokyo yang harga makanannya bisa setara dengan gaji part-time Putri per minggu.
“Maaf, saya belum sarapan. Kalau Anda tidak keberatan, saya akan memasak dulu.”
“Kau bisa memasak?”
Putri menatap Nicholas seakan itu adalah penghinaan.
“Tentu saja saya bisa memasak. Anda melihat ada koki pribadi disini?”
“Maafkan aku,” desah Nicholas. “Mungkin aku bisa ikut merasakan seperti apa kehebatanmu dalam memasak?”
Putri menghela napas. Sudah jelas Nicholas ingin diundang untuk sarapan dengannya. Entah apa masalah pemuda kaya ini. Dia baru saja makan pagi di salah satu kafe termahal di Tokyo kan?
“Baiklah, tunggu sebentar.”
*******
“Tuan Muda Uchida, ini berkas Putri Cakradiningrat.”
Seorang lelaki yang sangat rapi dengan setelan jas serba hitam meletakkan sebuah map di atas meja kerja atasannya. Sang atasan yang sedang memakai jas kerja berwarna biru tua dengan dasi hitam itu tadinya sedang sibuk menatap ponsel canggihnya, namun ia menoleh mendengar suara lelaki di hadapannya. Diambilnya map berwarna merah yang tergeletak di atas meja sambil menyeringai.
“Terima kasih, Kenji.”
“Senang bisa membantu Anda, Tuan Muda. Saya permisi,” kata Kenji sopan lalu silam dari ruangan kerja yang sangat besar dan mewah itu.
Kantor Lionel Uchida berada di lantai 30 dan terletak di pusat bisnis ibukota Jepang. Memiliki dinding kaca yang membuatnya bisa melihat keindahan seantero kota dari ketinggian, lantai ruangan itu terbuat dari marmer putih terbaik dan berisi seperangkat meja kerja, beberapa rak buku, sebuah TV layar datar besar, dan sofa yang empuk untuk menerima tamu. Semuanya bergaya modern dengan nuansa abu-abu dan putih.
Tanpa membuang waktu, Lionel mulai membalik lembaran map di tangannya. Yang pertama menyambutnya adalah foto Putri Cakradiningrat.
Ia terpana.
“Cantik sekali….” desisnya tanpa sadar.
Putri sedang menatapnya melalui sebuah foto setengah badan yang tercetak dengan sangat bagus. Ia mengenakan hijab berwarna hitam. Gadis muda berkulit kuning langsat itu juga tampak tengah memakai blazer hitam profesional beserta kemeja yang serasi. Latar belakang fotonya kali ini polos dan berwarna putih. Sepertinya foto untuk dokumen resmi, seperti paspor atau CV.
Selanjutnya ia membuka beberapa lembar lagi dan membaca biodata lengkap beserta riwayat pendidikan Putri.
“Prestasinya bagus, selalu juara kelas, ayahnya pengusaha ternama, jadi kenapa ia harus bekerja sebagai pelayan katering?” gumam Lionel. Tak lama kemudian histori pekerjaan gadis itu terkuak dan Leon mendapati bahwa pekerjaan paling lama yang dilakukan gadis Indonesia itu di suatu perusahaan hanyalah setahun. “Ada apa dengannya?”
Lembar selanjutnya membuat matanya terbelalak, “Kabur?”
*******
Putri tidak percaya hal seperti ini akan terjadi dalam hidupnya yang seharusnya berjalan biasa-biasa saja.
Ia membuatkan pancake untuk Nicholas Anderson yang itu, yang mantan idola kampus itu! Belum lagi sekarang mereka sedang makan pagi berdua di ruang tamunya yang sangat privat. Para fans Nicholas akan membunuhnya kalau sampai mereka tahu akan hal ini.
Buyar sudah rencananya untuk makan omelet. Ia tidak bisa membiarkan Nicholas tahu separah apa hidupnya sebenarnya yang biasa membagi sepiring omelet untuk jatah makan dua kali. Jadilah dia berlari ke minimarket sebelah untuk membeli tepung dan susu untuk membuat pancake. Memang pergantian menu ini membutuhkan lebih banyak biaya daripada omelet tapi setidaknya harga dirinya sedikit terselamatkan.
Namun tentu saja Putri tahu dengan segala kekayaannya, pancake buatannya tidak akan ada apa-apanya dibandingkan yang biasa dimakan seorang Nicholas Anderson. Karenanya ia tak banyak berharap saat Nicholas menyuapkan pancake itu ke mulutnya. Sekedar bukan hinaan saja sudah cukup bagus untuk Putri.
“Enak,” Nicholas berkata dengan mata berbinar-binar. “Enak sekali.”
Putri mendengus. Seperti ia gampang dibodohi saja. Ia bukan masterchef dan ini bukan restoran Michelin, tidak mungkin pancake yang terbuat dari bahan-bahan sederhana itu bisa seenak buatan, misalnya, Avalon Café.
“Terima kasih atas pujiannya, tapi tidak usah berlebihan, saya tahu kualitas masakan saya,” timpal Putri sarkastik sambil ikut makan. Memang rasanya enak karena ia sangat berusaha untuk tidak mempermalukan dirinya tapi dibandingkan dengan pancake dari restoran langganannya di Jakarta dulu, jelas saja tidak sebanding, apalagi dengan restoran yang biasa Nicholas kunjungi.
“Cakradiningrat…”
“Putri saja tidak apa-apa,” Putri menyela tak enak hati. “Tidak usah terlalu formal.”
“Kalau begitu, panggil aku Nicholas dan berhenti bersikap seolah aku adalah seorang pangeran. Aku juga tidak suka sikap formalmu.”
Putri tercenung sejenak.
“Putri, aku bukan atasanmu.”
Putri terdiam. Nicholas memakan pancake-nya sangat cepat dan dalam sekejap piringnya sudah bersih mengkilat.
“Ngomong-ngomong soal atasan, aku jadi penasaran. Apa pekerjaanmu? Kenapa malam itu…”
“Freelance!” Putri menyela cepat sebelum kata-kata memalukan itu keluar dari bibir tipis Nicholas.
“Sebagai pelayan katering?” Nicholas mengangkat alisnya.