“Saya terima nikahnya Putri Kirana Cakradiningrat binti Bayu Perdana Cakradiningrat dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seberat 20 gram dibayar tunai.”
“Sah?”
“Sah!”
Sejak kapan ia dikhianati sampai seperti ini?
Ayahnya, Bayu Cakradiningrat, datang ke acara akad nikahnya dengan Lionel Uchida dan bersedia menjadi wali nikahnya dengan senang hati. Apa yang diberikan keluarga Uchida pada dirinya? Pinjaman uang tanpa batas?
Putri sendiri sebenarnya sudah berusaha keras menolak pernikahan ini namun kedatangan ayahnya jauh-jauh dari Indonesia membuatnya semakin tidak berdaya. Seolah Lionel mengatakan bahwa ia akan memberikannya pada keluarganya di Indonesia untuk dipukuli lagi jika berani menolak pernikahan ini.
Semua alat komunikasinya sudah disita. Tidak ada lagi Suzaku yang baik hati yang akan menolongnya.
Putri serasa berada dalam lingkaran abusif yang tidak berakhir dan ia tidak tahu bagaimana bisa lari darinya kecuali berlindung di balik orang yang katanya mencintainya tapi nyatanya justru…
Kecupan Lionel pada keningnya menyadarkan Putri bahwa dia sudah menjadi istri sah dari milyuner tampan itu. Meskipun sudah menandatangani berbagai surat di belakang bahwa semua itu hanya sementara, tapi secara agama, mereka sudah bisa berlaku layaknya suami-istri.
“Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja,” Lionel memeluknya erat di depan para tamu undangan. Semua tamu yang hadir di masjid kecil di New York itu tampak berlomba-lomba untuk memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan image yang baik di depan keluarga Uchida dengan melontarkan berbagai sanjungan dan pujian. Tapi Putri seperti ingin lenyap saja dari muka bumi ini.
Adakah tempat untuk lari?
Siapa lagi yang akan menolongnya?
“Lionel, selamat atas pernikahannya, Nak,” Kensuke Uchida tersenyum lebar ke arahnya. Ia adalah satu-satunya orang dari keluarga Lionel yang bersedia datang ke acara akad nikah itu. Ibu dan adik Lionel tidak nampak batang hidungnya, tanda bahwa mereka sama sekali tidak mendukung pernikahan ini. “Jangan lupa siapkan resepsinya di Jepang secepatnya.”
“Baik, Ayah.”
Setelah Kensuke, masih banyak lagi tamu lain yang harus mereka salami.
“Ayo kita ke kembali ke hotel. Kau pasti capek, kan, Sayang?” Lionel menyarankan sambil mencium pipi Putri setelah seorang pangeran dari Asia Tenggara berlalu.
Namun sang gadis berhijab meringis mendengar kata-kata itu.
“Aku ingin di sini lebih lama lagi…” tampiknya. “Ayo, salami para tamu. Kasihan mereka sudah capek-capek dat…”
Namun suara tembakan bertubi-tubi memotong kata-katanya. Semua tamu menjerit dan berlarian, sementara para bodyguard keluarga Uchida yang bersenjata lengkap berhamburan maju ke depan. Lionel memegang erat tangannya dan mengajaknya berlari menjauhi carut-marut ini. Ia juga tampak meraih pistolnya yang tersembunyi di balik jas pengantinnya.
“Lionel, kenapa tidak mengundangku ke acara pernikahanmu?!” Stephen berteriak lantang di tengah-tengah ruangan dengan senjata laras panjang di tangannya. “Jangan lari, kau, anak mami!”
“Putri! Putri! Kau dimana? Putri!” Nicholas tampak berlari menyusul Stephen lalu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, senjata laras panjang juga tampak ada padanya.
“Nic… Hmmmphh…!” Lionel membekap mulutnya sebelum Putri bisa menjawab.
“Kau sudah menjadi istriku yang sah, ingat? Kau harus selalu mendampingiku!” bisik Lionel.
“Putri!” Nicholas akhirnya berhasil menemukan posisi mereka berdua, namun raut wajahnya tampak kecewa melihat gaun pengantinnya. Sebaliknya, Lionel tersenyum lebar seolah sedang pamer.
“Kau terlambat lima menit, Nicholas! Putri Cakradiningrat sudah resmi menjadi istriku!”
“TIDAK!””
Nicholas mengeluarkan pistol lain dari saku jasnya dan menembakkannya ke arah Lionel. Ia segera berlindung di balik dinding sambil mendekap Putri erat-erat.
“Kau ingin membunuh Putri juga, Brengsek?!”
“Tak akan kubiarkan kau menyentuhnya lebih jauh!”
Lionel balas menembak namun sebelah tangannya terus mendekap istrinya dengan sangat kuat.
“Jangan bergerak atau bertindak bodoh! Kau bisa mati seketika!” desis Lionel memperingatkan. Putri hanya bisa diam, namun dalam hati berharap Nicholas yang menang hingga bisa terselamatkan dari situasi ini. Menjadi janda di hari pertama pernikahannya sepertinya tidak terlalu buruk.
Baku-tembak ini terjadi selama beberapa lama sebelum akhirnya tim keamanan Lionel datang dan menyelamatkan mereka. Keduanya diarahkan untuk melarikan diri dari tempat ini naik sebuah supercar yang sudah mereka siapkan.
“Bagaimana dengan ayahku?” tanya Lionel saat membukakan pintu mobil untuk Putri.
