Hue and Flowers

Zaki Sulaiman
Chapter #1

Freesia

Kelopak Pertama

Cerah.

Sekelilingku bermandikan cahaya oranye. Seluruh daun, langit. Satu-satunya hal yang tidak terlukis dengan corak itu hanyalah perasaan-ku.

Diriku bukannya tidak suka dengan warna seperti ini, tetapi dibilang suka juga kurang pas. Warna yang hangat ini mengingatkanku terhadap memori yang secorak. Masa kecilku, boleh kukatakan, dipenuhi kehangatan seperti ini.

Bahagia tanpa perlu memikirkan apapun. Mungkin Diriku bisa seperti itu karena Diriku beranggapan tahu segalanya.

Tentang dunia ini.

Tentang seluruh warna yang menyelimutinya.

Menuntunku menuruni bukit kecil, helaan nafasku berubah putih tersentuh udara dingin. Sejenak kemudian menyatu dengan langit, bermandikan cahaya hangat. Diriku teringat akan suatu warna— 

Hanya dengan itu langkahku terhenti. Dadaku sempit karena udara tersendat di tenggorokan. Dengan meremas erat seragam putihku, Diriku kembali menuruni bukit. Setiap suara hentakan sepatuku pada anak tangga membantuku membuka kembali mataku.

Yang terlihat ketika Diriku kembali membukanya adalah dua tangan pucat yang gemetar. Diriku menyapu keringat dingin yang terkumpul di telapak tanganku pada rok abu-abu. Sayangnya perasaan ini tidak ikut hilang bersamanya. Perasaan berdosa ini.

Jika semudah itu, aku tidak perlu menuruni tangga ini sekarang.

Untuk kedua kalinya, nafasku menuntunku menuruni tangga pejalan kaki. Tetapi kali ini yang ada dibalik warna putih itu bukan lagi kehangatan. 

Suatu warna bergerak naik. Masih sama seperti terakhir kulihat, warnanya mengotori pakaian formalnya.

Hitam. Hanya satu hal yang memiliki rona saturasi pada dirinya— karangan bunga yang ia genggam hati-hati.

Setiap detik membawaku lebih dekat dengan warna itu. Setiap langkah kaki kami, menghilang kan corak lain pada pandanganku. Perasaan tak nyaman, luah, perasaan buruk, perasaan bersalah yang sejak tadi kucoba hilangkan, kembali.

Beberapa anak tangga lagi, hanya beberapa anak tangga yang memisahkan kita. Menyadari keberadaanku dia menoleh ke atas, mata birunya yang kosong menatapku—

Seketika Diriku dihantam gelombang air. Diriku terlontar ke dalam samudera.

Pekat. Gelap. Tidak ada cahaya yang bisa meraihku di dasar laut ini. Telingaku hancur. Arus dengan warna memuakkan itu terus menyeretku semakin dalam. Tak lagi bisa menahan nafas, Diriku membuka mulut. Bukan kelegaan yang Diriku dapati, kesesakan. Sesak. Warna itu mendesak masuk. Mencengkeram jantungku dengan cakar sedingin air beku.

Setiap kali Diriku membuka mulut, cengkraman itu menguat. Kepahitan memenuhi lidahku sampai seluruh isi tubuhku dipenuhi warna itu. Meraup udara dariku. Mencabik dan menggerogotiku dari dalam.

Tapi semua itu akan berhenti hari ini—

Di dalam kehampaan itu, dengan kerongkongan yang dipenuhi air Diriku memekikkan suara.

“—MAAF!”

Udara kembali mengisi paru-paruku. Diriku menghirup sebanyak mungkin sambil menahan diri agar tidak muntah. Warna yang tadinya ada dihadapanku menghilang, sepertinya dia sudah melewati anak tangga dimana Diriku berdiri. Diriku menyeka mataku yang berair kemudian berbalik— tas punggung berayun dan menghantam dinding bukit.

Tanpa mendesakku melanjutkan kalimatku, dia menatapku penuh pertanyaan.

