How to Run from The Billionaires

Rosa L.
Chapter #7

How It All Started

Turki.

Negara favorit Satria Bimasakti, teman masa kecil Putri sejak TK yang adalah tetangganya di Jakarta. Saat menginjak SMA, Bima, begitu panggilannya, mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Turki. Ia begitu betah tinggal di negara itu sehingga terus mengajukan beasiswa sampai tingkatan pasca-sarjana. Akhirnya, ia mendapatkan pekerjaan bagus di Turki dan sepenuhnya memutuskan untuk meninggalkan Indonesia.

Terakhir kali mereka berkomunikasi adalah saat Bima akan terbang ke Ankara dari Istanbul untuk mempersiapkan lamarannya untuk seorang wanita Turki bernama Dilara Osmanoglu. Katanya wanita ini adalah kenalannya di kampus saat mereka sama-sama mengejar gelar S1. Sayang pesawat Bima mengalami kecelakaan dan setelah dilakukan pencarian selama beberapa waktu, jasad Bima belum juga ditemukan.

Kini disinilah Putri, di Istanbul, tepatnya di depan gedung apartemen tempat Bima dulu tinggal. Keluarga Bima tak pernah menginjakkan kakinya di sini karena keterbatasan ekonomi, sehingga Putri bermaksud menjemput barang-barang peninggalan Bima. Ia berniat mencari petunjuk mengenai kehidupan Bima di sini. Siapa tahu akan ada secercah informasi yang mengindikasikan bahwa Bima masih hidup. Putri merasa ia belum bisa tenang sampai menemukan kebenaran di balik semua kejadian ini.

"Putri Cakradiningrat?" seorang pemuda Turki berambut cokelat gelap, bermata hijau dan berkulit putih dengan tubuh tinggi besar menyapanya. Ia memakai t-shirt berwarna cerah dan celana jeans yang mengesankan suasana yang santai.

"Benar," jawab Putri dalam bahasa Inggris. "Kau Mehmet Altan?"

"Ya, itu aku," pemuda itu tersenyum ramah.

"Seperti yang kusebutkan dalam chat, aku datang untuk menjemput barang-barang dari Satria Bimasakti. Bima."

"Oh, Bima..." pemuda itu mengangguk-angguk. "Dia itu orang yang sangat baik. Sayang sekali dia mengalami kecelakaan itu dua tahun yang lalu. Apa kau ini kekasihnya?"

Putri tersenyum kecut, berharap tebakan itu benar, "Bukan, aku ini temannya. Kami sudah kenal sejak kecil dan sebenarnya dia adalah tetanggaku. Karena itu aku ke sini untuk menjemput barang-barangnya sehingga bisa kukembalikan pada keluarganya."

"Baik, kalau begitu, silakan masuk."

"Terima kasih."

Putri memasuki gedung apartemen Bima dan terus mengikuti langkah Mehmet yang naik beberapa anak tangga di depannya.

"Di sini," ia menunjuk salah satu pintu. "Bima dulu tinggal di sini tapi sekarang sudah ditempati orang lain. Barang-barangnya ada di apartemenku. Masih dua lantai lagi dari sini."

"Oke, ayo lanjut!"

Mereka kembali menaiki tangga menuju ke tempat yang dimaksud.

"Silakan masuk," katanya setelah mereka tiba di depan apartemen Mehmet. Putri menginjakkan kaki ke dalam dan cukup terkesan dengan kebersihannya dan suasana yang sangat homey. "Tolong tunggu sebentar."

Mehmet silam sejenak sebelum kemudian keluar dengan membawa sebuah kardus yang agak besar dan penuh berisi berbagai macam barang. Ia meletakkannya di atas meja.

"Ini semua barang yang bisa kusimpan sampai hari ini... Kau akan langsung pulang ke Indonesia?"

"Tidak, aku..."

"Sudah keliling Istanbul? Kemana saja?"

"Aku..."

"Aku bisa mengantarmu keliling kota kalau mau, kebetulan sedang libur. Oh ya, apa kau suka minum kopi?"


