Kelopak Pertama
Suara halaman buku ditutup, pena dan tempatnya dilempar kedalam tas, kursi terdorong mundur— aula yang memuat delapan puluh orang saat ini dipenuhi suara tersebut.
Air conditioner yang berderu membuat penghuninya malas untuk keluar. Terbukti, suara orang bercakap-cakap juga memenuhi ruangan. Mengabaikan kenyataan kalau sebentar lagi akan ada orang lain yang menggunakan ruangan selain mereka.
“Maaya, kamu mau ikut nggak?”
Seorang gadis dengan rambut coklat muda menoleh kepada pertanyaan yang diarahkan kepadanya. Sumbernya adalah percakapan dari teman sekelasnya.
“Eh kemana?” Maaya bertanya karena tidak mengikuti isi pembicaraan mereka.
“Nongkrong di SB.”
“Mau minum disana ya?” Maaya meregangkan badannya.
Tentunya setelah dua sesi kelas ekonomi dia ingin mengistirahatkan pikirannya dengan dinginnya kopi Dan Sedikit asupan gula. Tetapi jam yang dipasang pada dinding di bagian muka ruangan terus menghentak. Memberitahu bahwa sudah waktunya untuk mahasiswi tingkat dua itu melanjutkan aktivitas.
“Hmmm…” Ia menyalakan layar smartphone-nya, seolah berharap waktu yang ditunjukkan jam dinding itu salah. Tetapi yang ia dapati adalah notifikasi dari panggilan tidak terjawab dan jam yang terus berjalan. Helaan kecil keluar dari mulutnya.
“Kayaknya nggak dulu deh. Maaf ya…”
“Enggak apa, May. semangat ya part time-nya! Nanti kalo kamu sempat kita jalan lagi.”
“Yes! Aku duluan ya guys.”
Mereka bertukar lambaian tangan sebelum akhirnya Maaya meninggalkan aula itu. Ia tersenyum kecil karena teman-temannya yang penuh pengertian, tetapi sebentar kemudian hilang karena perasaan bersalah selalu menolak ajakan mereka.
Apa boleh buat?
Ia lanjut berjalan ke luar kampus. Menuju ke tempat pemberhentian bus terdekat.
***
Terletak di tengah-tengah pertigaan, tanpa adanya bangunan lain di kanan kirinya. Sebuah toko berdiri, dinding dari bata merah di bagian depannya dirambati tumbuhan menjalar dari bagian atas sampai ke kaca yang memperlihatkan dalam bangunan tersebut— ratusan bunga dengan beragam jenis, corak dan rona. Tepat di atas pintu masuk, kanopi kecil berwarna hijau tosca memayungi beberapa pot bunga dan sebagian kecil trotoar merah.
Maaya selalu memperhatikan tulisan putih dengan font helvetica pada kanopi itu.
Hue and Flowers.
Wajahnya sedikit berseri sebelum ia memutar gagang pintu toko bunga itu. Bell yang menggantung pada pintu masuk mengabarkan kedatangannya.
“Selamat datang...oh, Maaya!”
Sambutan itu datang dari seorang wanita di akhir kepala empatnya. Garis-garis putih sudah mulai terlihat pada mahkotanya, tetapi mengenakan kemeja dan appron hijau tosca khas toko ini, ia sekarang terlihat lebih muda.
“Saya datang manajer!” ia menyapa pemilik toko sekaligus bos nya yang berada di ujung ruangan dengan penuh antusias. Suara musik klasik yang terang menemani langkahnya.
“Iya, makasih lho selalu datang langsung dari kampus.”
“Ahh bukan apa-apa kok.”
Maaya berjalan ke arah meja kasir, tempat dimana dia akan menghabiskan sisa harinya sampai matahari terbenam. Belum sampai pada tujuannya, langkahnya terhenti ketika sadar ada orang lain selain manajer di dalam toko.
Seorang pria dengan pakaian serba hitam menatapnya dari sisi manajer. Sudah beberapa hari sejak mereka berdua terakhir bertemu sebagai penjual dan pelanggan.
“Selamat pagi—! eh, si— siang maksudku.” Maaya menyelipkan lidahnya keluar atas salah katanya itu, kemudian menutup mulutnya sendiri.