“Ah anu...karangan bunganya bagus.” secara tidak sadar Diriku menyeka keringat dingin di wajahku.

Sepatu pantofel hitamnya turun satu langkah sehingga keduanya berada di anak tangga yang sama. Pandangannya jatuh pada apa yang ia genggam.

Karangan mawar biru. Terselimuti kertas putih dan tali makrame coklat. Kontras dengan penampilannya yang serba hitam.

“Iya.”

“Kalau boleh tau, beli dimana?” masih tidak bisa merubah posisi, Diriku melanjutkan. “Aku ingin beli tapi tidak tau tempatnya.”

Dibalik rambut hitam acak-acakannya, mata biru gelap memperhatikan gerak-gerikku; entah itu nafasku atau genggamanku pada tali tas punggung ini. Warna yang mengelilinginya bergetar sejenak sebelum kembali tenang.

Orang ini, caranya melihat orang lain...dia sudah seperti aku saja.

Seakan memiliki mata kita ini. 

Lima detik penuh berlalu tanpa suara sebelum akhirnya orang itu menjawab. “Ada satu toko dekat sini. Kalau dari sini ikuti saja jalan ke arah utara.”

“Hmmm...tokonya seperti apa ya?”

“Dia ada di persimpangan jalan. Depannya penuh dengan bunga, pasti akan langsung tahu kalau lihat.”

“Hooo…”

“...kalau tidak ada lagi, saya izin pamit.” senyuman muncul pada wajah orang itu, tetapi warna yang menutupinya berkata lain.

“Tunggu—!” Diriku hampir meraih tangannya yang sudah berbalik kepada tujuannya semula. Bagaimana pun itu, Diriku harus membuat dia berhenti.

“Aku tahu ada toko bunga di sekitar sini, tapi kemarin tidak ketemu waktu aku cari. Kalau boleh—” apapun itu, asalkan dia berhenti, “Bisa tolong antarkan aku kesana?”

Orang itu tampak berpikir sejenak. Dadanya yang tertutupi jas hitam menghela nafas pendek sebelum dia berbalik ke arahku. “Boleh.”

“...”

Ia mungkin memang menghela nafas seperti kerepotan barusan. Tapi yang terlihat di mataku adalah rasa lega. Seperti telah menantikan kata-kata itu dariku.

Suara angin mengusik pohon.

Aliran air dari sungai di kejauhan.

Gesekan daun yang terjatuh pada aspal.

Suara alam yang memenuhi sekeliling ini hanya sesekali saja diganggu oleh bunyi lainnya; desing kendaraan bermotor, denting bel pesepeda yang melintas. Walaupun ada dua bunyi buatan manusia yang selalu hadir.

Langkah kaki kami bersahutan pada aspal abu-abu, gelap oleh bekas hujan. Bahkan tidak ada suara perbincangan setelah kami memutuskan menuju ke toko tadi. Mungkin itu sebabnya ia berhenti ketika sebuah suara terselip dari bibirku.

“Ah...”

Berjalan di samping kananku, sedikit agak lebih depan, orang itu memiringkan kepalanya seperti bertanya ada apa.

“Enggak...tidak ada apa-apa.”

“Kalau begitu…” dia melanjutkan jalannya yang kemudian Diriku mengikuti.

Yang membuatku menyuarakan hal tadi adalah karena dia memilih melewati jalan kecil daripada jalan utama. 

Yah, aku yakin dia bukan orang sini. Kalau tidak mana mungkin lewat jalan berputar.

Setelah melewati beberapa rumah, pandangan kami terbuka luas. Yang menyambut kami adalah pemandangan seperti di dalam buku gambar. Suara lirih arus sungai yang sedari tadi menemani kami, kini terdengar lebih jelas. Tak luput juga wangi khasnya yang membuatku tersenyum dalam nostalgia.

