How to Run from The Billionaires

Rosa L.
Chapter #8

Epilog

Pesta milyuner Adam Worcester malam itu di Amsterdam, Belanda, sangat meriah. Banyak pesohor dari dalam dan luar negeri yang menghadiri acara prestisius itu. 

Di antara mereka adalah seorang wanita muda yang sangat cantik dengan long dress berwarna putih, heels berwarna perak dan tas branded berwarna keemasan. Ditunjang oleh tubuh yang langsing ideal, penampilannya nyaris sempurna sehingga banyak yang melirik penuh minat pada perempuan bermata gelap dan berkulit kuning langsat itu.

"Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini..." seorang wanita lain yang bergaun keperakan menyapa perempuan ayu tadi dengan suara pelan yang nyaris tak terdengar. Orang biasa mungkin tak bisa menangkap isi pembicaraannya.

"Dilara Osmanoglu! Apa Mehmet Altan juga bertugas?"

"Ya, dia ada di atap..."

"Aku berhutang maaf padanya atas kasus Stephen Anderson. Tapi aktingnya saat itu sungguh luar biasa. Tak ada satupun dari kami yang mengira bahwa pemuda pengecut dan playboy macam dia adalah salah satu senior dalam bidang intelijen."

Dilara tersenyum, "Bagaimana kabar Bima? Dia adalah partner kerja yang sangat bisa diandalkan."

"Baik, dia baik. Sedang bertugas juga."

"Dimana?"

"Top secret. Bahkan aku juga tak tahu apa-apa."

Dilara menyeletuk lagi, "Kudengar kau dan Lionel Uchida sedang dalam proses penceraian."

"Apa boleh buat, aku tidak bisa memiliki dua suami," timpal lawan bicaranya. "Mana kutahu bahwa dia masih hidup setelah tak ada kabar darinya selama tujuh tahun. Sayangnya saat aku sudah hidup bahagia dengan Bima, mendadak Lionel muncul lagi dan meracau, jadi kubereskan saja. Inilah hidup..."

Dilara tergelak, namun kemudian berkata lebih serius, "Tapi jika Putri Cakradiningrat sudah ada di pesta seorang milyuner, maka dia pastilah sedang berburu. Apa aku benar?" tebak Dilara sambil meneguk jus jeruk di tangannya. "Seperti julukanmu yang sangat terkenal, 'Putri The Billionaire's Slayer'. "

Putri hanya bisa tertawa.

"Aku tak akan mengganggumu, lagipula targetku bukan milyuner mata keranjang berusia 44 tahun, jadi good luck!" ucap Dilara. "Kalau ada waktu, aku ingin mentraktirmu besok di restoran Belanda favoritku."

"Topiknya apa kali ini?" tanya Putri tertarik.

"Bima."

Senyum Putri sedikit memudar namun agen intelijen cantik yang tadinya berdiri di depannya telah berlalu. 

Saat Dilara sudah tak terlihat lagi, ribuan pertanyaan segera berkecamuk di dalam benak Putri, namun yang paling mengganggu adalah...

Apa mereka dulu pernah punya histori?

"Tak punya malu berdiri di situ," Putri menoleh dan mendapati Nyonya Uchida mendengus saat memandangnya. "Gaun siapa itu yang kau pinjam?"

Putri menghela napas, "Nyonya Uchida yang terhormat, dari dulu saya diam karena menghormati Lionel yang waktu itu adalah suami saya. Tapi sekarang kami sedang dalam proses perceraian, jadi saya tidak perlu lagi bersikap ekstra baik hati. Karena itu, saya ingin Anda tahu bahwa Anda tidak berhak menghina saya seperti ini hanya karena merasa memiliki segalanya! Saya mau apa dengan pakaian apa dengan cara bagaimana itu bukan urusan Anda! Jelas? Kalau saya dapati Anda mencampuri hidup saya lagi dengan cara yang tidak pantas, maka yakinlah, bahwa saya tidak akan tinggal diam!"

Nyonya Uchida menganga melihat keberanian Putri namun wanita muda itu tak memberikannya kesempatan untuk berkata-kata lagi karena sudah berlalu dari situ dengan anggun.

"Sangat impresif." 

Langkah Putri terhenti dan ia tak bisa menahan diri untuk menghela napas berat.

Tentu saja.

Lelaki itu makin mendekatinya, "Halo, Sayang."

Lionel Uchida telah ada tepat di belakangnya dengan tuksedo hitam rancangan terkini dari rumah mode paling terkemuka. Ketampanannya seperti biasa sangat memukau, tapi Putri sudah tidak tertarik lagi pada apapun yang berhubungan dengan milyuner muda yang satu ini.