*******


Mehmet setengah memaksa untuk menemaninya berkeliling seantero Istanbul untuk mengunjungi tempat-tempat yang bersejarah. Putri tidak bisa menolaknya meski sudah melontarkan banyak alasan, terutama karena sudah terlanjur dibantu untuk mendapatkan barang-barang Bima. Akhirnya ia menyerah dan berusaha untuk tetap sopan sepanjang jalan. Toh ini hanya akan berlangsung sehari saja.

"Dan itu adalah sebuah masjid raya yang dibuat oleh Sultan Mehmet II, yang namanya sama dengan namaku. Lihat, sangat besar dan indah, bukan?"

Putri mengangguk-angguk saja dan memaksakan senyum di depan Mehmet yang sangat bersemangat menjelaskan semuanya. 

"Kau lapar? Ayo, makan! Ada kebab yang enak di sebelah sana! Kau sudah pernah makan kebab sebelum ini?"

"Aku sudah kenyang, terima kasih, baru saja makan dan..."

"Kalau begitu bagaimana dengan roti simit di sana? Itu tidak akan terlalu mengenyangkanmu! Ayolah, aku akan mentraktirmu!"

"Putri!"

Gadis itu sontak menoleh saat mendengar ada yang memanggilnya dengan suara yang familiar. 

"Stephen?"

Laki-laki muda yang enerjik itu tersenyum lebar ke arahnya, memakai jaket kulit dan celana jeans berwarna hitam yang tampak sangat stylish. Ia berlari mendekati mereka.

"Hei, Putri! Tak kusangka bertemu di sini! Siapa dia?" Stephen Anderson menunjuk Mehmet tanpa sungkan-sungkan.

"Ini Mehmet Altan, teman B... teman kenalanku dari Indonesia."

"Oh, kukira dia siapa sampai hampir menyeretmu di sepanjang jalan."

"Hei!" Mehmet menyalak protes. "Memangnya dia siapamu?"

"Aku? Aku adalah tunangannya," Stephen berkata secara mengejutkan sambil merangkul Putri dengan agak mesra. "Karena itu aku heran, apa yang dilakukannya dengan laki-laki lain di sini."

Mehmet hendak menyahut panas namun Stephen sengaja menyibak jaketnya hingga memperlihatkan sebuah pistol hitam yang tergantung rapi di sana.

"Aku bekerja di CIA jadi selagi masih bisa, pergilah sana dan jangan ganggu gadisku," bisik Stephen penuh ancaman sebelum menepuk pundak Mehmet dan tersenyum lebar, "Selamat siang!"

Mehmet segera berlari ketakutan tanpa menoleh lagi, membuat Putri heran.

"Apa yang kau lakukan padanya?"

Stephen tertawa, "Ah, pemuda nakal seperti dia perlu diajari sedikit sopan-santun dari yang lebih tua. Mau minum kopi denganku?"

"Oke, tapi apa yang kau lakukan di sini?" Putri mulai berjalan bersisian dengan sang milyuner muda yang adalah kakak kandung Nicholas Anderson ini.

"Aku ada sedikit urusan..."

"Kau... tidak membuntutiku, kan? Apa Nikita yang menyuruhmu?"

Stephen tertawa lagi, "Nikita tidak memiliki kuasa apapun atas diriku. Dia bukan seorang ratu Viking, meski harus kuakui, cukup impresif. Apa yang kau lakukan di Turki?"

"Sekedar berkunjung..."

"Sekedar berkunjung sampai menyewa rumah di tepi kota Istanbul selama enam bulan?"

"Dari mana kau..." Putri berhenti berjalan. "Ternyata benar kau menguntitku!"

Ia mulai merasa kesal dengan para milyuner ini, yang merasa bisa melakukan apa saja mentang-mentang punya uang yang banyak, termasuk melanggar privasi orang.

"Apa aku sepenting itu sampai harus dikuntit?"

