Kelopak Pertama
“Kenapa kamu melakukan hal itu?”
Dingin, kasar dan tak berperasaan. Baru saja ditinggalkan seseorang dengan warna langit saat matahari terbenam, suara itu membekukan seisi ruangan.
Mendengar suara itu, anak perempuan dengan mata yang dapat melihat segalanya bergetar ketakutan. Tubuhnya membeku. Di dalam tubuh itu, jantungnya yang terhimpit terasa menyakitkan, memperpendek nafasnya.
Anak perempuan itu memaksakan senyuman seraya menoleh ke samping kanannya, dimana matanya mendapati sebuah warna yang sangat hina. Dengan senyum itu, ia menunggu kata-kata lain disuarakan.
“Apa yang akan terjadi jika Maaya memutuskan untuk tetap berbohong?
“Daripada melakukan hal itu, bukannya lebih baik dirimu melakukan apa yang benar-benar kamu inginkan?”
Merasa tersakiti oleh kritik tersebut, kerut muncul pada dahi si anak perempuan.
“Kak Gladi, kamu salah dengan satu hal itu. Aku memang ingin melakukannya, ini aku sedang memaksakan kehendakku—” wajahnya yang selalu pucat kini mengambil warna bola matanya, merah seperti bunga kering, “ —AKU—” tanpa ia sadari, suaranya mengalahkan iringan musik dalam ruangan. Ia terkejut dengan suaranya sendiri, tetapi— “AKU INGIN MELAKUKAN APAPUN YANG AKU BISA!”
“Tidak, aku tahu bukan itu maumu. Bukan itu harapanmu. Karena yang kita inginkan tidak jauh berbeda, aku yakin kamu sudah menyadarinya, bukan? Kita ini,” pria pemilik warna menjijikkan itu berangkat dari tempatnya, berjalan menuju suatu bunga berwarna biru. Ia mengambil satu tangkai yang memiliki dua mekar, “bunga dari tangkai yang sama.”
Matanya menunjukkan kelembutan, bibirnya membentuk senyuman ramah. Kemeja hitam tanpa tenaga, mata yang tidak melihat masa yang sama dengan orang lain. Warna yang memohon pertolongan.
Tidak...aku berbeda dengan mu!
***
“Apa yang kamu pikirkan tentang mereka?”
Di depan pintu sebuah toko bunga, suara seorang anak perempuan memberikan corak baru.
Anak perempuan dengan kulit sepucat marmer putih itu menyandarkan punggungnya pada pintu, menahan seorang pria masuk ke dalam toko. Suara lantunan musik klasik yang diputar di dalam tidak sampai kepada telinga mereka, begitu pula dengan suara riang dua gadis yang sedang bersenda gurau. Yang ada hanyalah suara sesak dadanya yang menarik dan menghembuskan nafas.
Pria yang kepadanya ia tujukan pertanyaan tadi, masih menempatkan pandangannya pada mobil yang sudah tidak terlihat.
“Apa mereka mengingatkanmu pada dirimu sendiri?” si anak perempuan kembali bertanya.
Pria itu membersihkan celemeknya dari sisa-sisa pekerjaan merangkai tulip putih. Wajahnya tak berekspresi, siapapun yang melihatnya tidak akan tahu apa yang sedang berjalan dalam pikirannya.
“Tidak juga.” seperti terpaksa, pria itu akhirnya menjawab.
“Lalu kenapa kamu memasang wajah sedih seperti itu?”
Tangan pria itu berhenti selama tiga detik penuh sebelum kembali dengan urusannya, “Kenapa kamu tidak coba tebak saja? Sepertinya kamu bisa melihat ke dalam pikiran orang.”
“Pikiran ya…” si anak perempuan tersenyum menghina. “Mana ada orang yang bisa melakukan hal itu.” katanya, tetapi kedua matanya mencoba melakukan hal tersebut.
“Lalu, apa yang kamu lihat dengan mata itu?”
“Hmmm...apa ya? Kan sudah aku bilang kakak keliatan sedih," ia berkata, tidak lagi menyandarkan punggung pada pintu, “Kalau kakak memang berpikir kita ini sama—” tangannya mengepal, “kenapa kakak tidak coba tebak juga?”
“Itu yang membedakan kita berdua, aku yakin aku tidak punya kewajiban untuk melakukannya.”
“Hahahaha!”
