“Maaf, tapi aku tidak berminat.”
Lionel Uchida memijat keningnya dengan frustasi saat ia mengingat kalimat itu, yang dilontarkan kemarin oleh seorang Putri Cakradiningrat atas tawarannya untuk menjadi sekretaris pribadinya. Ia bertanya-tanya, apa yang salah hingga seorang gadis pengangguran yang desperate pun menolak kesempatan sebaik itu. Padahal reputasi perusahaannya sudah terkenal di level internasional dan ia juga sudah hendak memberikan gaji yang sangat besar berikut fasilitas penunjang yang dibutuhkan gadis itu, seperti mobil dan apartemen, jadi kenapa masih ditolak juga?
Toh ia juga sudah meminta maaf akan perilaku adiknya, bahkan pembicaraan itu dilakukannya di suatu tempat yang luar biasa bagus, sebuah restoran kelas atas. Ia pun telah berpenampilan lebih dari layak. Jadi apa yang salah? Apa?
Tiba-tiba, telepon yang terletak di samping mejanya berbunyi. Pemuda tampan yang kini tengah mengenakan setelan jas rapi berwarna abu-abu kecokelatan itu menekan salah satu tombolnya yang langsung membuat suara seorang perempuan menyeruak ke dalam ruang kerjanya yang megah, “Tuan Muda Uchida, Tuan Muda Anderson ingin bertemu dengan Anda sekarang.”
Lionel mengernyitkan dahinya.
Nicholas?
Untuk apa dia mendadak berkunjung? Biasanya mereka janjian dulu…
Lionel juga tidak ingat bahwa mereka memiliki hal penting yang perlu didiskusikan di tengah jam kerja seperti ini. Bahkan ini belum jam makan siang karena masih pukul sepuluh pagi.
“Tuan Muda Uchida?”
“Persilakan beliau masuk.”
“Baik, Tuan Muda.”
Dalam beberapa detik, pintu ruangannya terbuka pelan, menampilkan Nicholas, yang kala itu mengenakan jas kerja berwarna biru tua, yang diantarkan dengan sopan oleh salah seorang stafnya.
“Silakan, Tuan Muda.”
Nicholas melangkah masuk dengan percaya diri.
“Terima kasih, kau boleh pergi.”
“Baik, Tuan Muda.”
Dan pintu pun ditutup.
“Apa kabar, Nicholas?” Lionel tersenyum sambil bangun dari kursi empuknya. “Kenapa…”
“Tidak perlu basa-basi.”
Lionel tertegun mendengar suara Nicholas yang terdengar dingin.
“Maaf?” dia memastikan bahwa sedang tidak salah dengar.
“Aku bilang, tidak perlu basa-basi,” Nicholas mengulangi, sekarang telah tiba di depannya, hanya terhalangi oleh meja kerjanya.
“Apa maksudmu?” tanya Lionel, berharap ini hanya kesalahpahaman karena Nicholas Anderson termasuk salah satu rekannya yang berharga.
“Kau tahu bahwa aku menyukai Putri Cakradiningrat sejak pertama kali aku bertemu dengannya lagi di sini, jadi kenapa kau melakukan itu?” cetus Nicholas dengan nada menuduh, sementara mata biru lelaki blasteran Inggris-Islandia itu menatapnya tajam.
“Melakukan apa?”
“Jangan sok inosen!” Nicholas nyaris saja berteriak. “Kau menawarinya pekerjaan sebagai sekretaris pribadimu, bukan?”
“Lalu, apa yang salah dengan itu?” Lionel balik bertanya dengan heran, meninggalkan kursi putarnya dan melangkahkan kaki hingga kini telah berhadapan langsung dengan sang dokter Anderson. “Dia butuh pekerjaan. Aku hanya menawarinya karena kebetulan posisi itu kosong.”
“Sandiwara yang bagus, Lionel Uchida, tapi mari kita berhenti saja berpura-pura. Kau mendekatinya, bukan? Kau tertarik padanya, bukan?” tuding Nicholas geram.
Lionel merasa seperti ada yang meninjunya tapi ia tetap berusaha menampakkan pose sempurna.
“Kalau pun iya, lalu aku tidak melihat ada yang salah di sini. Memangnya kau ini siapanya Nona Cakradiningrat? Kekasih juga bukan!”
“Aku yang melihatnya lebih dulu! Aku yang mengenalnya lebih dulu! Kalau kau memang temanku, maka seharusnya kau sadar diri dan menjauh! Apa tidak ada wanita lain di dunia ini? Haruskah Putriku yang kau jadikan sasaran?” pekik Nicholas hampir murka, namun Lionel justru terkekeh karena menurutnya ini lucu.