"Ya dan tidak? Entahlah... Tapi kami sedang dalam masa berkabung di tengah liburan musim panas, tidakkah kau ingin menghiburku sedikit? Aku bersumpah bahwa diriku yang keren ini tidak akan sekaku Nicholas, meski semoga jiwanya tenang di alam sana."

Putri mendesah, "Baiklah, tapi cukup untuk hari ini saja, ya!"


*******


Diluar dugaannya, Stephen tidak hanya berada di Istanbul untuk satu hari saja. Lelaki eksentrik itu ternyata tetap tinggal di sana bahkan untuk dua minggu ke depan. Tiap hari ia akan mengajak Putri keluar untuk mengunjungi suatu tempat wisata yang biasanya akan berakhir dengan makan enak di tempat-tempat yang mewah. 

Hari itu pun bukan perkecualian. Stephen mengajaknya untuk mengunjungi menata Galata dan makan di sebuah restoran papan atas. Berbeda dengan Nicholas, Stephen adalah seseorang yang extrovert dan periang. Ia bisa bicara dalam waktu yang lama tentang topik apa saja dan juga cukup humoris. Wajahnya pun tampan sehingga nyaman untuk terus dipandang dengan tubuh yang atletis. Selain itu, pekerjaannya juga bagus dengan latar belakang keluarga yang terhormat. Sebentar, apa dia sedang menganalisis semua kelebihan seorang Stephen Anderson? Tidak mungkin dia tertarik padanya, kan?

No more billionaire, please... bisik hati kecilnya dan ia pun mengiyakan. Sudah cukup jadi janda di hari pertama pernikahan yang dilakukannya dengan terpaksa. Apa lagi yang akan terjadi kepadanya? Kenapa semua milyuner ini rasanya tak memiliki target selain dirinya?

Apalagi, semua ajakan dari Stephen itu membuat waktu Putri semakin terbatas untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Bima. Sejauh ini, ia sudah membongkar barang-barang peninggalan Bima dan sama sekali tidak menemukan ada yang aneh meskipun sudah diperiksa berkali-kali.

Apa memang semuanya hanya imajinasinya saja dan tidak ada yang janggal dengan kejadian ini? Apa Bima benar-benar sudah meninggal?

Lamunan Putri dikejutkan oleh notifikasi di layar ponselnya dari Stephen yang menginformasikan melalui pesan teks bahwa dia sudah berada di luar rumahnya untuk menjemputnya. Dengan gontai, Putri yang hari itu menggunakan terusan dan jilbab putih lantas meraih tasnya dan berjalan ke arah pintu depan.

Putri tidak pernah bisa menolak Stephen karena laki-laki kaya itu sangat gigih dalam membujuknya untuk menerima setiap ajakannya. Dirinya yang sedang berkabung dengan beban yang cukup berat akhirnya menerima saja karena sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk melawan dunia. Terlalu banyak hal yang terjadi padanya dalam waktu singkat dan ia hanya ingin merasa tenang saja untuk saat ini.

"Hei, Putri! Terlihat cantik untuk hari ini," sapa Stephen dari balik kemudi supercar-nya yang berwarna merah. Ya, sejak hari pertama, Stephen sudah flexing dengan membawanya pergi kemana-mana naik mobil yang sangat mewah. Katanya ia juga tinggal di salah satu hotel bintang lima di pusat kota Istanbul sejak datang ke sini.

"Terima kasih," kata Putri dengan manyun. Stephen turun dari mobil untuk membukakannya pintu, hal yang cukup gentleman yang selalu dilakukannya dalam skenario seperti ini. 

Setelah sang perempuan Indonesia sudah aman di kursinya, Stephen kembali ke jok pengemudi dan mengarahkan mobilnya menjauhi rumah Putri.

"Sudah siap untuk berpetualang di menara Galata?"

"Aku sebenarnya cukup lelah, tapi baiklah..."

"Sudah sarapan? Kau terlihat pucat..."

Semalam Putri begadang untuk meneliti ulang semua barang-barang milik Bima, lupa sama sekali bahwa sudah punya janji dengan Stephen di pagi hari. Sialnya lagi, seperti pemeriksaan yang sudah-sudah, ia tidak menemukan ada yang aneh dari semua itu. 

