Hue and Flowers

Zaki Sulaiman
Chapter #4

Morning Glory

Kelopak Pertama

Gelap. Abu-abu gelap, mewarnai langit. Awan badai membentang dari semua penjuru mata angin. Kilat putih berkelebat. Bergemuruh. 

Tidak ada seorang pun yang cukup bodoh untuk pergi keluar dengan cuaca seperti itu. Tidak kecuali diriku sendiri, pikir seorang gadis yang tengah berjalan sendiri di jalan kosong. Sesekali gadis itu menghentikan langkahnya. Dua kali. Tiga kali. Sampai gadis itu berhenti menghitung karena sambaran petir memaksanya bergegas. Akhirnya dia sampai kepada perhentian pertamanya.

Papan yang seharusnya memberi informasi apakah tempat itu masih melayani tidak bisa diandalkan karena angin terus membolak-balikkan posisinya. Angin juga hampir-hampir menerbangkan tubuh gadis itu, jika dia tidak segera berpegangan pada gagang pintu ia yakin itu yang akan terjadi. Yang membuat ia terkejut adalah pintu itu terbuka tanpa ia memutar gagang tersebut—

Seorang pria yang jauh lebih tinggi darinya muncul dari dalam, sepertinya dialah yang membuka pintu itu. Dari pakaian yang ia kenakan— kombinasi kemeja dan apron, juga sarung tangan bernoda— gadis itu berasumsi bahwa pria itulah yang menjalankan tempat ini.

“Selamat datang.” pria itu memberi ruang untuk masuk.

“.....Terima…kasih...permisi.” suaranya tidaklah lebih besar dari terpaan angin pada sekeliling mereka, tetapi gadis itu yakin itu sudah cukup, gadis itu pun masuk ke dalam sebuah toko.

Pintu di belakangnya tertutup, tampaknya pria itu memang ingin keluar, bukan membukakan pintu untuknya. Sebelum si gadis dapat secara penuh memahami posisinya, ia disambut oleh suara lain.

“Selamat sore!”

Suara itu sangatlah cerah dibandingkan dengan cuaca hari itu. Sungguh tidak cocok. Si gadis bukannya tidak menyukai suara penuh semangat seperti itu, tetapi sering kali dia tidak bisa mengikuti tempo para pemilik suara riang.

Benar saja, melihat ke arah sumber suara, ia disambut dengan senyum hangat. Membalas senyuman itu sungguh akan sangat melelahkan. Gadis itu memutuskan bahwa anggukan sudah lebih dari cukup.

Saat ia memberi anggukan kepada penjaga toko, si gadis menyadari adanya tatapan lain yang mengarah padanya. Pemiliknya adalah seorang anak perempuan yang jelas terlihat lebih muda darinya, walaupun dia yakin hanya beberapa tahun saja. Yang membuat dia bingung adalah mengapa tatapan itu tidak seramah penjaga toko lainnya, malah bisa dibilang terlihat tidak menerima kedatangan gadis itu—

Apa ada yang salah dengan ku?

Tetapi gadis itu sudah terbiasa menerima pandangan mata dingin diarahkan untuknya. Pandangan mata menyalahkan dirinya yang bahkan tidak bergerak satu senti pun.

“...huft…” gadis itu bergeser menutupi dirinya ke balik pot yang bertumpuk dari pandangan para penjaga toko. Yang mana pun, kedua penjaga itu membuat dirinya merasa tidak nyaman.

Bergeser sampai ke sisi kaca depan toko, gelapnya sore itu membuatnya sedikit bergidik. Dia sedikit bersyukur bisa sampai di tempat itu sebelum hujan benar-benar turun, walaupun penampilannya sedikit menjadi korban cuaca buruk di luar.

Ia merapikan jaket parka hijau toscanya. Merapikan rok, stocking hitam dengan ketebalan delapan puluh persen. Lalu merapikan rambut hitam panjangnya yang sudah tidak karuan. Ia sedikit melihat kedalam memorinya tadi siang. Seingatnya dia mengenakan topi kupluk rajut, entah sejak kapan dia kehilangan benda itu dari kepalanya. Tetapi dia tidak bisa menyalahkan angin ribut karena kesalahan ada pada dirinya yang teledor, atau ingatannya yang memang keliru.

Setelah berkali-kali mengecek kaca, memperbaiki kantung matanya dan akhirnya yakin bahwa dia berpenampilan layak, gadis itu berbalik menghadap ke dalam toko, kedua tangan menarik kuat tali tas sampai ke atas punggungnya. Sekarang pikirannya dipenuhi dengan suatu jenis bunga. Ia menoleh ke kanan dan kiri, sepertinya toko itu meletakkan bunga berdasarkan warna mekarnya. Dengan di sebelah kanannya berjajar bunga berwarna dingin, di sebelah kiri warna hangat, dan bagian tengah toko warna di antara keduanya.

