Hue and Flowers

Zaki Sulaiman
Chapter #3

White Tulip

Kelopak Pertama

Tetesan air mematuk atap pick-up putih tanpa henti. Decit wiper pada kaca depan seakan seperti memberi peringatan tentang waktu yang terus berjalan. Seorang laki-laki mengemudikan mobil di antara dinginnya hujan.

Laki-laki itu berhenti di depan bangunan berwarna merah tua. Ia tahu sepenuhnya bahwa tidak seharusnya ia berhenti di depan pintu. Tetapi karena Laki-laki itu yakin hanya akan berhenti sebentar saja, ia keluar dari mobil dan berlari kecil untuk menghindari hujan. 

Memasuki bangunan tersebut, suara bell, diikuti lantunan tenang musik klasik menyambutnya. Menghirup udara kering ruangan mengisi paru-parunya dengan manis bunga. Semua hal itu mendorongnya menyuarakan keluhan yang ia pendam.

“Geh— hujan-hujan begini harus mengantar bunga. Aku harusnya bisa enak-enakan istirahat minum kopi sambil main dengan anakku.”

Tidak ada yang menjawab keluhan itu. Mengintip kebalik rimbun bunga potong, hanya ada satu orang selain dia di ruangan.

“Huh, cuma kau Gladi?”

Berseberangan dari pintu masuk adalah rak yang berpajangkan berbagai bentuk pot dan jenis vas, perlengkapan berkebun, dan beberapa rangkaian bunga kering. Barang jualan yang berfungsi sebagai hiasan itu tentunya harus dibersihkan setiap hari, itu sebabnya laki-laki itu memaklumi penjaga toko yang tidak menoleh sama sekali ketika namanya dipanggil.

“Pak Thomas? Sayangnya iya. Freesia sudah naik lagi ke kamarnya beberapa menit lalu. Maaya...shiftnya baru mulai siang nanti.” seperti sudah mengetahui kedatangan Thomas sebelum pintu itu dibuka, ia menjawab sambil tetap mengerjakan salah satu ritual paginya.

“Oh? Free sudah cukup kuat untuk main di sini?”

“...Daripada kuat, mungkin dia terlalu bosan hanya tidur-tiduran di kamar.”

“Yah, memang anak seumuran dia harus banyak main di luar. Dengan keluarga atau paling tidak temannya. Sayang sekali dia tidak terlalu sering melakukannya sekarang.” Thomas memijat lehernya yang sebenarnya tidak kaku, mendekat ke arah konter kasir kemudian menyandarkan berat tubuhnya pada meja itu, siku kiri menopang pada permukaan gelap kaca.

“Kalau kau nanti punya anak jangan pelit-pelit untuk mengajaknya main.”

Di belakangnya Gladi tertawa seperti berkata ‘tidak akan terjadi’. Memang laki-laki seumuran Gladi biasa berpikiran memapankan karir terlebih dahulu sebelum mereka menikah. Ia pun dulu seperti itu.

“Tetapi menurut saya memang Freesia bukan tipe yg suka kegiatan luar.”

Sekali lagi Thomas memijat bagian belakang lehernya. “Kalau anak itu, memang kondisinya sedang tidak baik. Tapi dua tiga tahun lalu kami sering piknik bersama. Bahkan terkadang dia yang mengajak duluan.”

“Sebelum dia di diagnosis?”

“Begitulah.”

“Oh ya?” Gladi mengangkat wajahnya dan menatap langit-langit, “Aku tidak bisa membayangkan.”

“Tidak perlu dibayangkan.” berhenti bersandar pada meja konter, Thomas mengambil gelas kertas dan kopi sachet yang ada di pojokan konter itu. “Kau mau kopi?” menawarkan kepada Gladi sambil mengisi gelas dengan air dari pemanas otomatis.

“Tidak, saya tidak bisa minum kopi.”

“Oh.” 

Air yang tadinya hanya berupa tetesan-tetesan jarum jam kini turun seperti butiran kelereng. Percakapan mereka terhenti karena suara hujan yang semakin deras.

“Ya ampun. Tambah deras? Aku jadi harus memindahkan mobilkan.”