Putri mulai berpikir untuk menghentikan semua ini dan kembali menjalani hidupnya seperti sedia kala. Tak ada gunanya terus menanti sesuatu yang seakan tidak memiliki harapan untuk terus diyakini. 

Selagi ia berpikir, Stephen ternyata telah mengarahkan mobilnya ke sebuah restoran mewah yang sudah buka meski masih cukup pagi.

"Kenapa kita ke sini? Menara Galata-nya bagaimana?"

"Makan dulu, yuk! Nicholas bisa membuatku mimpi buruk selama tujuh turunan kalau sampai kau sakit gara-gara kurang makan saat jalan denganku."

Putri terpaksa mengiyakan karena kondisi tubuhnya juga sudah mulai tidak nyaman. Benar kata Stephen, ia juga belum sarapan karena buru-buru berangkat.

Di dalam restoran yang memiliki meja yang menghadap ke Selat Bosphorus itu, Stephen memesan sarapan Turki lengkap sehingga meja mereka kemudian dipenuhi oleh berbagai jenis roti, keju, selai, telur, buah, dan banyak makanan lainnya. Putri merasa hidup kembali setelah menyantap beberapa di antaranya. Campuran telur setengah matang dan tomat yang dijadikan sebagai olesan roti adalah salah satu favoritnya, demikian juga teh khas Turki yang menghangatkan tubuhnya yang sedang kurang fit.

Seperti biasa, Stephen membayar semuanya dengan black card miliknya. Mereka hendak keluar dengan perasaan kenyang dan bahagia, namun Stephen dihentikan oleh seorang rekan kerjanya yang kebetulan juga berkunjung ke Turki.

Mereka berbicara dengan bahasa Islandia yang cukup cepat. Sesaat kemudian, Stephen minta maaf dan meminta Putri untuk menunggu sebentar di kafe yang terletak di dekat restoran karena ternyata ada hal penting yang harus mereka bahas. Meski agak kesal, namun Putri mengiyakannya dan memesan seiris baklava pistachio yang manis berikut segelas kopi di kafe sebelah sementara Stephen kembali duduk di restoran tadi dan membicarakan sesuatu yang serius, entah apa. Setelah menunggu selama setengah jam lamanya, Stephen keluar dari restoran dengan muka yang agak lain dari yang tadi.

"Stephen, kau... mabuk?"

Stephen tertawa, "Aku tidak apa-apa, semuanya baik-baik saja. Ayo, pergi!"

"Tidak, kita bisa batalkan ini..."

"Tidak... Tidak... Aku sudah terlanjur janji. Ayo!"

Meski begitu, Stephen tetap bisa mengemudi dengan baik. Mereka tiba di menara Galata sesuai rencana dan menaiki tangga sampai tiba di puncak menara.

"Lihat, indah sekali kan!" Stephen terkekeh dengan agak tidak wajar, membuat Putri cukup was-was. Apalagi saat milyuner tampan itu mendekati balkon dimana hanya ada pembatas berupa pagar rendah yang terlihat kurang efektif untuk menahan tubuh besar bule seperti dirinya.

"Stephen, hati-hati! Stephen!"

Benar saja, tubuh Stephen yang terhuyung-huyung hampir saja jatuh ke bawah, untunglah Putri menarik kemeja putihnya dari belakang pada waktu yang tepat.

"Kau tidak apa-apa?"

Stephen tampak hampir tertidur dengan muka merah, tersenyum tak fokus.

"Ayo... Ayo... Kita duduk dulu..."

Namun lengan Putri dipegangi dengan sangat kuat oleh Stephen.

"Steph...!"

"Putri, kau cantik sekali.... Jadi pacarku, ya... Sini... Sini..." Stephen hendak menciumnya dengan paksa sehingga Putri terpaksa memberontak.

