Januari 1861, Henri Murger meregang nyawa. Pada usia yang masih belia, 39 tahun, ia telah berhasil mencapai puncak kariernya sebagai penulis. Ia adalah seorang penulis berpengaruh pada masanya, tetapi kemudian sakit dan jatuh miskin. Salah seorang teman mengirimkan sejumlah uang untuk membantu menutupi biaya perawatannya, tetapi tak cukup banyak dan Murger berada di ambang kematian.
Orang-orang mungkin akan teringat kembali kehidupan Murger dan bagaimana ia memopulerkan budaya Bohemia lewat buku terkenalnya, Scènes de la vie de bohème. Di buku itu ia menggambarkan bahwa gaya hidup melarat ala kaum Bohemia adalah lebih baik ketimbang kehidupan para bangsawan Paris. Orang-orang Bohemia, menurut buku Murger, adalah prototipe sosok seniman yang hidupnya miskin—penulis, pelukis dan pekerja kreatif lainnya yang menyepi dari kemewahan dan komersialitas karena ingin sepenuhnya mengabdi pada seni.
Buku Murger yang aslinya adalah koleksi cerita pendek, menginspirasi Theodore Barriere untuk menciptakan naskah drama berjudul La Vie de la Bohème bersama sang penulis. Drama itu sukses besar saat dipentaskan di Théâtre des Variétés. Kelak, drama itu menginspirasi La Bohème, opera klasik karya Puccini yang pada gilirannya juga mendorong terciptanya karya-karya lain, termasuk drama musik besar Rent (di panggung maupun di layar perak).
Kaum Bohemia bukanlah satu-satunya kelompok pencandu sastra dan seni yang hidup di bawah garis kemiskinan. Subkultur lain yang serupa sudah muncul sejak zaman Romawi dan Alexandria.
Subkultur-subkultur itu tak banyak dipuji. Oleh masyarakat umum—dan bahkan oleh kaum mereka sendiri—pelaku subkultur ini dipandang sebagai warga kelas dua yang kumuh. Anak laki-laki dan perempuan dari golongan ini adalah petani. Mereka merantau ke kota untuk mencari kerja, tetapi tak mendapatkannya karena ekonomi Prancis sedang terpuruk, sehingga tak tersedia cukup banyak lapangan pekerjaan untuk mereka.
Murger adalah salah satu dari kaum ini. Ia anak seorang penjahit. Beberapa jenis pekerjaan sudah pernah digelutinya, tetapi gagal karena ia tak punya bakat seni. Oleh karena itu, ia berpindah haluan menjadi penulis. Dalam tulisannya, Murger membuat romantis kehidupan yang ia jalani bersama teman-temannya. Melalui Scènes, ia berhasil mengangkat derajat kaum Bohemia dari budaya yang suram dan kabur menjadi budaya yang relevan dan penuh aspirasi.
Ketika Scènes semakin populer, orang-orang dari segala penjuru Paris berbondong-bondong mengunjungi kantong-kantong Bohemia di kota itu. Para “wisatawan” itu memenuhi kafe, menyusuri jalan sambil melongo karena seperti sedang mengunjungi kebun binatang. Orang-orang ini bahkan menciptakan fesyen ala Bohemia—yang secara ironis terlahir atas nama kebutuhan, bukan untuk mode atau sekadar tampil gaya.
Akan tetapi, Murger menggambarkan gaya hidup Bohemia sebagai sebuah persinggahan menuju akhir jalan, dijalani hanya sementara saja sambil mencari cara lain untuk menghasilkan uang. Mereka yang tak bisa menggeser dirinya dari garis kemelaratan ini akan menghancurkan dirinya sendiri. Persis seperti apa yang terjadi kepada Murger. Kata-kata terakhirnya adalah “Tidak ada lagi musik! Tidak ada lagi alarum1! Tidak ada lagi Bohemia!”
Jika Murger sendiri—pencerita pertama mengenai seniman yang melarat—berharap orang lain mengerti bahwa gaya hidup Bohemia tidak perlu ditiru, lalu mengapa kultur modern justru memagutnya erat?