Memangnya aku punya?
…
Sialan.
***
“Kenapa kamu meninggalkan ruangan toko?”
Cahaya dari lilin memberikan kehangatan pada ruangan. Meski begitu, warna kedua orang didalamnya tidak tersentuh sedikitpun dari nyala oranye hangat itu. Salah satu diantara mereka meringkuk dalam selimut membelakangi cahaya. Sementara yang satu lagi duduk menghadap jendela dimana cahaya tidak dapat masuk.
“Kenapa kamu tidak mengatakan apapun tadi?” tangan besar yang terlihat kehilangan sedikit ototnya mencoba menjaga lilin tetap menyala. Tetapi karena jendela tertutup tidak membiarkan angin masuk, yang ia lakukan terlihat seperti mencari kehangatan dari nyala oranye itu.
“Apapun?” yang menjawab pertanyaan itu adalah seorang anak perempuan yang berlindung di dalam selimut. Dengannya, ia memejamkan mata dari warna di sekitarnya.
“...”
“Contohnya?”
“Aku tidak tahu, mungkin seperti yang kamu lakukan setiap kali kamu menemukan hal yang kamu tidak suka.”
Anak perempuan itu meringkuk lebih dalam, kedua tangannya memeluk kaki sambil giginya menggigit bibir pucatnya. Diamnya seperti sebuah nada pada piano, pelan namun tajam, menggetarkan hati pendengar.
“Aku tidak tahu.”
“kamu yakin?”
Anak perempuan itu benar-benar merasa kalau kakinya bergerak sendiri waktu itu, meninggalkan ruangan yang menyesakkan dadanya, kembali dalam kenyamanan ruangan yang ia sangat familiar.
“Yah, aku sudah melakukan hal yang seharusnya kamu lakukan, jadi kamu tidak perlu memikirkannya.”
“Kamu melakukan hal yang tidak diperlukan, kak.”
“...Kalau begitu anggap saja yang aku lakukan tidak lebih dari menjual bunga. Jika itu membuatmu merasa lebih baik.”
Mau bagaimana lagi?
Aku takut, kau tahu!
Aku takut semua orang akan mengutukku setelah aku pergi.
***
Kelopak Kedua
Gelap.
Mataku terbuka setelah mimpi yang sangat lama.
Hal pertama yang kurasakan adalah dinginnya bagian bawah tubuhku— sepertinya selimutku kembali berpikir bahwa lantai lebih membutuhkannya. Kerongkonganku kasar, pandanganku juga masih kabur. Mataku tidak bisa membaca dengan jelas pukul berapa sekarang, tetapi sepertinya lebih siang dari waktu bangunku yang biasa.
Sekali lagi, pagi yang baru tiba. Tidak ada perasaan lain selain terbebani dengan kenyataan bahwa hari ini pun, harus berusaha sekuat tenaga untuk dapat tetap hidup. Sangat melelahkan, jika mengambil kata-kata dari gadis dengan morning glory itu. Tidak ada yang tahu apa yang telah ia lewati selama ini. Tetapi cara hidup kami kuyakini tidak jauh berbeda.
Bibirku sakit dari gigitanku sendiri. Selimut kulempar ke lantai—
Sepasang mata merah menatap cermin. Seorang anak perempuan dengan seragam putih abu-abu melihat ke arahku.
Sudah lama rasanya tidak mengenakan seragam ini. Sejujurnya sedikit aneh melihatnya. Merapikan rambut, poniku ternyata sudah kepanjangan sampai mengenai mata. Memangnya terakhir potong rambut kapan? Sudah lupa.
Satu, dua, tiga langkah mundur kebelakang, keseluruhan anak itu terlihat. Kantung mata yang gelap. Wajah pucat dan badan kurus. Bagaimanapun melihatnya, itu adalah sosok orang yang tidak sehat. Sebenarnya tidak ada yang mengharuskanku untuk pergi, tetapi pagi ini moodku sedang jelek.
Mengenakan jaket parasut. Memastikan payung lipat sudah kumasukkan ke dalam tas. Kakiku melangkah meninggalkan ruangan dan bangunan itu.
Perjalanan ke sekolah sungguh melelahkan. Ya, setelah memaksa kedua orangtuaku, akhirnya mereka mengizinkanku untuk berjalan sendiri. Walaupun sebenarnya saat ini apapun yang kuminta pasti akan dituruti. Haha.