"Tidak! Hentikan! Tolong! Tolong!" jerit Putri cukup histeris karena Stephen ternyata sangat kuat. Teriakannya itu membuat banyak orang menoleh ke arah mereka. Seorang bapak-bapak berkumis tebal kemudian berlari ke arahnya untuk menarik sebelah tangannya yang masih bebas dari Stephen. "Tolong, Pak! Tolong!"

"Lepaskan dia! Lepaskan!" seorang pemuda lainnya ikut berusaha menolong dengan mendorong Stephen, namun tak disangka, Stephen mengeluarkan pistol dari balik jas hitamnya dan menembak pemuda itu tepat di dadanya.

Suasananya langsung heboh. Semua orang berlarian sambil menjerit untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Bahkan bapak-bapak tadi, yang sedianya akan membantu Putri, juga ikutan kabur.

Kini ruangan itu menjadi kosong. Hanya tersisa Putri, Stephen, dan jasad pemuda Turki itu di sana.

"Aku akan membunuhmu kalau kau tidak menurutiku, seperti dia!" Stephen mengarahkan pistolnya sesaat ke tubuh pemuda itu sebagai penegasan. "Cepat ke sini!" 

Dengan takut, Putri mendekati Stephen, yang kemudian meraih hijab panjangnya sehingga terlepas dari kepalanya, menampilkan rambutnya yang kemudian berkibar tertiup angin kencang. Airmata Putri mulai mengalir dan ia berusaha menutupi rambutnya dengan tangannya.

"Oh, begitu rupanya mukamu tanpa hijab! Cantik sekali ternyata! Kenapa kecantikan seperti itu harus ditutupi, hah?! Sini! Ayo kita bermain sebentar!" sentak Stephen sambil tertawa terbahak-bahak.

"Jangan..."

"Sini, Putri! Cepat!"

Stephen menembakkan senjatanya ke udara sehingga Putri mendekatinya perlahan-lahan.

"Ayo, cepat!"

Satu tembakan ke udara yang berikutnya mempercepat langkah Putri. Ia hampir berada dalam jangkauan tangan Stephen dan sudah pasrah dengan nasibnya, namun sebutir peluru tiba-tiba menembus dada laki-laki kaya itu dari arah belakang, membuat Putri sangat kaget.

"Berani-beraninya kau mempermalukan istriku sampai seperti itu!"

Putri merasakan kebahagiaan yang luar biasa membuncah dari dalam dadanya saat melihat Lionel Uchida berjalan ke arahnya dengan pistol yang diacungkan ke arah Stephen. Ia terlihat tampan mempesona seperti biasanya, dibalut pakaian serba hitam, dan tanpa kekurangan suatu apapun.

"Lionel!"

Tanpa bisa mengendalikan dirinya, Putri berlari ke arah suaminya dan memeluknya dengan sangat erat. Lionel balas memeluknya dengan sebelah tangan lalu mencium rambutnya.

"Kupikir kau sudah meninggal! Aku sangat takut!"

"Aku baik-baik saja. Semuanya sudah berlalu. Jangan takut lagi."

Di lantai, Stephen tampak menggeliat sebentar sebelum akhirnya terdiam sama sekali.

"Apa dia sudah meninggal?" tanya Putri, hampir mendekat tapi Lionel menahannya.

"Tidak! Jangan ke sana! Biarkan orang lain yang mengurusnya! Ayo pergi dari sini sebelum ada yang datang!"

"Hijabku..." keluh Putri lirih, namun hijabnya yang terbuat dari bahan ringan itu sudah diterbangkan angin ke gedung sebelah.

"Nanti kubelikan hijab yang lain. Ayo pergi, Sayang!"

Lionel mengajaknya terus berlari melalui anak tangga yang sepi sampai akhirnya mereka tiba di lantai dasar.

"Silakan, Tuan Muda!" para bodyguard keluarga Uchida sudah menunggu mereka dan membukakan pintu sebuah supercar berwarna hitam. Tak lama kemudian mereka pun pergi diiringi bunyi sirene mobil polisi yang baru mengerumuni tempat itu.

"Aku punya rumah di sini! Ayo kita ke..."

"Tidak! Kita harus keluar dari Turki sekarang juga!"