“Siang.” seperti biasa, senyum menghiasi wajah pria itu. Maaya sama sekali tidak berpikiran bahwa ia mengejek kesalahannya tadi. Justru senyum itu terasa hangat dan ramah.
Aku pikir dia tidak akan datang lagi, tapi ini sih…
Menginspeksi pria itu untuk kedua kalinya, Maaya mendapatkan bahwa pria tersebut tidak menggunakan pakaian biasanya. Memang masih serba hitam, tetapi jas yang selama ini selalu ia kenakan diganti dengan appron hijau tosca berbordirkan benang putih nama toko. Selain itu dia juga menggulung lengan kemeja dan melepas dasinya— menunjukkan kulit putih pucat.
“Ini yang aku ceritain kemarin lho, May. Lucu kan dia pakai pakaian kayak mau ke pesta.”
Sebelum Maaya bisa menjawab pernyataan manajer, pria itu menjulurkan tangannya— “Gladi, senang berkenalan.”
“Aku Maaya, senang berkenalan dengan mu, kak.”
“Gladi aja gak apa. Aku gak setua itu kok.”
“Ahh, ya mulai sekarang kita juga bakal jadi partner.”
“Ahh...benar.”
Gladi memamerkan giginya sebelum menyembunyikannya lagi dibalik senyuman. Terlintas di pikiran Maaya bahwa ternyata dia tidak terlihat setua yang ia bayangkan sebelumnya. Mungkin karena tidak lagi menggunakan jas. Sekarang ia terlihat hanya sekitar dua atau tiga tahun diatas Maaya.
“Kalau begitu aku panggil itu saja ya.”
“Mulai sekarang shift-mu akan lumayan berkurang Maaya.”
“Oh ya? Kalo gitu aku harus berterima kasih padamu dong...Gladi.”
“Ucapan terima kasihnya saya terima.” Gladi tertawa kecil.
“Yasudah kalau begitu, Maaya, tadinya tante mau mulai ngajarin dasarnya ke Gladi, tapi kamu aja ya yang ambil alih.”
“Oke deh.”
Seperti biasa manajer selalu mendorong kewajibannya kepada orang lain. Tapi karena sepertinya ada sesuatu yang penting kali ini, Maaya memaafkannya.
Mungkin dia akan pergi ke rumah sakit. Yah memang sudah seharusnya sih.
Mata Maaya dan Gladi masih terkunci pada pintu yang baru saja tertutup sebelum akhirnya Maaya membuka percakapan. “Tadi manajer ngasih tau apa aja?”
“Cuma jadwal dan, yah seputar itu saja.”
“Oh ya? yah dia memang bilang sih baru mau mulai dasarnya.” Maaya akhirnya menaruh tasnya di meja kasir. “Di sini kasirnya, tapi ini mah kamu juga sudah tahu ya kan?”
Gladi hanya tersenyum hambar.
“Kalau begitu…”
Tangan dengan dua gelang buatan sendiri masuk kedalam tas rajut yang Maaya bawa. Mulut yang tadinya ingin mengucapkan kata-kata tertutup kembali. Sebaliknya, Maaya menarik keluar appron yang sama dengan yang digunakan Gladi.
Apa saja yang harus aku ajarkan?
Saat ia mulai mengalungkan appron itu di tengkuknya, ia mengintip sedikit ke arah Gladi dari balik poni rambutnya.
Gladi ternyata tidak memperhatikan Maaya. Ia memalingkan pandangannya ke arah lantai. Hal ini justru membuat Maaya sadar akan pipinya yang memerah. Berbalik dengan canggung, Maaya menyimpul tali apron-nya di belakang pinggang— yang malah membuat ia semakin sadar diri dengan apa yang sedang ia kerjakan. Maaya kemudian buru-buru mengikat rambutnya sebelum menghadap lagi ke arah Gladi.
“Ehem— yah, sebenarnya nggak terlalu banyak yang dilakukan disini. Pertama waktu pagi...kalo kamu dapet shift pagi kita perlu nyiapin bunga, manajer nge-restock bunga kita setiap pagi soalnya. Yang nurunin dari mobil orang-orang dari workshop sih. Nanti kita ambil bunga yang udah habis dari sana. Ngomong-ngomong kamu di sini part time?”