“Selalu seperti ini beberapa hari terakhir,” Gladi akhirnya memalingkan pandangannya dari vas yang ia lap bersih, mengintip ke luar kaca depan toko. Tepatnya memastikan apakah hujan itu cukup deras untuk dia harus memasukkan pot dari luar. “Dan lagi Bapak memang harus memindahkan mobil. Parkir di situ menghalangi pelanggan.”

“Kau jangan ngingetin aku Gladi!”

“Ah...maaf kalau begitu.” ia mengeluarkan ucapan maaf yang paling tidak terdengar seperti ucapan maaf.

“Ya sudahlah, bantu aku memindahkan mobil ke bengkel, sekalian nanti bantu angkat karangan bunga juga.” Thomas menarik dari saku jeans biru nya sebuah kunci dengan gantungan bintang berwarna merah. Menunjukkannya kepada Gladi.

Yang dimaksud dengan bengkel adalah tempat dimana pengrajin toko membuat karangan-karangan bunga besar seperti papan bunga atau standing flower. Nama resmi yang diberikan oleh pemilik toko untuk tempat itu adalah workshop, tetapi bagaimanapun juga, Thomas hanya bisa melihat tempat itu sebagai bengkel.

“Huh, tidak apa meninggalkan toko tanpa dijaga?”

“Gak apa, sebentar aja kok. Lagian hujan seperti ini gak akan ada yang datang juga. Lalu...kau jarang ke bengkel kan? Aku tidak pernah liat kau di sana. Berbaur lah sedikit dengan orang-orang.”

“Karena memang tugas saya di sini...dan lagi saya selalu ke workshop untuk mengambil bunga baru. Bapak saja yang tidak ada waktu aku ke sana.”

“Oh ya? Baguslah, ayo cepat.” Thomas melemparkan kunci pick-upnya kepada Gladi.

“...”

“Aku langsung kesana saja ya.” Tanpa basa-basi lain Thomas keluar melalui pintu belakang toko. Meninggalkan kopinya yang tidak tersentuh.

Jarak dari toko menuju ke bengkel tidak terlalu jauh. Thomas bahkan tidak perlu berjalan sampai satu menit. Memang jalannya sedikit menanjak, tetapi bukan karena itu Thomas mendecakkan lidahnya.

“Huuuft...Gelap sekali.”

Thomas berlari menuju lindungan bengkel. Setiap kali ia melompat, air yang menggenang membasahi sepatu boots dan celana jeansnya lebih dalam.

“Hadeeeh basah kuyup sudah.” ia melepas jaket denimnya. Mengibas-ngibaskan jaket dibawah atap bengkel, Gladi dengan pick-up-nya berhenti di sampingnya. Tadi dia memutuskan terkena hujan lebih baik karena seharian nanti akan dia habiskan duduk dalam mobil itu. Setelah basah dan kedinginan, dia berubah pikiran. Thomas merasa sedikit bodoh karena tidak ikut naik. 

“Ini Pak.”

“Trimakasih-trimakasih.” dengan tawa lantang Thomas menangkap kembali kunci mobil yang dilemparkan Gladi. 

Workshop yang selalu ramai dengan orang pada tanggal tertentu kali ini terlihat sepi. Di tempat ini lah jantung toko berada. Mulai dari tempat penyimpanan stok bunga dan barang jualan sampai mobil pengantar ada di sini. Beberapa karangan besar terlihat selesai dan siap antar di sayap kiri bengkel, seseorang berdiri di depannya menoleh mendengar tawa keras Thomas. 

“Thomas, Gladi, waktu yang tepat. Karangan ini sudah bisa diantar. Bantu aku mengangkatnya.”

Orang yang tiba-tiba memerintah mereka adalah pemilik toko bunga ‘Hue and Flowers’. Cahaya redup bengkel memperlihatkan seorang pria seumuran dengan thomas. Di saat istrinya fokus pada toko depan, dia bertanggung jawab atas semua pekerjaan di bengkel.

“Ke atas pick-up yang baru saja saya parkir?”

Mendengar itu, Thomas melempar tatapan ‘kamu kenapa mengadu?!’ kepada Gladi.