"Tapi aku masih harus melakukan sesuatu di negara ini. B... Maksudku..."

"Putri, aku ini suamimu, jadi kau harus mendengarkan aku! Sekarang diamlah dan ikut saja kemanapun aku pergi!"

"Tidak bisa...!"

Meninggalkan Turki seperti meninggalkan Bima dan ia belum sanggup melakukan hal itu. Penyelidikannya juga belum selesai...

"Putri, keputusanku sudah final dan kau harus menurut!"

Mobil mereka berhenti karena lampu merah dan Lionel memandangi Putri yang tertunduk sambil berusaha merapikan rambutnya yang berantakan. Tangan Lionel meraih ujung beberapa helai rambutnya.

"Aku belum pernah melihatmu tanpa penutup kepala sama sekali..."

Ia mengelus rambut Putri tapi suara klakson dari belakang membuatnya terpaksa kembali mengemudikan mobilnya.

"Bagaimana kau masih hidup? Kata semua orang, kau sudah meninggal..."

Lionel tertawa, "Itu adalah strategiku agar mereka tidak mencariku saat sedang berusaha memulihkan diri."

"Tapi Jasmine, Nicholas dan Suzaku.... Mereka benar-benar..." Putri berhenti dengan mata berkaca-kaca.

"Ya, sangat disayangkan, kita benar-benar kehilangan mereka...."

Dalam hati, Putri berharap mereka juga tiba-tiba muncul kembali seperti Lionel, jadi semuanya bisa berjalan normal lagi seperti sedia kala. Namun itu semua hanya mimpi, karena Putri melihat sendiri jasad ketiga orang itu, tidak seperti Lionel atau... 

Bima... Apa kau benar-benar sudah pergi?

"Kenapa, Sayang?"

"Tidak..." Putri buru-buru tersenyum. "Kita mau kemana?"

"Rumah kita, tentu saja. Jepang."



*******


“Selamat datang, Tuan Muda dan Nona Besar.”

Sebarisan bodyguard Uchida menyambut Lionel dan Putri yang sudah tiba di rumah utama keluarga Uchida di Tokyo. Meskipun sudah pernah berkunjung ke sana, tapi Putri masih tetap terpana melihat kemegahannya yang sudah seperti sebuah kastil para kaisar Jepang yang sering ia lihat di berbagai drama dan film. Ia dulu hampir tak percaya bahwa ada manusia modern yang benar-benar tinggal di dalamnya. 

Dan perubahan nasibnya juga sangat drastis. Dari beberapa bulan lalu hanya sebagai pegawai katering paruh waktu, sekarang ia sudah menjelma menjadi istri dari pewaris Uchida satu-satunya. Setelah kematian Jasmine, maka secara otomatis semua kekayaan keluarga Uchida akan jatuh ke tangan Lionel seorang. Kalau dulu saja pria posesif ini sudah sangat berkuasa, maka tunggu sampai dia benar-benar sudah mewarisi segalanya, entah jadi seperti apa dia. Membayangkannya saja sudah membuat Putri bergidik.

“Sayang, ayo masuk ke rumah kita,” Lionel menghentikannya terus menatap rumah ini dengan kagum. “Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang dari Turki. Di jet juga semalaman tidak bisa tidur, kan? Ayo cepat, nanti keburu sakit. Harus jaga kondisi mulai dari sekarang…” 

Setengah tidak percaya bahwa istana ini sudah menjadi kediamannya sekarang, Putri mengikuti suaminya masuk ke dalam rumah dengan sedikit canggung. 

“Lionel! Oh, Lionel! Syukurlah kau masih hidup! Kupikir hidup Ibu sudah berakhir!” Nyonya Uchida sampai berlari dari dalam rumah dan memeluk Lionel dengan sangat antusias. “Anakku Sayang, kau masih hidup! Kenapa tidak menghubungi kami? Ibu masih menangisimu sampai tadi malam! Apalagi sejak adikmu… Apa kau tahu bahwa Jasmine…”

“Iya, Bu, aku tahu…” kata Lionel dengan nada berat. “Tapi aku akan melakukan semua yang diperlukan untuk membalaskan dendamnya.”