Mendaki jalan ini setiap pagi memang merepotkan. Apalagi di cuaca dingin seperti ini. Benar-benar dingin. Sepertinya meliburkan diri selama beberapa minggu membuatku terlalu terbiasa dengan suhu ruangan, sampai-sampai dengan jaket parasut tebal ini pun, kedua tanganku tergulung agar tidak mati beku. Tahu begini minta diantar saja, huft— tapi karena hampir semua murid di SMA-ku berjalan kaki ke sekolah, dingin ini tidak terasa begitu memberatkan.
Hela nafasku berubah putih bertemu dengan udara— membantu menutupi pandanganku dari jalan yang harus kutempuh.
‘Iya, tidak apa-apa kok.’
‘Maaf ya membuatmu khawatir.’
‘Cuma istirahat saja, sudah baikan sekarang.’
Sejak pagi, hanya omong kosong itu yang keluar dari mulutku sebelum akhirnya terselamatkan oleh bel jam pelajaran pertama. Mendengarkan pelajaran adalah hal terakhir yang ingin kulakukan, tidak ada artinya juga saat ini. Karena itu meminta izin untuk pergi ke ruang UKS adalah pilihan terbaik. Tentu saja diizinkan, penampilanku tidak memancarkan energi positif sama sekali. Tetapi pergi ke ruang UKS tidak ada bedanya dengan berdiam diri di kamar, atau di rumah sakit. Akhirnya langkah tanpa tujuan ini membawaku berkeliling sekolah.
Bunga aster yang bermekaran di pinggiran kelas dan hydrangea yang tersebar di jalan setapak sudah tidak dapat dilihat lagi. Karena lapangan mungkin becek akibat hujan, teriakan anak-anak yang mendapatkan jadwal olahraga juga tidak terdengar. Sesampainya di lapangan, entah ide siapa tetapi lapangan tanah kami yang biasa digunakan untuk pelajaran olahraga, kini berubah menjadi paving merah.
Langkahku terhenti di bawah salah satu pohon. Seharusnya tidak ada yang menyadari jika ada orang yang duduk di situ, sepertinya beristirahat di sini adalah pilihan yang tepat.
November… Desember… Januari—
November, Desember, Januari...“Sudah hampir tiga bulan?”
Selama tiga bulan ini sekolah sudah banyak berubah, sayangnya langit pagi ini pun tetap mendung.
Mataku tertuju pada kelompok murid yang sedang duduk mendengarkan guru olah raga. Setengah dari mereka mendengarkan, setengah lainnya sama sekali tidak peduli. Ada yang ingin ceramah itu segera berakhir. Ada yang ingin pergi ke toilet tetapi tidak berani mengatakannya. Ada yang memikirkan pacarnya. Ada yang memikirkan makan siang, pr yang belum dikerjakan, dompet yang ketinggalan. Sungguh, corak dan warna anak SMA terlalu bervariasi.
Mencoba mencuri dengar apa yang dikatakan guru olahraga itu dari tempatku menonton, kesadaranku sedikit demi sedikit menghilang terhembus angin pagi.
Satu, dua...kepalaku tertunduk. Tiga, empat—
“Free.”
Seseorang memanggilku—
Kepalaku yang tadinya terasa sangat berat langsung terangkat. Kesadaranku kembali.
“Shinta?” teman sekelasku muncul dari lorong. Rambutnya yang panjang berkepak karena larinya.
“Kamu ngapain? Disuruh manggil aku ya?”
“Tidak kok, saya izin ke kamar kecil sebentar.” Dengan warna musim semi, senyuman Shinta kepadaku begitu hangat. Ternyata ada juga yang benar-benar mengkhawatirkanku diantara teman-teman kelas.
“Hooo...terus kamu ngapain bawa buku kalau cuma mau ke toilet?”
“Ini?” Dia mengeluarkan buku seukuran telapak tangan dari kantung bajunya. Tidak ada yang tahu buku apa itu dan mengapa ukurannya sekecil itu, tetapi temanku yang satu ini cinta betul dengan cerita fiksi, taruhan buku itu pasti novel.
“Untuk jaga-jaga saja.”
“Jaga-jaga?” sepertinya memang tujuannya bukan pergi ke toilet. Siapa sangka gadis seperti dia bisa juga punya keberanian untuk membolos. Mungkin karena itu tidak akan ada yang curiga kalau dia ikutan bolos.