“Bukan thomas yang barusan memarkir? Hei, apa yang kamu pikirkan menyuruh penjaga toko!” sang pemilik toko memarahi Thomas, tetapi karena wajahnya yang terlihat lebih muda dari umurnya, seperti biasa dia tidak dianggap serius.

“Hah? Santai saja bos, tidak akan ada juga yang datang dengan hujan sederas ini.” 

Setelah mengatakan itu suara hujan yang tadinya hanya menempati bagian belakang kepala thomas maju ke depan kesadarannya.

“Tidak semua orang benci hujan sepertimu. Ya sudah lah, Gladi, bantu bapak satu ini mengangkat pesanan ke pick-up.” pemilik toko itu menunjuk tiga rangkaian bunga di belakangnya.

“Oi, oi, bos, kau tidak ikutan mengangkat?”

“Aku mau mengambil bunga lain yang akan kau antar setelah ini. Donatur terbesar kita pasang pesanan...Nanti aku bantu.”

“Ooh, oke deh.” thomas yang tadinya mau mencibir mengurungkan niatnya. Mengembalikan fokus kepada pekerjaan yang harus diselesaikan, ia menatap Gladi. “Barang ini tidak terlalu berat, kau angkat satu dulu.” katanya seperti sedang memberikan tanggung jawab dan kepercayaan besar.

“Bapak satu ini tidak membantu mengangkat?”

“Haha, tidak! Asal kau tahu saja, perlu orang di atas sini untuk menata barang.” dengan gerakan tidak seperti orang berkepala empat, Thomas melompat ke atas pick-up. “Semakin cepat kita mengurus barang ini, semakin cepat aku pulang. Ayo jangan buang waktu!”

Seperti seorang anak yang mengiyakan orangtuanya supaya mereka diam, Gladi mengangkat stand bunga dan mengopernya kepada Thomas.

“Bapak kenapa tidak suka hujan?”

“Huh? Kata siapa?” Thomas menerima stand bunga itu.

“Tadi manager bilang.”

“Susah mengemudi waktu hujan. Mataku sudah tidak seawas dirimu.”

“Cuma karena itu?”

“Memang perlu alasan lain? Tidak semua-mua yang ada di dunia ini perlu alasan anak muda. Memang kau punya alasan kenapa tanya itu ke aku?”

“Tidak. Sudah kebiasaan dari pekerjaan lamaku saja.”

Tidak kan? Ngomong-ngomong kebiasaan macam apa itu? Dulu kau konsultan?”

...Semacam.”

“Hmmm...kenapa berhenti? Biasanya pekerjaan seperti itu dibayar mahal.”

“Ceritanya panjang.” Gladi kembali mengangkat papan bunga yang akan dikirim, “singkatnya—tidak—ada lagi—alasan bekerja di tempat itu...” ia terlihat kesulitan mengangkatnya sendirian.

“Lemah sekali kau!” ejek Thomas. “Dulu sebelum bekerja disini aku juga sempat kerja kantoran. Kena phk karena waktu itu ekonomi dunia runtuh jadi mau gimana lagi. Untungnya si bos menawarkan kerja disini.”

“Toko ini bisa bertahan?”

“Hmmm ya, waktu itu kami ada donatur...sampai sekarang sih.” Thomas melirik kearah bosnya yang sedang mempersiapkan bunga potong dengan anak buahnya yang lain. Sepertinya tumpukan yang disitu pun sudah siap diangkat.

“Donatur?”

“Iya donatur. Tidak semua bisnis berjalan tanpa bantuan orang lain. Oh iya, kadang mereka datang langsung ke toko. Mungkin kamu belum bertemu tapi kalau datang kau pasti langsung tahu.” 

Thomas tidak tahu apa yang sedang dibayangkan Gladi saat ini, tapi sepertinya apapun itu jauh dari yang ia maksud.

“Gladi yang itu jangan dulu.” pemilik toko menghentikan Gladi yang hendak mengambil rangkaian ketiga. “Angkut yang ini saja. Kau juga Thom.”

“Siap bos.”

Tidak perlu waktu lama untuk para pekerja toko menaikkan semua pesanan. Bak pick-up putih itu kini penuh dengan berbagai macam bunga dan sudah beratapkan terpal hitam. Sedikit rasa puas muncul pada wajah Thomas.