Jembatan kayu yang sudah cukup tua terbentang kokoh, memberi akses menyebrangi sungai. Tanpa sadar langkah kami melambat sewaktu melewatinya. Mataku dipaksa membelalak pada langit sore yang terbentang. Pada sekeliling dengan rona emas. Pada gemerlap riak permukaan sungai dibawah kami. Rasa hangat menyisipi diriku. Membuatku yakin bahwa apa yang sedang kami alami adalah alasan kenapa orang disampingku memilih rute memutar ini.

“Indah.” sepatah kata tak sengaja kembali keluar dari mulutku, namun.

Pada kataku tersebut, orang disamping ku melihat ke sekeliling seperti halnya aku tadi. Matanya seharusnya melihat pemandangan yang sama denganku, tetapi di luar dugaanku wajahnya berubah sedih.

Ia mengecek jam di pergelangan kirinya. Seharusnya jam itu menunjukkan sekitar pukul empat, tapi yang bisa kudapati dari posisiku hanya retakan di kacanya. Melihat wajah yang seakan mengatakan ketidakmampuannya menyelamatkan sesuatu, Diriku berkata—

“Freesia.”

“...”

“Namaku Freesia.” ditengah-tengah suara alam, Diriku bisa dengan jelas mendengar bunyi detak jantungku sendiri. “Aku belum memperkenalkan diri.”

“Benar, aku juga.” dia melihat ke dalam memorinya sebelum melanjutkan, “...Namaku Gladiolus.”

Entah ini candaan atau sebuah ejekan, tapi Diriku hampir tertawa mendengar kebetulan ini. Diriku berhasil menahan tawa dan senyum masam begitu teringat pesan yang dibawakan gladioli. Hmph...Kita ikuti saja apa maunya.

“Senang berkenalan denganmu, kak Gladi.”

“Senang berkenalan denganmu juga, Freesia.”

Lima belas menit dari jembatan barulah wangi manis bunga tercium oleh kami. Pelakunya adalah sebuah toko bunga dan berbagai macam bunga yang dipamerkan di sisi luarnya. Tepat berada di pertigaan, tidak ada bangunan lain selain toko itu baik di kanan maupun di bagian kirinya. Membuat orang lewat dapat dengan jelas melihat taman bunga di belakang bangunan itu. Toko bunga Hue and Flowers.

Sayangnya Diriku masih belum bisa menurunkan rasa tegang yang membebani pundakku.

“Jadi, kak Gladi beli bunga nya disini?”

Dia hanya mengangguk kecil atas pertanyaan ku.

“Maaf sudah membuatmu mengantarkan aku sampai sini.”

Sekali lagi, dia mengangguk pada kata-kataku.

“Kalau begitu, aku mau lihat-lihat dulu di dalam.” Diriku menunjuk pada pintu yang disampingnya berdiri papan bertuliskan ‘help wanted’.

“Baik, saya juga izin pamit.”

“Tunggu—”

Diriku yakin sudah kehabisan kalimat untuk diucapkan. Tetapi Diriku tidak bisa tidak menghentikan dia. Yang jelas kata itu didesak keluar oleh warna yang sekali lagi muncul di sekeliling orang itu.

“Aku belum…berte…”

“...Tidak apa, tidak perlu sungkan.”

Jantungku meletup sesaat. Tangan, kaki, tengkuk, dan sekujur tubuhku mendadak kaku. Apa dia benar-benar bisa membaca pikiranku?

“...Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa lagi.”

“Iya. 

“Sampai jumpa lagi.”

***

“Haaahhh…”

Diriku menjatuhkan badan ke kasur sambil menghela nafas panjang-panjang. Dinginnya tempat tidurku mulai meresap ke badan yang hanya terlindungi piyama ini. Diriku bergidik, mulai merasa kedinginan karena punggungku terpapar langsung oleh AC.

“Aku capeeek—!”

Walaupun Diriku mengeluh keras sambil berguling di kasur, tidak ada yang menjawab rengekanku itu. Yah, mungkin mama dan ayah masih sibuk di workshop.