"Apa maumu?" tanya Putri langsung to the point. "Kalau kau punya waktu luang, kenapa tidak nasehati saja ibumu yang memiliki hobi untuk mengkritik orang lain itu? Dan aku sudah mengatakan ini dengan cukup sopan karena biasanya orang yang seperti itu sudah aku caci-maki!"

"Wow," Lionel terkekeh. "You are on fire, Baby! Calm down..."

Putri tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Mungkin karena Dilara menyebutkan nama Bima di luar kewajaran? Apa dia takut Dilara akan bilang bahwa mereka dulu adalah sepasang kekasih yang saling mencintai dan kehadiran Putri telah menghancurkan segalanya seperti yang sudah sering didengarnya dulu?

"Kau bisa bicara denganku kalau mau. Sepertinya sedang banyak pikiran," ketika Putri mendelik padanya, Lionel buru-buru menambahkan. "Sebagai teman, tentu saja."

"Tidak," jawab Putri tanpa ragu-ragu. "Orang manipulatif macam dirimu hanya akan memperburuk suasana karena biasanya akan memanfaatkan situasi apapun itu yang melemahkanku untuk kepentinganmu sendiri, seperti dulu."

"Baguslah akhirnya kau sudah tidak terlalu naif lagi," timpal Lionel. "Aku suka Putri yang baru ini."

"Baguslah kau akhirnya mengerti bahwa aku bukan mainanmu lagi."

Putri hendak beranjak tapi satu kalimat dari Lionel menghentikannya, "Aku masih mencintaimu, Putri." 

Saat Putri tak menjawab, ia menambahkan. "Aku masih berharap kau akan kembali padaku. Aku akan selalu di sini untuk menunggumu."

"Terima kasih, tapi simpan saja semua itu untuk dirimu sendiri. Aku tidak berminat lagi."


*********


"Aku mencintai Bima."

Tubuh Putri menegang.

"Dulu."

Kini ia lebih rileks.

Dilara lantas memainkan kentang tumbuk di piringnya. Wanita ini sebenarnya memiliki kemolekan bak boneka perselen, ditambah dengan tubuh yang tinggi menjulang seperti seorang supermodel, sehingga sulit membayangkan bahwa pekerjaannya bukan di dunia entertainment. Kali ini ia mengenakan kemeja berbahan sutra dengan warna biru cerah dan bawahan yang serasi, sementara Putri menggunakan jaket hitam dan rok jeans dengan hijab panjang gelap yang melengkapi penampilannya.

"Kau tak tahu betapa sulitnya bagiku menerima kenyataan bahwa ia tidak akan pernah menerima cintaku meski apapun yang bisa kulakukan sebagai seorang wanita telah kulakukan. Dulu, Bima bertugas cukup lama di Turki. Kami bertemu hampir tiap hari. Tapi, tak peduli apapun yang kuperbuat untuk menarik perhatiannya, yang dia ceritakan nyaris tiap saat hanya satu, 'Putri ini' atau 'Putri itu'. Sampai-sampai kukira bahwa gadis bernama Putri ini pastilah menyerupai malaikat," Dilara tersenyum sendu. "Kau tidak tahu ekspresi saat Bima menceritakan tentang dirimu. Matanya penuh dengan binar kebanggaan dan, tentu saja, cinta."

"Kenapa kau memberitahuku tentang hal ini?" tanya Putri.

"Aku hanya merasa tidak enak kalau ada orang lain yang memberitahumu. Maklum, kita memilih bekerja sebagai mata-mata dan diajarkan untuk bisa membaca bahasa tubuh orang lain. Skenario paling buruk yang bisa terjadi adalah kau akhirnya bisa membaca bahasa tubuhku lantas menarik kesimpulan bahwa Bima, bagiku, lebih dari sekedar teman."

Putri menghela napas, "Aku tidak akan munafik dan berkata bahwa aku senang mendengar semua ini. Tapi terima kasih sudah berkata jujur padaku. Kita tidak bisa memaksakan cinta pada orang lain dan juga memaksa orang lain untuk tidak mencintai kita."

"Kau tentu sangat paham akan hal ini," celetuk Dilara, "Aku tahu tentang petualangan cintamu dengan dua orang milyuner muda itu dan pertanyaanku hanya satu, kenapa kau tidak menuliskannya sebagai novel? Mungkin bisa jadi best seller."

Putri tertawa, diikuti Dilara, sehingga atmosfer tegang di antara mereka mulai mencair.

Lihat selengkapnya