Mengambil duduk disampingku tanpa perlu izin, Shinta menjawab pertanyaanku sambil melihat ke arah murid-murid yang mulai bermain voli. “Saya kira Free tidur di UKS. Jadi Saya bawa buku ini daripada saya tidak melakukan apa-apa.”
“Jadi memang sudah niat bolos? Nakal juga kamu Shinta!”
Shinta melempar tawa yang menyegarkan, “Ahaha, tidak ya! Ini pertama kalinya Saya bolos seperti ini Free.” wajahnya yang polos dan tulus sungguh mencerminkan status sosialnya.
“Yah, sejujurnya saya bersyukur tidak jadi membaca buku ini.”
“Kamu yakin Shin? Bukannya di rumah susah untuk baca novel?”
“Sedikit,” Shinta mengangguk, matanya yang lembut menatap ke dalam memori tentang rumahnya, “Tetapi setelah selesai dengan latihan-latihan di rumah, saya bebas melakukan apa saja kok.”
Apa yang dilakukan anak konglomerat seperti dia di rumah? Pastinya sesuatu yang orang biasa tidak bisa bayangkan. “Terus, kamu baca apa hari ini?”
“Ini,” Shinta menunjukkan cover novel yang berukuran buku saku itu padaku. Cover itu berilustrasikan seorang gadis yang melihat ke arah pemandangan selepas jembatan, ditemani seorang laki-laki yang membaca buku.
“Boleh aku lihat?”
Shinta memberikan novelnya dan kuterima dengan tangan kanan. Membaca sinopsisnya, sudah kuduga sebuah cerita cinta. Menonton drama dan membaca novel bukanlah hal yang kulakukan. Musik yang kudengarkan pun musik tanpa lirik. Hal percintaan dan semua tentang itu, adalah suatu misteri untukku.
Pernah sekali kucoba membaca. Novel yang sangat populer diantara teman kelasku waktu di SMP. Tetapi semua kata-kata bersinar dan puitis yang mereka torehkan dalam cerita, terdengar sangat asing. Terkoneksi dengannya sangat tidak mungkin. Orang lain dapat merasakan hal yang dirasakan para karakter dalam novel itu? Aneh sekali.
“Yup, tidak pernah dengar.”
“Benarkah? Sepertinya Free harus mulai mencoba membaca buku. Yang satu ini lumayan terkenal loh, bahkan di kalangan non-antusias.”
“Aku juga baca buku ya!”
“Ensiklopedia, kan!” dengan suara yang sangat ramah Shinta menggodaku.
“Y— ya. Itu juga menarik, tahu...” novelnya segera kukembalikan agar dia berhenti memandangku dengan mata polosnya.
“Tidak jadi baca ini?”
“Nggak deh, Shin.”
“Free terlalu memikirkan sesuatu sih.”
“Ha? Pertama kali dengar hal itu. Lagian apa hubungannya dengan membaca novel?” memangnya orang lain tidak berpikir waktu membaca?
“Tentunya ada. Kalau terlalu menganalisis isi novel, kita akan kehilangan keseruannya nanti.”
“Kamu bisa menganalisis novel?!”
“Saya sering melakukannya,” Shinta menunduk kecil seakan merasa bersalah atas perbuatannya itu, senyum tetap menghiasi bibirnya. Kebiasaan Shinta yang dari waktu ke waktu menatap ke luar jendela, apakah saat itu dia sedang menganalisis novel? Kupikir dia sedang terharu dengan cerita yang dia baca.
“Aku jadi merasa terkhianati.”
“Uhn..Jangan menatap saya seperti itu...saya jadi seperti orang aneh rasanya.”
“Enggak kok, tenang aja.” yang lebih aneh sudah sering kujumpai di toko.
Pelanggan kemarin muncul di pikiranku. Tanpa sadar wajahku mencerminkan isi hatiku. Entah seperti apa wajahku yang ketakutan ini, tapi itu membuat Shinta menanyakan keadaanku.
“Kamu baik-baik saja Free?”
“Cuma sedikit kedinginan. Kayaknya udah kebiasaan di dalem selimut selama bolos sekolah. Hehe.”
“Benar juga, kamu kenapa di sini bukannya ke UKS?”