“ ‘Putrimu’? Halusinasi macam apa ini? Bahkan dia belum tentu menyukaimu!”
Nicholas balas menyeringai, “Setidaknya ia tidak menolak tawaranku.”
Tubuh Lionel menegang seketika, “Apa maksudmu?”
Seringai Nicholas makin melebar, “Putri Cakradiningrat baru saja menerima tawaran pekerjaanku. Bahkan kami akan terbang bersama secepatnya agar ia bisa segera memulai hari pertamanya.”
“Terbang?” kemarahan yang tak bisa dijelaskan semakin menjalari tubuh Lionel. “Memangnya kalian mau kemana?”
“New York.”
*******
Putri memasukkan bajunya yang terakhir ke dalam kopernya yang besar. Ia memandangi kamarnya yang sudah nyaris kosong karena sebagian besar barangnya sudah dibereskan.
Tidak sulit mengepak semuanya karena ia memang tidak membawa banyak barang dari rumah saat memutuskan untuk kabur. Lagipula ruangannya, jika dibandingkan dengan kamarnya yang luas di Jakarta, sangat kecil sehingga ia bisa lebih cepat meraih segala sesuatunya hingga proses packing ini tidak berlangsung lama.
Saat dirasanya tak ada lagi yang bisa dimasukkannya ke dalam koper, Putri menutupnya dan tak lupa menguncinya dengan gembok kecil. Setelah itu ia terduduk di atas koper, seakan tak percaya apa yang baru saja dialaminya.
Baru beberapa waktu yang lalu ia bergulat dalam keputusasaan karena selalu gagal dalam pencarian pekerjaan, namun kini ia akan terbang ke salah satu kota tersibuk di dunia untuk memulai lembaran hidupnya yang baru. Nasib orang memang tak ada yang tahu.
Ia pun kembali mengingat bagaimana hal ini bisa terjadi, yang sebenarnya cukup unik.
“Akhirnya kau keluar juga,” Nicholas Anderson yang siang itu tampak tampan seperti biasanya dengan mantel bepergian panjang berwarna cokelat muda menegakkan tubuhnya dari posisinya yang bersandar di dinding, saat melihat Putri mendekatinya dengan membawa plastik sampah. “Apa pertemuan kita memang hanya berkutat pada proses pembuangan sampah?”
“Aku tidak pernah memintamu menungguku, dimanapun,” Putri, yang hanya mengenakan sweater dan rok panjang berwarna pastel, mengernyit saat melihat kehadiran sang dokter bedah. Tak urung diletakkannya plastik sampah hitam besarnya di aspal karena merasa akan ada pembicaraan yang agak lama.
“Kau tidak mengangkat teleponmu dan nyaris tak pernah ke luar rumah kecuali satu kali, itu pun untuk bertemu Lionel Uchida,” entah kenapa ada nada kecemburuan di sana.
“Aku tidak sengaja bertemu dengannya seusai interview,” Putri membela dirinya, padahal ia juga merasa tidak perlu.
“Lalu kenapa kalian bisa makan bersama?”
“Kau menguntitku?” tuduh Putri, dan Nicholas tampak seperti anak yang ketahuan mencuri ikan di pasar.
“Bukan, seorang temanku melihat kalian…”
“Begitukah…?” Putri tentu saja tak percaya. Laki-laki seperti Nicholas bisa saja menyewa detektif profesional untuk mengikutinya. Tapi untuk apa? Dia hanya gadis biasa, bukan selebriti atau orang penting, jadi untuk apa diikuti segala?
“Aku ingin tahu kenapa kalian pergi berdua. Apa kalian ber… berkencan?” Nicholas terlihat kesulitan saat mengatakannya.
Putri tertawa, membuat Nicholas sedikit bingung, “Yeah, aku dan Lionel Uchida berkencan. Bangunkan aku jika mimpi indahnya sudah selesai.”
“Maaf?”
Putri menghela napas saat mengetahui betapa Nicholas yang sangat cerdas tidak mengerti sarkasmenya.
“Aku dan Lionel Uchida yang tampan sempurna itu tak mungkin berkencan meskipun di lima belas kehidupan berikutnya, jadi pastilah ada yang kami bicarakan. Dia menawariku pekerjaan.”
“Apa?” Nicholas malah seperti semakin marah padahal Putri pikir tak ada yang salah dengan itu. “Pekerjaan apa?”