Hembusan nafasku pada langit-langit putih seperti menambah rasa lelahku. Perlahan, pandanganku menggelap.

Ahhh— jangan. Aku paling nggak harus makan dan minum obat, bisa dimarahin mama nanti.

Dingin— tidak ada hal lain yang kurasakan saat telapak kakiku bertemu dengan lantai kayu. Mengabaikan sensasi ini, Diriku menuju kepada satu-satunya jendela di kamarku. Membuka gordennya.

Malam begitu gelap di pinggir kota seperti ini. Diriku penasaran bagaimana penampakan di pusat kota Bandung, pemandangan di bawah sana. Tentunya masih terang dengan kehidupan. Dengan bunyi berdecit, Diriku menarik kursi meja belajar yang ada di bawah jendela lalu duduk.

Dihadapanku adalah bayangan samar bulan merah. Redup, bola itu tidak memantulkan cahaya sama sekali. Hanya kegelapan kosong berapa lama pun, seberapa dalam pun Diriku menatapnya. Diriku terpaksa menerima fakta bahwa bola yang menatapku itu adalah mataku sendiri. Merah gelap— yang entah bagaimana mengingatkanku pada beragam rona yang pernah ku saksikan dengannya.

Ini bukan kali pertamanya Diriku gelisah tentang suatu warna. Diriku dua-tiga tahun lalu malah dipenuhi dengan hal itu. Hari-hari kulewati takjub akan simpelnya dunia ini bekerja di mataku. Menjaga warna agar tetap sama, menggantinya agar yang lain tetap senang. Itu semua hanya perbuatan polos diri kecilku.

Karena Diriku tersadarkan betapa sia-sianya hal itu. Karena, bagaimanapun sederhananya dunia ini, selalu ada batas akan apa yang bisa seseorang lakukan dalam satu kehidupan. Sejak itulah Diriku menutup mataku, dari dunia, dari jutaan rona di dalamnya. Membiarkan mereka mengalir pada arus yang sudah takdir tetapkan.

Begitulah seharusnya—

Tetapi kali ini warna itu memberitahukan bahwa ini kesempatan terakhir. Bagiku, dan bagi orang dengan bunga biru itu.

Diriku tidak perlu bertanya. Tidak perlu melihat apa yang ia kenakan, atau apa yang ia genggam untuk tahu kemana dia akan pergi. Warnanya mengatakan semuanya padaku.

Diriku menarik nafas dalam-dalam dan menghelanya dengan kasar agar tidak muntah. Hanya membayangkan warna tadi saja membuatku seperti ini, keajaiban tadi aku bisa berjalan bersamanya. 

Diriku bergeser sedikit ke kiri dari meja belajarku. Menjalankan pemutar piringan hitam. Memenuhi ruangan dengan musik yang akan menyembuhkanku dari semua kejelekan dunia ini.

Hahh...Besok, aku akan menghentikan dia.

***

Kelopak Kedua

Pukul 15.00.

Jam pada dinding memberitahuku. Hampir semua orang di kelasku sudah pulang. Hanya beberapa yang masih terlihat melakukan kegiatan klub maupun ekstra kurikuler, atau hanya mengobrol santai dengan circle masing-masing.

Bosan melihat keluar jendela, Diriku menoleh kebelakang. Temanku terlihat sedang membaca buku dengan tenang. Diriku bukan penggemar novel dan sejenisnya jadi kurang tahu dengan apa yang sedang populer saat ini. Tapi Diriku yakin buku yang temanku baca adalah sesuatu yang bahkan guru bahasa tidak pernah dengar.

“Ada apa…?” temanku menutupi sebagian wajahnya dengan buku saat menyadari pandanganku. Percuma, yang ia lakukan tidak bisa menyembunyikan rona kelopak bunga cerinya dariku.

“Nggak kok.” Diriku menggelengkan kepala dan tersenyum kecil agar dia tidak merasa terganggu. “Cuma kepikiran lagi baca apa kamu.”