Sebuah kemudahan baginya, karena yang gadis itu ingat dari bunga yang ia cari hanyalah warna kelopaknya. Tidak bentuk, tidak pula wanginya. Dia mengetahui nama bunga itu, tetapi meminta bantuan kepada penjaga toko adalah pilihan terakhir. Untuk itu, dia bergeser ke bagian kanan, dimana bunga mekar dengan dinginnya.

Memeriksa satu persatu dari kelopak yang bermekaran sambil mengingat-ngingat bunga itu, tanpa sadar dia sudah berada di ujung deretan pot. Gadis itu melirik ke balik punggungnya, sepertinya para penjaga toko tidak memperdulikan dia sama sekali. Menghela nafas dan memejamkan mata, gadis itu kembali mencoba mengingat bunga itu—

...Violet.

Warna violet yang sangat dalam. Ya, mekarnya seperti terompet kecil, dengan cincin warna putih pada bagian tengahnya— morning glory. Dia yakin seharusnya berada di sekitar sini, di antara jajaran bunga bercorak sama. Tetapi setelah beberapa kali meneliti dari ujung ke ujung, dia mulai berpikir bahwa sebuah studio bunga mungkin tidak menjual bunga seperti itu. Karena bagaimanapun juga bunga itu tidak semewah bunga lainnya di sini, seperti mawar atau hibiscus.

Entah sudah berapa lama dia berdiri di bagian timur toko itu, dia tidak tahu. Telapak tangannya mulai berkeringat tanpa sebab. Perutnya sedikit mual. Dia memutuskan untuk berbalik dan memeriksa bagian tengah toko.

Tampaknya kedua penjaga toko mulai memperhatikan aku.

Helaan keluar dari mulutnya. Ia tidak punya pilihan lain selain berpura-pura mengamati bagian toko tersebut. Tetapi bagian tengah dari toko hanya memiliki pot dan vas dengan bunga berwarna biru muda dan hijau muda.

Melihat keluar toko, kegelapan total memakan langit detik demi detik. Dia harus segera menyelesaikan urusannya disini, kalau tidak, mustahil dia akan bisa pergi ke tempat itu hari ini. Akan bohong kalau gadis itu bilang dia tidak mempertimbangkan untuk pulang begitu saja. Sayangnya— 

Petir mewarnai dunia dalam putih. Selanjutnya—— suara yang memecahkan bumi.

Dag—! Dag—! Dag—!

Jantungnya berdetak sangat keras sampai-sampai sakit rasanya. Dia bahkan bisa dengan jelas mendengar detak jantung dalam dadanya. Sangat jelas mengalahkan teriakan para penjaga toko yang kaget di belakang konter.

Cahaya hilang dari toko itu. Lima detik setelahnya, suara hujan berguyur dengan deras, seperti semua air yang ada pada langit turun secara bersamaan. Dunia benar-benar ditelan kegelapan.

Dimana hape-ku?

Flash—! Salah satu penjaga toko menyalakan lampu sorot pada smartphonenya. “Waduh gimana nih Free. Ada lilin gak?”

“Aku ambil di dalem dulu kak...pinjem hapenya bentar.”

“Eeh— cepet yaa!”

Flash—! Gadis itu juga menyalakan flashlight pada smartphone-nya.

“Ah, terimakasih kak.” Si penjaga toko yang ditinggal rekan nya berterima kasih. Gadis itu berpikir sejenak, apa yang harus dia lakukan. Kerongkongannya bergerak dari menelan ludah, nafasnya serasa terhambat, kakinya yang mati rasa dia langkahkan kepada penjaga toko itu.

Setelah berhadapan dengan penjaga toko, gadis itu membuka mulutnya. Kedua bibirnya bergetar, tetapi tidak ada suara yang mereka lepaskan. Kalau saja lampu masih menerangi ruangan toko, dia tentu akan malu dengan gelagatnya sekarang. Karena itu dia sedikit bersyukur si penjaga toko tidak bisa melihat betapa bodoh wajahnya saat ini.

“Maaf ya kak, kami tidak ada generator di toko, jadi terpaksa harus gelap-gelapan. Tapi sebentar lagi rekan saya akan menyalakan lilin kok.”

Si gadis menggelengkan kepalanya, mensinyalkan bahwa dia tidak merasa keberatan. Sayangnya penjaga toko sama sekali tidak mengetahui dia melakukan itu. Menyuarakannya akan terlalu merepotkan, si gadis memilih untuk tetap diam.

Klak—!

Terdengar suara pintu terbuka, bersamaan dengannya suara hujan membanjiri ruangan. Suara itu menghilang setelah pintu ditutup kembali.

“Gladi?”

“Ya...Maaya, bisa tolong ambilkan handuk? Aku benar-benar basah kuyup.”