“Sebenernya bakal full time sih.”
“Uh oh, bisa-bisa bakal disuruh bantu nurunin bunga nanti. Selamat ya.”
“Memangnya berat ya?”
“Capeeek, karena mungkin aku cewek sih ya. Pertama-tama, pastinya nurunin bunga dari mobil. Nanti kalau udah di bongkar semua, bunganya dibersihin dari duri...kelopak yang mati, di cuci terus di potong ulang...kita juga perlu nyiapin ember sendiri buat nyuci, terus abis itu di masukin ke pendingin bunga.”
Gladi membuat wajah yang seperti menahan ‘oh!’. Mengingatkan Maaya dengan waktu pertama dia tiba di sini. Maaya menahan tawa melihatnya, membuat perutnya sedikit geli yang akhirnya senyum muncul di wajahnya.
“Kita, juga gitu di sini. Nyiapin bunga waktu pagi. Walaupun cuma...motong ulang, ganti air dari vas, mencabut daun sama kelopak yang mati. Oh iya, nanti kamu juga bakal sering menyapu lantai. Entah kenapa lantainya bakal cepet penuh sama serpihan dari bunga.”
“Sepertinya perlu aku catat deh, tunggu sebentar.” Gladi mengeluarkan smartphone berwarna biru metalic dari saku celananya.
“Hmmm!” Maaya mengangguk penuh arti kemudian, “eh, nggak usah. Aku udah pernah buat catetan. Pake punyaku aja.” dia membuka laci konter, mengeluarkan dari dalamnya sebuah notebook biru muda yang ia miliki sejak mulai bekerja di sini. Maaya pun menyerahkan buku catatan itu kepada Gladi.
“Ini, tulisannya mungkin agak susah dibaca sih.”
“Oh. Trims.” Gladi menerima notebook itu, melihat-lihat isinya sebelum Maaya mencuri perhatiannya lagi.
“Oke deh aku kasih penjelasan singkat dulu. Setelah itu nanti kita mulai praktek.”
“Oke.” Gladi menutup notebook di tangannya sambil mengangguk pada kata-kata Maaya.
“Ummm...selain menyiapkan bunga. Kita juga harus membuat karangan. Bersih-bersih, membuat catatan— administrasi kerjaan selama sehari. Terus...udah itu aja.”
“Benar pendek.”
“Hmmm! Haha, nanti aku jelasin detailnya satu-satu.”
Kursi yang Maaya duduki membuat bunyi decit ketika ia berdiri darinya. Ia mengangkat jari telunjuk, seperti seorang guru yang sedang mengajarkan anak muridnya.
“Yang pertama...menyiapkan bunga!” ia memimpin Gladi ke sisi kiri toko, karena tidak ada kaca disini seperti di sebelah timur toko ia sering bercanda dengan menyebutnya sisi gelap toko.
“Memotong ulang, mengganti air, mencabut daun dan kelopak yang mati, kan?”
“Yup, hebat juga ingatanmu Gladi. Kita mulai dari bunga chrysanthemum ini. Baru datang banyak bulan ini.” Maaya mengangkat satu vas chrysanthemum kemudian membawanya menuju pintu belakang toko. “Kamu ambil satu juga Gladi.”
“Okey.”
DRRRRRT——!
Sebelum gladi bisa mengangkat vas dengan kelopak berwarna kuning itu, langkahnya terhenti oleh suara getaran dari sakunya. Sepertinya ada panggilan masuk pada smartphone-nya. Deringnya mengisi ruangan selama beberapa detik sebelum akhirnya suara musik klasik kembali mengambil alih.
“Nggak perlu diangkat?”
“Tidak, paling juga tidak penting.”
“Hmmm.” Maaya lanjut keluar melalui pintu belakang yang terletak di sisi gelap toko, teringat akan panggilan tak terjawab yang ia sendiri miliki.
Mau bagaimana lagi. Memang begitu orang bekerja.
Tepat di samping pintu, ada kran air untuk mencuci dan mengisi ulang air dari vas. Maaya dan Gladi berjongkok di depannya, “kita ambil dulu bunganya, taruh aja di samping. Air dari vas dibuang, kita ganti dengan yang baru, nanti juga perlu dicampur makanan bunga, tapi nanti aja. Yah— aku lupa bawa pisau potong!”