“Ini? tidak terlalu bagus kok.” dia menurunkan bukunya, kembali menunjukkan wajah tenang yang sejak kecil dididik untuk seperti itu.

“He...tumben bilang gak bagus.”

“Saya rasa saya selalu bilang seperti itu?”

“Nggak ya, biasanya kamu kalo ngomongin buku udah kayak nahan diri biar gak lompat, Shin.”

“Eeh! Tidak kok!” Shinta meninggikan suaranya sedikit, memajukan badannya ke arahku demi mendukung argumennya. Warna bunga cerinya semakin memerah.

Caranya membantah itu membuatku tertawa kecil. Melihatku seperti itu membuat Shinta ikut tertawa juga. Diriku tidak merasa aneh sama sekali dengan hal ini— dengan warnanya yang menusuk dadaku seperti jarum.

Tidak ada alasan mengapa Diriku masih membiarkan dia seperti itu. Padahal, mengabaikan dia dan warnanya hanya akan menyakiti kami lebih lama. Mungkin Diriku merasa nyaman dengan kehadirannya, mungkin juga Diriku penasaran mengapa teman masa kecilku bisa memiliki warna seperti itu terhadapku.

Warna seperti itu adalah hal yang wajar terlihat di semua sisi SMA-ku. Tapi warna itu, belum pernah hadir pada Diriku sendiri. Kurasa juga tidak perlu. Diriku juga tidak ingin.

Dan aku yakin tidak akan pernah bisa.

GRAAAAK—! kursiku terdorong ketika Diriku berdiri, mengisi kelas dengan suara lantang.

“Maaf Shin, aku lupa kalau ada kerjaan di rumah.”

“...Haah, saya kaget, saya kira ada apa, Free.” Shinta menghela nafas sambil menepuk pelan dadanya.

“Ah—haha… Maaf, maaf.” aku mencoba mengalihkan pandangan dari warnanya yang hangat itu.

“Yah, saya juga sudah mau pulang. Mau ikut?”

“Nggak deh, lain kali aja.”

“Baiklah.”

Kami mulai mengemasi barang. Diriku hanya perlu memasukkan kembali kedalam tas earphone dan audio player-ku, sedangkan Shinta bukunya.

“Sampai jumpa minggu depan.”

“Iya, hati-hati Shin.” kami bertukar lambaian tangan sebelum berpisah. Saat Shinta berbalik badan, aku menjumpai Diriku menghela nafas pada ronanya yang berubah menjadi gelap. Akhirnya Diriku juga mulai menggerakkan kakiku menuju gerbang belakang.

Jalanku yang berpaving-kan batu merah dihiasi oleh bunga aster di sisi kanan dan kirinya. Ada juga tulip kuning dan hydrangea, yang rasanya ingin ku petik, tersebar di taman belakang sekolah ini. Salah satu dari dua alasan mengapa Diriku memilih melewati jalan ini.

Alasan kedua adalah, walaupun Diriku sudah sengaja pulang lebih sore dari yang lain, masih banyak orang yang berkeliaran di bagian depan sekolah. Diriku tidak ingin melihat apa yang seharusnya tidak kulihat.

“Hahh...”

Sudah cukup, warna jelek itu sudah cukup jadi yang terakhir membebaniku.

Tapi dia kok terlambat ya. 

Padahal aku sudah mempersiapkan Diriku untuk mengakhiri semuanya hari ini. Biasanya kami selalu papasan di tangga bukit kecil dekat sekolahku tapi kali ini berapapun lamanya Diriku menunggu dia tidak datang juga.

Diriku menutup mataku yang sedari tadi mengikuti awan yang tak kunjung berlalu. Menghela nafas pelan dan menyerap wangi jalanan setelah hujan. Telingaku menangkap tetesan-tetesan kecil yang menangkup dedaunan di sekitarku.

Mungkin karena tadi sempat hujan jadi dia terlambat? Orang itu memang tidak pernah punya jadwal sih. Sebelumnya juga kami berpapasan sebulan sekali. Hanya beberapa minggu terakhir saja kami bertemu hampir setiap hari. 