“Tidak!” Putri keceplosan untuk menyela karena itu artinya Lionel akan membunuh Nikita, yang menurutnya sama sekali tidak bersalah. Jasmine-lah yang sudah mencoba menyerang Putri tanpa ampun sampai Nicholas terbunuh untuk melindunginya. Dan Nikita hanya membalaskan dendam saudaranya yang juga di saat bersamaan telah menyelamatkan nyawa Putri.

“Apa maksudmu ‘tidak’?” Nyonya Uchida memandang Putri dengan sengit. “Kau tidak setuju kalau pembunuh Jasmine mendapatkan balasannya?”

Putri gelagapan karena membela Nikita sama artinya dengan menentang ibu mertuanya yang sangat disayangi suaminya.

“Ibu, sudahlah, Putri sedang lelah…” Lionel berusaha melindungi Putri yang tampak gugup. “Dia sedang kurang sehat, Bu…”

Putri melirik Lionel heran. Sejak kapan ia “kurang sehat”?  

“Kenapa kau membawa gembel ini ke rumah kita, Lionel?! Seharusnya kau ceraikan saja sampah tidak berguna ini! Saat kau dianggap meninggal dan ayahmu dalam serangan hebat, dia justru kabur dengan laki-laki lain, yang tak lain tak bukan adalah musuh besar kita, si Anderson!”

“Putri masih istriku yang sah, Ibu. Dia hanya berusaha menyelamatkan dirinya sendiri, tak ada yang salah dengan itu…” bela Lionel.

“Dari mana kau tahu bahwa dia tidak melakukan apa-apa dengan Anderson itu? Jangan-jangan dia sudah berselingkuh selama kau tidak ada!” tuduh sang nyonya.

“Tidak! Tak ada yang menyentuh saya selama suami saya tidak ada!” bantah Putri dengan mata berkaca-kaca. Ia tak menyangka bahwa ibu mertuanya tidak menghargai hijab yang dikenakannya sehingga menganggapnya bisa selingkuh begitu saja.

“Tolong jangan menuduh dia yang bukan-bukan, Bu. Aku percaya sepenuhnya pada Putri. Aku sangat mencintainya seperti aku juga sangat mencintai Ibu,” mohon Lionel. 

“Apa?! Kau menyamakan cintamu pada Ibu dengan perasaanmu pada perempuan ini?” Nyonya Uchida berlagak jijik. “Jangan-jangan kau sudah dihipnotis!”

“Ibu, tolong, ini bukan waktunya. Putri sedang kurang fit. Dia baru datang dari jauh. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya? Putri sedang hamil.”

Mata Putri terbelalak demikian pula Nyonya Uchida.

“Hamil? Perempuan ini? Tidak mungkin!”

“Ibu, Putri sedang mengandung anakku jadi tolong jangan ganggu dia. Biarkan dia selalu mendapatkan asupan gizi terbaik dan jaga perasaannya. Demi lahirnya pewaris berikutnya dari keluarga Uchida, cucu Ibu juga…”

Nyonya Uchida menatap Putri dengan penuh benci sehingga ia harus menunduk untuk menghindarinya 

“Cih! Dasar wanita…” 

“Ibu!”

“Baiklah, baik! Semua untuk dirimu, Lionel! Kalau tidak…” Nyonya Uchida menggeram lalu berlalu dengan marah. Lionel tersenyum simpul lalu memandang Putri yang balas menatapnya dengan penuh tanda tanya berbalut kekesalan.

“Ayo, cepat ke sini!”

Lionel segera mengamitnya menuju kamar pribadinya di lantai dua, yang besarnya berkali-kali lipat dari apartemen Putri di Jepang maupun kamarnya di Jakarta. Sepertinya beberapa rumah sekaligus bisa muat di kamar ini, yang saking megahnya sudah seperti satu istana kecil sendiri.

“Apa maksudmu? Aku tidak sedang hamil sekarang!”

Lihat selengkapnya