“Sekretaris pribadinya…”
“APA?”
Putri tak menyangka akan pernah mendengar Nicholas Anderson, sang pangeran es, berteriak sehisteris itu seumur hidupnya.
“Kau APA?”
Dan perilakunya yang out of character itu diulanginya pula.
“Aku ditawari pekerjaan sebagai sekretaris pribadi Lionel Uchida, tapi aku menolak kok,” Putri tak mengerti kenapa ia merasa harus buru-buru menambahkannya.
“Kau… ap… syukurlah,” Nicholas menghela napas lega. “Lalu sekarang…?”
“Sekarang apa? Tidak ada apa-apa… aku akan membuang sampah dulu,” Putri mengambil kembali plastik sampahnya dan hendak melewati sang pria Barat, tapi Nicholas memegang lengannya.
“Tunggu!”
“Hah?”
Mereka bertatapan selama beberapa detik dan Putri merasa hatinya berdesir saat memandang dalam-dalam ke arah mata biru yang indah itu.
“Aku juga punya tawaran pekerjaan untukmu.”
Tok… tok… tok…
Putri sontak menoleh ke arah pintu saat mendengar ketukan itu. Dengan enggan ia melangkah ke sana meski tahu siapa yang kira-kira akan datang.
Klek!
“Kak Putri!”
Benar saja, Suzaku telah berada di depan pintunya sambil membawa dorayaki kesukaannya.
“Tolong jangan ditutup, Kak!” ia segera berkata, khawatir Putri akan melakukan hal yang sama seperti yang sudah terjadi beberapa kali sebelumnya. “Aku dengar dari Nyonya Masaki kalau Kakak akan pindah! Tolong biarkan aku setidaknya mengucapkan selamat tinggal!”
Melihat raut wajah Suzaku yang memelas, akhirnya Putri meminggirkan tubuhnya. Bagaimanapun Suzaku adalah tetangga yang sangat baik.
“Masuk.”
“Terima kasih!” Suzaku menghela napas lega saat akhirnya melangkah ke dalam apartement mungil Putri. Pemuda tampan itu masih mengenakan pakaian kerjanya di kafe sebelah yaitu t-shirt berkerah berwarna hitam yang digunakannya bersama dengan celana berwarna serupa dan celemek cokelat tua. Putri mengambil dua botol kopi instan dan juga beberapa jajanan lalu meletakkannya di atas meja. Basa-basi ala Indonesia yang tak pernah luntur dalam dirinya meski sudah lama tinggal di negeri orang. “Ini aku bawakan dorayaki kesukaan Kakak!”
“Terima kasih. Mari kita makan bersama,” Putri membuka bungkusan makanan ringan ala Jepang itu dan mengambil salah satu potongannya. Ada rasa haru di dalam dadanya saat menggigit cita rasa yang sudah dikenalnya itu. Mungkin ini terakhir kalinya ia makan dorayaki di tempat ini.
“Jadi Kakak benar akan segera pindah?” Suzaku memastikan kembali. Putri mengangguk.
“Ya, aku mendapat pekerjaan baru.”
“Benarkah? Dimana? Osaka?” tanya Suzaku sumringah. Putri tertawa kecil.
“Bukan, New York.”
Suzaku hampir memuntahkan kopi yang tengah diminumnya.
“NEW YORK?” pekik Suzaku seakan tak percaya. Putri kini tertawa lepas melihat reaksi sang tetangga yang menurutnya menggemaskan.
“Kenapa kaget?”
“Kupikir… interview yang sebelumnya berhasil…”
“Tidak ada yang lolos, Suzaku. Aku juga heran…” Putri mengangkat bahu. “Mungkin memang rejekiku bukan disini.”
“Dimana Kakak akan bekerja?”
“Anderson International Hospital cabang New York.”
“Rumah sakit? Kakak kan bukan dokter atau suster…”
“Aku bekerja di bagian administrasi,” sahut Putri. “Yang penting ada yang mau memberikan kesempatan, bukan?”
“Apa Kakak akan kembali lagi ke Jepang?”
Putri tercenung sedikit sendu, “Sepertinya tidak. Kau tahu bahwa aku ke sini untuk mencari pekerjaan. Jika tak ada yang bisa dikerjakan di sini, maka terpaksa aku harus mencarinya di tempat lain.”
“Aku akan sangat merindukan Kakak,” Suzaku memegang pundak Putri.
“Bukannya sudah ada video call sekarang? Kita bisa bertemu virtual kapan saja,” tukas Putri, berusaha menepis atmosfer sedih di ruangan itu.