Oh tentu Diriku berpikiran; baguslah kalau dia tidak pergi ke sana lagi. Namun dengan kondisinya saat ini, Diriku lebih khawatir akan apa yang terjadi padanya. Dan lagi ini adalah kota kecil, cepat atau lambat, apapun itu, kabar tentangnya akan terdengar ditelingaku.

Punggungku yang dari tadi bersandar pada dinding bukit yang basah mulai merasa kedinginan.

Apa aku terlambat?

Entah berapa lama Diriku menunggu disini. Langit mulai menghitam, hanya saja Diriku tidak tahu apakah itu karena hari sudah hampir malam atau karena awan hujan yang terus berkumpul. Diriku mengangkat tanganku, menutupi cahaya yang sedikit itu dari menggapaiku.

Mungkin sudah waktunya Diriku pulang? Apa ada artinya menunggu lebih lama dari ini?

Di tangan kiriku adalah setangkai hydrangea yang tadi kupetik. Bunga ini biasanya berhenti berbunga sekitar bulan oktober. Jika dilihat dari warna birunya, sepertinya tanah di sekolahku sedikit asam, paling tidak disekitar bunga ini ditanam.

Diriku mencabut satu kelopak...pulang...

Diriku mencabut kelopak kedua...tunggu...

Diriku mencabut kelopak ketiga...pulang...

Diriku berhenti...Bodoh sekali.

Diriku menarik nafas kemudian menghelanya. Menarik nafas lagi kemudian menghela lagi. Hal yang seharusnya bisa dilakukan dengan mudah ini, terasa sangat berat bagiku. Nafasku selalu tertahan setiap kali aku mengingat warnanya.

Diriku menarik nafas. Menarik, menarik, menarik, menarik sedalam-dalamnya—

—Hahh… sudahlah.

***

“Selamat datang~!”

Denting bell dan suara riang perempuan menyambutku ketika Diriku membuka pintu toko. Ruangan toko itu luas, bisa dibilang rapi walaupun dipenuhi deretan bunga dan perlengkapan taman. Lampu jingga juga berpijar dengan hangat, memberikan kesan damai dan aman padaku. Diriku menutup pintunya perlahan.

Jika dilihat dari pintu masuk, toko itu terbagi menjadi dua sisi. Pada tembok kanan dan kiri adalah susunan pot berisikan bunga potong, lalu yang memisahkan dua sisi itu adalah petak bunga indoor dengan corak dari kuning sampai hijau, berdiri memanjang mendindingi bagian tengah ruangan.

Diriku berjalan melalui sisi kanan toko. Kebetulan pada sisi ini hampir seluruh bagian tembok terbuat dari kaca. Sayangnya karena di luar sudah gelap, kaca itu hanya memberi gambar Diriku sendiri. Diriku menjentikkan jari pada salah satu bunga untuk mengalihkan perhatianku.

“Free? Tumben jam segini baru dateng?”

Suara riang itu datang dari balik konter. Seorang perempuan yang dari tadi bermain dengan rangkaian bunga matahari adalah pekerja paruh waktu disini. Rambut ponytail-nya dicat coklat terang, ditambah dengan kombinasi baju kuning dan apron hijau tosca membuatnya terlihat anggun namun juga sporty. Yah, walaupun sebenarnya Diriku juga tidak terlalu paham dengan model.

“Tadi keasikan ngobrol sama temen, kak. Hujan juga, jadi sekalian nunggu.”

“Huuuuu...aku khawatir tau. Harusnya kamu bilang kalo mau pulang jam segini. Manajer nanyain terus dari tadi. Padahal aku juga udah bilang paling nunggu hujan reda.”

“Maaf deh...tapi kak Maaya keliatan ‘cerah-cerah’ aja. Pasti ada sesuatu nih.”