“Kenapa baru tanya sekarang?” dia memang sedikit unik, “ruang UKS bikin ingat rumah sakit. Bukan sesuatu yang enak sejujurnya.”
Kita berdua terus melanjutkan perbincangan tidak penting yang sudah lama tidak kita lakukan. Ketika kita tidak sedang sibuk dengan kesukaan masing masing, membaca atau mendengarkan musik, ini lah yang kita lakukan sepulang sekolah. Tanpa kusadari ternyata kami menikmatinya.
Sejujurnya terlihat jelas kalau ada hal yang ingin ia tanyakan dari tadi, seperti perasaan yang ia tidak coba katakan kepadaku sejak dulu.
Sudah menjadi tugasku untuk memberikan dorongan kepada orang lain supaya mereka bisa mengatakannya. Sudah menjadi tugasku, pemilik mata ini, untuk membantu mereka jujur terhadap diri sendiri.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Mendukungnya? Atau tetap membiarkannya?
Pelanggan kemarin sekali lagi muncul dalam benakku. Warnanya yang entah sudah berapa tahun seperti itu. Merah darah. Jika kubiarkan, apakah warna shinta terhadapku akan berubah seperti pelanggan kemarin?
“Shinta.”
“Ada apa free?”
“Bisa antarkan ke uks? agak pusing nih.”
“Boleh.” Sedikit pun tidak terlihat ragu atas perkataanku, shinta mengangguk dengan sopan seperti halnya dia yang meminta pertolongan.
Bibirku mengatup beberapa kali. Kata-kata yang seharusnya diucapkan sewaktu menerima bantuan, seperti selama ini, saat itu juga tidak bisa kuucapkan. Akhirnya yang kuberikan padanya hanyalah senyuman, semoga maksudku tersampaikan. Sayangnya kata-kata itu terus membebani pikiranku sampai kami tiba di ruang UKS.
Ruangan putih, dengan kasur putih. Tirai putih, meja dan berbagai peralatan putih. Sedikit mual melihat pemandangan ini. Padahal tempat seperti ini sudah tidak asing lagi bagiku. Tetapi, mungkin memang karena itu.
Tidak ada guru yang berjaga di ruang UKS saat itu, membuatku dapat langsung beristirahat di salah satu kasurnya. Sementara Shinta, dia tidak lantas kembali ke kelas. Pada kursi putih di bawah jendela, tempat guru kesehatan biasa menunggu, ia duduk lalu membuka novelnya. Tidak mengejutkan. Hal ini terjadi karena kehendakku. Lalu, setelah ini, apa yang kuinginkan untuk terjadi?
Warna bunga ceri Shinta tidak pernah berubah, juga biru samudera yang keduanya karena kebodohanku.
“Shin.”
“Hmm?” Shinta yang belum sempat membaca bahkan satu kata dari bukunya mengangkat wajah tanpa tanda keberatan sedikitpun. Ia menolehkan kepalanya ke arahku.
“Kapan-kapan main ke rumahku lagi ya. Mumpung lagi gak di rumah sakit.”
“...Sebenarnya kamu sakit apa Free?”
“...” bukan warna Shinta saat itu yang kupilih untuk kupandang, tetapi langit-langit putih yang asing. Sudah seperti ini belakangan, dan mungkin akan menjadi pemandangan permanen untukku. “Lupa nama ilmiahnya, tapi bisa dibilang aku gak bakal hidup lama. Ha-ha.”
Warna apa yang ia miliki saat ini? karena sudah memperhatikan gerak-gerik manusia sejak kecil warnanya terbayang tanpa perlu melihat.
“Jangan mengatakan hal seperti itu Free.” suara nasihat shinta mengisi ruangan kecil itu, “hidup dan mati, tidak ada yang tahu tentang hal itu. Jangan menyerah—”
“Dunia ini tidak seperti cerita fiksi Shin.” suaraku terdengar sedikit membentak. “Tidak ada yang namanya keajaiban. Dunia ini bekerja sesuai aturannya, dan dalam aturan itu, orang sepertiku tidak punya kesempatan lagi.”
“Dunia fiksi tidak semua punya keajaiban. Tidak juga mereka memerlukannya.”
“Oh tentu, tetapi...coba realistis sekarang. Bagaimanapun pikiranku tentang hal ini, tidak akan merubah fakta bahwa—” hidupku memang sudah terkutuk sejak kecil.