“Tapi tidak sama dengan bertemu secara fisik,” bantah Suzaku, lalu melihat ke sekeliling ruangan. “Sepertinya Kakak sudah benar-benar berkemas. Sudah nyaris kosong.”
“Sejak awal barangku tidak banyak sih.”
“Tapi kenapa New York, Kak?” tanya Suzaku penasaran.
“Awalnya aku ditawari pekerjaan di London tapi karena kutolak maka dialihkan ke New York.”
“Siapa yang menawari Kakak pekerjaan sampai sejauh itu?”
“Nicholas Anderson.”
Suzaku kembali terbelalak, “Bagaimana bisa?”
Putri hanya tersenyum, “Aku juga tidak tahu kenapa ia begitu gigih menawariku pekerjaan.”
“Apa mungkin ia menyukai Kakak?” goda Suzaku. Putri tergelak.
“Mana mungkin pemuda yang memiliki segalanya seperti dia akan menyukai perempuan biasa sepertiku,” tepis Putri, tangannya mengambil satu potong lagi dorayaki dari bungkusannya. “Kau juga makan, dong! Enak lo!”
Suzaku tersenyum, “Buat Kakak saja. Aku kan tinggal di sini, bisa beli kapan saja.”
Diam sebentar.
“Bagaimana hubunganmu dengan Jasmine?” akhirnya Putri memberanikan diri menanyakan hal itu.
“Kami… agak renggang. Sekali lagi aku minta maaf atas perilaku Jasmine, Kak,” ucap Suzaku sungguh-sungguh.
“Bukan salahmu, Suzaku. Aku juga sudah tidak memikirkannya lagi…” Putri menerawang.
Diam lagi dengan canggung.
“Jadi…” Suzaku membuka percakapan. “Kapan Kakak akan berangkat ke New York?”
“Malam ini.”
*****
“Kenapa harus ke New York?” gugat Nyonya Uchida saat melihat putra satu-satunya yang sangat ia banggakan telah berdiri di depan pintu dalam pakaian bepergian yang modis, sudah tentu rancangan desainer terkemuka. Anaknya itu sedang mengawasi para butler yang tengah sibuk mengangkati koper-koper beroda miliknya ke dalam salah satu mobil mewah mereka yang berukuran besar.
“Aku suka tantangan,” jawab Lionel dengan muka datar, lalu menegur asistennya, yang masih memakai setelan jas hitam-hitamnya yang formal. “Letakkan laptopnya di mobilku yang lain, Kenji. Ada hal yang perlu kuselesaikan sebelum mendarat di New York.””
“Baik, Tuan Muda.”
“Ayahmu sudah menyiapkan posisi yang bagus sekali di headquarter Uchida Corporation di Tokyo. Sudahlah, jangan kejar kegilaan apapun ini di balik keputusanmu,” sang nyonya Arab yang kali ini memakai abaya berwarna jingga itu mengelus-elus pundak putranya untuk membujuk. “Untuk apa begitu terobsesi?”
“Aku tahu kenapa,” sekonyong-konyong Jasmine sudah muncul di sebelah mereka, mengenakan piyama berwarna merah jambu yang bermotif abstrak. “Dia dan Kak Nicholas bersaing untuk…”
“Jasmine!” Lionel menatapnya dengan sangat tajam.
“Dia dan Nicholas kenapa?”
Namun Lionel telah menyeret adiknya menjauhi ibu mereka menuju ke sebuah cerukan di dekat pintu depan.
“Apa kau tidak bisa berhenti membuat masalah?”
“Aku tahu kenapa Kakak ingin pergi ke New York! Kakak ingin mengejar Kak Putri yang sudah keburu dikencani Kak Nicholas, kan?” Jasmine terkekeh geli. Wajah tampan Lionel kelihatan menegang. “Lihat, sepertinya aku benar!”
“Mereka belum berkencan!” bantah Lionel dengan napas memburu. “Dan itu bukan urusanmu, adik kecil!”
“Aku heran apa keistimewaan gadis sederhana yang sedang terpuruk seperti Putri Cakradiningrat sampai diperebutkan dua milyuner muda yang sangat tampan. Aku saja sampai iri,” Jasmine berlagak manyun namun sedetik kemudian tertawa. “Ups… bohong, ding! Aku kan sudah punya Suzaku! Tapi apa Kakak tahu hal yang akan diperbuat Ibu begitu menyadari kalau anak laki-laki kesayangannya tertarik pada seorang wanita yang miskin seperti Putri?”