“Oi, bos, yang ini sudah bisa pergi?”

“Tunggu…” bos mereka terlihat memeriksa handphone, di belakangnya berdiri sebuah stand bunga yang tadi ia tahan, “Ah sudahlah, kau berangkat saja Thomas.” sepertinya dia menyerah untuk menunggu suatu hal. Hal seperti itu sering terjadi ketika pelanggan tidak terlalu jelas soal pesanannya. Apapun itu, Thomas sedikit merasa senang karena tidak harus menambah daftar alamat yang harus ia kunjungi setelah ini.

“Oh iya,” pemilik toko melihat ke arah Gladi seolah mendapatkan suatu ilham, “Kamu belum pernah mengantar bunga kan Gladi?”

“Eh— belum pak.”

“Thom, ajak anak ini juga.” Manager memukulkan daftar ekspedisi kepada Gladi.

“Hah?” “Bagaimana dengan toko pak?” Tanggap Thomas dan Gladi.

“Tidak apa, biar istriku yang jaga. Dia terlalu menganggur hari-hari ini. Haha— Lagian benar kata Thomas tadi, hujan deras seperti ini kemungkinan tidak ada pelanggan datang.”

“Ngapain ngajak bocah ini? Aku mau makan siang di rumah setelah mengantar nanti.”

“Ya sudah ajak dia pulang bersama mu.” sang pemilik toko mengeluarkan tawa yang hanya bisa dikeluarkan seorang atasan.

Thomas dan Gladi saling bertukar pandang, merasa dipermainkan oleh bos mereka.

***

Kelopak Kedua

“Sudah ketuk lagi saja.”

“...Selamat pagi!”

Dua laki-laki terlihat menggunakan jas hujan bening. Genangan kecil menumpuk pada lantai tempat mereka berdiri, menunggu balasan dari balik pintu. Dengan ragu, salah satu dari mereka kembali mengetuk pintu coklat sebuah apartemen.

Setelah ketukan ke-empat barulah akhirnya seorang perempuan muncul dari dalam. Wajahnya dengan jelas mengatakan bahwa Thomas dan Gladi tidak diterima di sana.

“Pagi...ada apa ya?”

“Selamat pagi, kami memiliki karangan bunga—”

“Maaf saya tidak berminat.”

Gladi terkejut dengan jawaban perempuan itu, ia kembali mencocokan alamat yang tertera pada papan di samping pintu dengan alamat pada catatannya. Di belakang Gladi, Thomas membalik badan agar tawanya tidak terlihat. 

“Tidak ada lagi? Kalau tidak terima kasih.” penghuni apartemen itu menutup pintu.

“Ah..” Gladi yang sudah selesai mengkonfirmasi kebenaran alamatnya kembali mengetuk—

[Saya tidak berminat pak.] dari dalam keluar jawaban sebelum Gladi sempat berkata apa-apa.

“Kak, kami ada karangan bunga untuk anda.”

[Saya tidak minat beli, ya ampun berapa kali saya harus bilang?]

“Kak! Bunga ini tidak perlu dibeli! ini kiriman, dari seseorang untuk alamat ini.”

Beberapa saat kemudian pintu kembali terbuka. “Kiriman?” wajah dingin penghuni apartemen itu memerah.

“Ben—”

“Kamu seharusnya bilang dari tadi.”

“...Benar, saya mohon maaf. Ini karangan bunga untuk anda. Kalau boleh bisa saya minta tanda tangan anda di sini?”

“Ada lagi?”

“Sudah cukup, terima kasih banyak atas kerjasama anda. Semoga hari anda menyenangkan.” Gladi tersenyum lebar yang kemudian dibalas dengan anggukan. Penerima bunga itu pun menutup pintunya perlahan.

Thomas sudah menghilang dari belakang Gladi, kali ini dia sembunyi di balik tangga agar ledakan tawanya tidak terdengar. “Untung saja bukan aku yang mengantar.”

“Ugh...baru sekali mengantar saya langsung paham kenapa bapak seperti ini.”