Dengan cepat Maaya kembali ke dalam ruangan sebelum beberapa detik kemudian muncul lagi dari balik pintu. “Kita potong ulang tangkainya pakai ini.” ia kembali mengambil posisi di sebelah kanan Gladi. “Kalau pakai gunting nanti tangkainya rusak soalnya. Kita potong miring, empat puluh lima derajat-an lah.”
Cekatan mungkin adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan Maaya sewaktu ia memberikan contoh kepada Gladi. Belum ada satu menit dan dia sudah memotong ulang semua bunga dari vas yang ia bawa.
“Gak banyak kelopak keringnya, langsung di cabut aja.”
“Hmmm okey.”
“Mencabut kelopak dan daun yang kering gak hanya untuk mempercantik tampilan, tapi juga agar bunganya bisa terus mekar.”
Lima menit mereka menangani vas itu sebelum beralih ke vas selanjutnya. Lantunan musik klasik dan pertanyaan yang sesekali muncul dari Gladi menemani pekerjaan Maaya. Tangannya tidak berhenti, juga otaknya yang terus memproses apa saja yang telah ia pelajari selama bekerja disini setahun terakhir. Ia menanyakan kepada dirinya sendiri pukul berapa sekarang, hari apa ini. Apa yang harus ia lakukan setelah ini.
Terlalu banyak hal yang harus ia pikirkan. Terlalu banyak hal yang harus ia kerjakan.
Ketika Maaya menarik nafas, dadanya dipenuhi dengan wangi manis bunga yang memenuhi penjuru toko. Temponya melambat, matanya yang sedari tadi tegang melemah. Hela nafas keluar dari mulut kecilnya.
Selain dari bayarannya yang membuat ia bisa hidup mandiri, Maaya menyukai bagaimana ia berkesempatan untuk membuat karangan bunga di tempat ini. Ia juga menghargai suasana tenang ruangannya, yang dari waktu ke waktu membuat ia menipu diri sendiri untuk melupakan masalahnya.
***
Waktu adalah satu-satunya hal yang gadis itu takuti. Dengan cepatnya dia berlalu. Bagaimana ia tidak dapat dihentikan, meninggalkan siapapun yang tidak siap di belakang.
Tanpa ia sadari, langit sudah menggelap. Tanpa ia perlu berharap, lonceng pada jam dinding sudah berdenting kali ke-enam. Kembali hanya mengenakan kemeja putihnya, Maaya meninggalkan tempat kerja dimana dia menghabiskan kebanyakan waktunya sebagai mahasiswi tahun kedua.
Satu setengah tahun lalu tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa ia akan bekerja paruh waktu di pinggir kota seperti ini. Tetapi sejak ia memulai kehidupan kuliahnya, menengadah pada langit berbintang sudah menjadi hal yang biasa bagi Maaya.
Tangannya menggenggam erat tali tasnya— tas rajutan tangan yang sudah menemaninya sejak bertahun-tahun lalu. Dia hanya bisa melakukan hal itu sambil memaksa kakinya melangkah menuju keinginannya. Pikiran tentang berhenti tidak pernah terlintas dalam benaknya. Tidak sekalipun. Bahkan sedetikpun.
Seperti yang diharapkan, langit pada awal musim hujan hari itu terlihat cerah. Bahkan terlalu cerah di tepi kota tanpa pencemaran cahaya ini. Malam disini sangat damai pikirnya. Hanya ada suara alam dan langkah kakinya yang bisa ia dengar. Sebenarnya kesunyian itu terkadang membuat dia agak cemas. Untungnya malam ini suara lain menemani langkah kakinya selagi ia menuju kepada tempat pemberhentian bus yang letaknya lima menit dari toko bunga.
“Kamu turun di CGH juga Gladi?”
“Iya, apartemen ku cuma beda jalan.”
“Eh, bukannya apartemen disana mahal-mahal ya?” suara kaget Maaya memberi warna baru pada gelapnya malam.
“Yah, tentunya aku masih ada hutang.”
“Ooooh— memangnya sebelum ini kamu kerja apa?”
“Cuma public service biasa.”
“Hmmm...kalau tempatku dekat universitas. Lebih enak begitu sih.”