“Ahh bentar jangan gerak ya nanti lantainya—”

Klak! Sekali lagi suara pintu terbuka, kali ini muncul dari balik pintu seorang anak perempuan membawa cahaya hangat lilin di tangannya. Sepertinya di tangannya yang lain ia juga membawa sepotong handuk. Seperti sudah mengetahui bahwa seseorang akan membutuhkannya. Ia meletakkan lilin yang menyala di konter dan beberapa persediaan lilin, melewati gadis yang hanya memperhatikan saja, berjalan menjemput rekannya yang tidak bisa bergerak karena basah sekujur tubuhnya.

“Kak Gladi, kamu mandi dulu saja. Ini handuk sama pakaian ayah, bisa kak Gladi pakai.”

“...baiklah, aku pinjam kamar mandinya ya, Freesia.”

Diriku kemudian berjalan ke arah gadis yang dia acuhkan selama ini. Dalam gelap pun, si gadis tetap merasa tidak nyaman dengan tatapan yang anak perempuan itu tujukan padanya. Anak perempuan yang dipanggil Freesia itu menoleh kepada sang gadis. 

“Sepertinya hujannya tidak akan berhenti dalam waktu dekat kak. Kakak bisa menunggu sampai reda dan listrik kembali menyala. Kalau sampai malam enggak nyala juga, kita ada kamar untuk tamu kok.”

Huuft...Baik sekali. Jam pada smartphone-nya sudah hampir berada pada angka tujuh. Mungkin karena mati lampu, tidak ada sinyal yang tertangkap smartphone-nya. Pulang sekarang tentu sama saja dengan bunuh diri, tentu dia tidak sebodoh itu.

...Tetapi menginap di sini. 

Memikirkan kalau dia akan tidur di tempat asing membuat gadis itu gatal sekujur tubuh.

“Mm...Makasi…” gadis itu berdeham karena suaranya lebih kecil dari yang dia perkirakan, “aku tunggu sampai sedikit reda.”

“Baik.” 

Cahaya oranye dari lilin sedikit demi sedikit merambat ke seluruh ruangan. Ketika cahaya itu menyentuh kakinya, gadis itu menengadah untuk melihat kembali sekelilingnya. Sepertinya si penjaga toko yang dipanggil Maaya selesai menyalakan lilin di berbagai penjuru toko. Hasilnya kali ini dia dapat melihat dengan jelas bayangannya sendiri di setiap dinding kaca. Ia menyembunyikan wajahnya lebih dalam ke leher jaket parkanya.

“Sepertinya kakak tidak menemukan bunga yang dicari disini?” Diriku bertanya.

“...”

“Bukannya kakak sudah punya gambaran bunganya?”

“Iya...morning glory, ada?”

“Hmmm...morning glory ya. haha.”

Si gadis mengernyit. Memang ada yang salah dengan bunga itu? Lalu apa yang membuat dia sampai ditertawakan? “Ada?”

“Mereka dinamakan morning glory bukan tanpa alasan.” anak perempuan bernama Freesia menghampiri sisi toko dimana bunga berwarna ungu dipajang. “Ini morning glory kita.”

Telapak kecil menunjukkan dahan yang merambat pada batang bambu secara tidak teratur. Bunga berwarna ungu, seperti payung tertutup, menggantung lemas. “Mereka seperti ini kalau sudah malam.”

Sungguh sebuah bunga yang menyedihkan untuk dipandang. Rapuh, seakan-akan dapat hancur dengan satu sentuhan paling lembut. Bunga yang ada di hadapannya sangat jauh dari apa yang ia ingat. Tetapi dia memakluminya. Terlalu banyak ingatan yang sudah ia coba hapus dari otaknya. Mungkin bunga ini salah satunya.

Dengan tangan mengepal dalam kantong jaket, gadis itu berkata. “Bisa aku pesan bouquet dari bunga ini?”

“Ahhh..kami cuma bisa mendapatkan mereka dalam keadaan mekar di pagi hari. Mereka sudah gugur sekarang.” yang menjawab pertanyaannya kali ini adalah Maaya. Selesai mendistribusikan lilin, ia kembali menempatkan diri di belakang konter.

“Tidak apa, seperti ini.”

“Eh—”

Bahkan lebih baik seperti ini.

“Atau kalian tidak bisa menjualnya kalau bentuknya seperti ini?”

“Bukannya kami gak bisa, tapi aku pikir karangan bunganya tidak akan seindah seharusnya. Kalau mau, kakak bisa lihat di katalog—”

“Tidak apa.”

“Hmm?”

“...Tidak apa walaupun seperti itu.” walaupun suaranya kecil dan dia tidak menatap penjaga toko itu secara langsung, gadis itu yakin jika dia sudah dengan jelas menyampaikan keinginannya. 

Berapa kali harus aku ulangi?

Lihat selengkapnya