“Beliau baik-baik saja, jangan khawatir. Semua…”
Namun Kenji tak sempat menyelesaikan kata-katanya karena tertembak tepat di kepalanya, membuat Putri menjerit nyaring. Lionel segera memeluknya dan membawanya menunduk untuk menghindari terjangan peluru.
“Ah!” seruan Lionel itu membuat Putri tersentak dan ia merasakan kengerian yang mendalam saat melihat darah menyebar dengan cepat di kemeja putih yang digunakan suaminya.
“Lionel?”
Putri hanya bisa menganga melihat Lionel ambruk tepat di depannya dengan darah membanjir di sekelilingnya.
Sesuatu seperti menghujam jantung Putri seketika.
Bukannya dia seharusnya senang?
“Kak, aku datang untuk menyelamatkanmu sesuai janjiku.”
“Suzaku…?”
*******
Suzaku membawanya ke sebuah kabin kayu di tengah hutan setelah sebelumnya berkendara selama setengah hari menjauhi New York. Mereka sempat berhenti untuk makan di sebuah restoran fast food dan di sinilah Putri mengganti gaun pengantinnya yang megar dan berwarna putih menjadi hoodie hitam dan celana abu-abu. Memang kebesaran karena semua itu adalah milik Suzaku, tapi akan sangat mencurigakan jika ia berkeliaran dengan menggunakan pakaian yang terlalu mewah dan mencolok.
Di dalam kabin itu hanya ada ruang tamu, dapur plus ruang makan, kamar mandi, dan satu kamar tidur. Suzaku mempersilakannya untuk tidur di situ sementara ia nantinya akan tidur di lantai.
So gentleman.
Seperti Suzaku yang biasa ia kenal.
Untuk makan malamnya, Suzaku memasakkan spaghetti untuk mereka berdua dengan saus kalengan dan pasta yang tinggal direbus. Awalnya saat makan bersama, yang ada hanya keheningan. Di restoran fast food tadi masih diselamatkan oleh kebisingan namun di sini sudah benar-benar tidak ada siapapun selain mereka berdua.
Putri juga merasa was-was karena mempercayakan nasibnya sepenuhnya di tangan Suzaku yang oleh Lionel disebut sebagai “maniak” karena “terobsesi dengannya”. Sepenuh hati, ia berharap bahwa itu tidak benar.
Ia masih berusaha meyakinkan diri bahwa Suzaku, tetangga sekaligus sahabat terdekatnya di Jepang, masih sama baiknya seperti dulu.
Agar tidak menimbulkan masalah apapun, maka Putri memutuskan untuk tidak memulai pembicaraan yang mungkin bisa merusak atmosfir hening yang menyenangkan ini. Namun Suzaku rupanya tak berpikiran demikian.
“Apa benar berita yang kudengar tadi pagi bahwa Kakak sudah resmi menikah dengan Lionel Uchida?”
Putri bimbang hendak jujur atau tidak, tapi toh tidak ada gunanya menyangkal karena banyak juga yang sudah mengambil video mereka saat momen ijab kabul.
“Benar.”
Suzaku meletakkan alat makannya dengan emosi, membuat Putri waspada seketika.
Jangan-jangan Lionel benar?
“Di… Dimana Jasmine?” Putri berusaha mengalihkan pembicaraan. Suzaku tidak menjawab karena sedang terpekur dengan kedua tangan yang menopang wajahnya yang merunduk. “Kalian putus?”
“Waktu aku mendengar bahwa Kakak bertunangan dengan Lionel Uchida, aku sangat terpukul,” Suzaku memutuskan untuk membicarakan topik lain. “Saat itulah aku baru menyadari sesuatu. Aku tidak mencintai Jasmine.”
Oh, tidak.
Putri tidak ingin mendengarkan kelanjutannya tapi Suzaku terus berbicara.
“Aku mencintai Kakak.”
Diam yang lama karena Putri tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
“Aku tahu Kakak tidak mencintaiku, tapi aku boleh terus berharap, kan? Siapa tahu suatu saat Kakak akan berubah pikiran…”
“Suzaku….”
“Aku tahu aku bukan siapa-siapa dibandingkan dengan Lionel Uchida atau Nicholas Anderson, tapi perasaanku pada Kakak sangat tulus…”
Tidak… Apa ini saatnya untuk lari?
“Aku…”
“Apa Kakak mencintai Lionel Uchida sampai mau menikah dengan dia? Atau apa dia memaksa Kakak dengan segala pengaruhnya?”
Putri sendiri tidak tahu apa dia mencintai Lionel atau tidak, tapi rasanya ada yang hilang saat melihat suaminya tadi jatuh ke tanah dengan tubuh bersimbahkan darah.
“Aku tidak tahu,” jawab Putri pada akhirnya, kembali menyantap spaghetti-nya. “Tapi memang aku menikah dengannya bukan karena kemauanku.”
“Baguslah…” Suzaku tersenyum sedikit lega. “Seandainya aku tidak terlambat sepuluh menit saja, maka…”
Namun suara sebuah mobil berhenti di depan kabin mereka membuat keduanya membeku, apalagi ketika diiringi suara tembakan membabi-buta.
“Lari!” teriak Suzaku sambil meraih pistolnya.
Putri segera merunduk di bawah meja makan sementara Suzaku berusaha membalas tembakan mereka dari balik jendela.
Siapa itu? Kubu Nicholas atau Lionel? Kenapa mereka langsung menembak? Apa mereka ingin membunuhnya sekalian?
Mungkin aku sudah tidak berguna lagi, apalagi setelah Lionel…