“Tidak semua orang seperti itu—” thomas mencoba meredakan tawanya, “kau saja yang lagi sial Gladi. Tadi kan sudah aku contohkan, coba ulang kembali apa yang aku ajarkan.”

“Senyum, salam, sapa...”

“Daaan…”

“Penerima bunga adalah raja.”

“Benar. Setelah ini coba pasang muka yang lebih ramah dan semangat.”

“Aku tidak paham sama sekali.” Gladi mengecek wajahnya pada kaca “Memang wajahku separah itu?” hanya ekspresi protes terhadap ajaran Thomas yang tercermin.

Menepuk pundak Gladi, Thomas kemudian memberi petuah “Setiap orang punya persoalan masing-masing. Kita hanya bisa memberi bunga dan berharap yang terbaik untuk penerima. Lagian yang tadi itu bukan yang terburuk yang bisa terjadi.”

“Ada yang lebih buruk?”

“Hmmm!” Thomas mengangguk dalam, pada saat itu juga ia merasa terkoneksi dengan Maaya yang sering mengangguk seperti itu. “Berdoa saja kita tidak menemukan yang ku maksud hari ini.”

“Semoga saja.”

“Setelah ini kemana?”

“Tunggu,” Gladi mengecek daftar pesanannya, “Ke donatur?”

Setelah kembali ke pick-up mereka, Gladi menunjukkan daftar pesanan yang harus mereka kirim. Ada satu pesanan yang terdiri dari dua puluh lebih barang. “Hmmm kalau ke rumah dik Shinta terakhir saja kali ya.”

“Shinta?”

“Temannya Freesia. Dia donatur kita.”

“Anak kecil?.”

“Orangtuanya. Pesanan yang itu kita antar terakhir saja tidak masalah. Kita antar yang lain dulu. Aku sudah hafal jalan kota ini, jadi kau saja lagi yang nyetir.”

“Saya tidak paham dengan logika itu.” tetapi gladi tetap pasrah mengambil alih posisi pengemudi.

“Jangan malas-malas, waktu muda ini waktunya kau bekerja mati-matian.”

“Ugh...okey.” Gladi menyalakan mesin dan mulai menjalankan pick-up putih itu ke tempat selanjutnya. 

“Yah, tadi aku bilang terakhir, tetapi hanya dua tempat lain yang perlu dikunjungi.”

“Oh ya?” Gladi terlihat sama sekali tidak tertarik.

“Kau tidak baca catatan ini?” Thomas mengibas-ngibaskan catatan ekspedisi ke wajah Gladi.

“Sejujurnya tidak, Pak.”

“Hah...berani juga kau bilang jujur seperti itu.” menarik kembali catatan itu, Thomas kali ini membacanya dengan seksama. Seperti seorang pelatih olahraga yang sedang membuat taktik; ia bergumam kepada dirinya sendiri.

Hmm...yang ini paling lambat sore, yang ini...Loh ini kan ke tempat si kakek itu, ini mah diantar sekarang saja. Lalu balik arah ke rumah Shinta. Kalau begini, siang aku benar-benar bisa pulang.

“Kita kearah Dago sekarang, kau tahu?”

“Tahu pak.”

“Tidak perlu aku tunjukkan berarti ya.”

“Tidak perlu, bapak istirahat saja.”

“Bisa saja kau, mengejek ya!” Thomas melempar pukulan pada lengan Gladi.  

“Sedikit.”

“Kau tidak pernah olahraga, Di?”

Komentar itu Thomas keluarkan setelah menyadari lengan Gladi yang ia pukul barusan terasa kurus untuk laki-laki umurnya. “Push-up lah sekali dua kali, atau bantu kami mengangkat papan bunga di bengkel! Haha! Atau kamu bisa ikut ibu-ibu senam.”

“Aah...saya tidak cocok dengan kegiatan yang banyak bergerak.” Gladi membalas sambil tetap fokus menyetir.

“Wah, sayang sekali. Kunci awet muda padahal itu. Orang panjang umur itu bukan yang paling banyak olahraga, tapi yang paling banyak bergerak.”

Gladi melepaskan tawa kecil, “Saya pernah dengar hal semacam itu. Lalu, kenapa bapak tidak ikutan senam ibu-ibu?”

Lihat selengkapnya