“Setuju, dulu aku juga seperti itu.” gladi tampak tersenyum melihat ke dalam ingatannya.
Tangan kanan Maaya mencoba menahan tawa, namun tetap lepas dari mulutnya saat ia mengembalikan pandangan kepada jalanan yang penuh dengan warna malam, “Mungkin kebanyakan orang seperti itu.”
Ini kali pertama ia berjalan dengan seseorang setelah selesai dengan kerja paruh waktunya. Sungguh perasaan yang menyenangkan. Ia juga berharap kalau berjalan seperti ini bisa menjadi hal rutin setiap kali ia selesai shift malam. Karena, ketika ia tenggelam dalam pembicaraan seperti ini, dia bisa melupakan hal-hal sepele yang selalu mengganggu pikirannya. Begitu pikirnya, begitulah yang ia percaya. Yang ia inginkan untuk terjadi.
Sayangnya, dalam kenyataan, dia tidak bisa berhenti memikirkan semua hal yang terjadi dalam hidupnya.
Mungkin aku harus menanyakannya.
Satu hal, hanya satu hal saja. Cukup dengan menyelesaikan satu dari sekian banyak hal yang ia pikirkan akan meringankan bebannya. Meringankan dari yang seharusnya.
Tapi bagaimana jika malah menambah masalah?
Benar. Dia tersadar kembali bahwa sebagian besar masalah yang dihadapi adalah sesuatu di luar kekuasaan nya. Tidak sekarang, dia butuh persiapan lebih. Kalau tidak situasinya akan bertambah buruk.
Mungkinkah aku harus membiarkan mereka berdua menyelesaikan urusan mereka? Ya, sepertinya itu lebih baik.
Gladi hanya terdiam, memasukkan tangan yang dihiasi arloji putih ke dalam saku celananya. Hanya membuat suara langkah sepatu pantofel di antara suara sepatu kets.
Mereka tiba di bus stop. Satu-satunya tempat dengan penerangan selain lampu jalan. Di belakangnya adalah taman gelap yang sudah tidak berpenghuni. Namun karena kali ini Maaya tidak sendirian, ia tidak merasa khawatir dengan taman kosong itu.
Keduanya sudah duduk dan menunggu beberapa menit. Tidak lama lagi sebelum bus setengah delapan tiba di hadapan mereka. Selagi masih menunggu, gladi yang sedari tadi menjadi penjawab di sesi tanya jawab— perbincangan mereka selama ini, akhirnya menyuarakan pertanyaan.
“Temanmu... Freesia. Bagaimana kabarnya?”
Mendengar nama itu disebut, jantung Maaya serasa meletup. Tidak tahu harus mengatakan apa, Maaya memutuskan untuk mengatakan kebohongan. “Baik-baik saja kok dia.”
“Benarkah?”
Maaya tidak perlu melihat ke arah Gladi untuk dapat tahu bagaimana ekspresi wajahnya sekarang. Ya, pasti seperti hari-hari lalu dimana ia datang sebagai pelanggan sambil mengenakan jas hitamnya.
“Kalau mau...besok kita bisa menjenguknya.” jawabnya dengan senyuman.
“...”
Setelah mengucapkan ajakan itu baru Maaya bertanya pada diri sendiri, hari apa besok?
Kalau hari ini selasa berarti besok rabu kan? Kalau hari ini aku ada dua pertemuan kelas ekonomi berarti besok rabu kan? Kalau setelah ini aku ada les menjahit berarti besok rabu kan? Rabu berarti aku tidak ada kelas pagi, aku akan ada shift sampai tengah hari, ya, setelah itu kita bisa ke rumah sakit.
Maaya tidak sadar bahwa dari samping, mata biru Gladi memperhatikan gerak-geriknya. Masih tenggelam dalam pikirannya, sorot cahaya dan suara mesin bus yang datang membuatnya mengangkat pandangannya.
“Mari kita jenguk dia besok.” tangan Gladi meraih ke arah Maaya. Seperti ingin mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Memang benar, wajah yang ia tampilkan tidak seperti yang dibayangkan Maaya.
Maaya tersenyum kecil, mengangguk, “hmmm...ayo.”
Ia menerima tangan Gladi yang membantunya berdiri untuk melanjutkan harinya yang masih panjang.
***