“Hah, kelihatan ya?” dia tersenyum lembut. Tatapannya juga menjadi lebih ramah. Di bagian dadanya terpancar warna hangat seperti langit cerah pada sore hari. Udara segar menerpaku dengan lembut seperti sedang bermain di ladang gandum. Namun langit sore itu juga begitu dekat dengan malam.

“Yup, gak bisa lebih jelas lagi.” kataku pada kak Sunset.

“Hehe, bentar-bentar...liat deh,” tidak lagi bermain dengan bunga, kak sunset mulai mengusik tas bahu berwarna putih miliknya. Tas itu jelas terlihat buatan tangan sendiri, tapi saat ditanya apakah dia yang membuatnya, dia bilang bukan. Dari dalam tas itu kak Sunset menarik selembar kertas putih.

“Jajaan—! Aku dapet ‘A’ tadi kuis akun!”

“Eeeh, itu doang?”

Kak Sunset menempatkan jemari pada dahinya seraya berkata “Ck-ck-ck, naif sekali Free! sama seperti namamu.”

Wah, pantes dapet ‘A’, dia ninggalin pelajaran bahasa bunga.

“Yah, selamat deh kak.”

“Huuuu, kamu gak tau sih, ini capaian tertinggiku tahun ini tahu!” dia menghentakkan kertas ujiannya pada permukaan kaca konter kayu.

“Iya iya, aku mandi dulu ya kak. Nanti aku dengerin deh kakak mau cerita apa.”

“Huh, ya sudah. Oh iya, Free.” kak Sunset menghentikanku yang sudah setengah jalan menuju tangga di samping konter. 

“Hmmm?” Diriku menoleh kebelakang dan menjumpai wajahnya yang tampak kembali khawatir.

“Kamu pernah papasan enggak sama laki-laki yang sering pakai jas hitam?”

“...Hmmm...kayaknya pernah sesekali, tapi hari ini nggak. Kenapa emang kak?”

“Akhir-akhir ini...susah sih jelasinnya, mungkin juga cuma perasaan ku aja. Cuma kalo liat dia agak gak enak perasaanku.”

“...Terus, dia hari ini dateng?”

“Nggak, makanya aku agak khawatir.”

“...Yah, mungkin cuma perasaanmu aja kak.”

“Iya sih.”

“Ha-ha…” Diriku melayangkan tawa hambar kemudian memaksa kakiku naik.

Klack!

Pintu kamarku terbuka. Tanpa menghiraukan kegelapan, Diriku melepas tas dan menaruhnya di lantai kayu. Melepas kaos kaki, merenggangkan dasi yang mencekik dari leherku. Membiarkannya jatuh.

Mulai dari atas aku membuka kancing bajuku. Satu...Dua... Tanganku berhenti pada kancing ketiga. Diriku merendahkan badanku dan duduk di lantai, punggung bersandar pada kasur yang tidak dingin, tidak juga hangat. Udara disini kering. Mungkin karena tertutup seharian. 

Dihadapanku adalah lemari kayu yang dengar-dengar lemari ini lebih tua dariku. Disampingnya cermin berdiri, dari sini hanya terpantul bayangan sudut lain kamar. Kemudian ada meja belajar, buku berserakan di atasnya. Koleksi vinyl record dan pemutarnya. Lemari buku. Botol mineral. Perlengkapan ibadah. Jam. Sandal ruangan. Sampah. Bunga melati. Pisau potong. Obat-obatan—

Mengatapi semua ini adalah plafon putih kosong. Satu lampu mati tergantung.

Diriku terdiam sejenak. Menyadarkan diri pada kesepian kamarku.

Helaan nafas mengarahkan pandanganku kepada jendela. Badanku terseret ke arahnya dengan langkah layaknya terbenam dalam lumpur.

Diriku duduk di kursi meja belajar. Memandangi sisi luar jendela beberapa saat sebelum menarik laptop tua kesisiku. Diriku menekan tombol power, mengalihkan tatapan ku dari terangnya layar ke luar jendela, telunjuk memainkan touchpad.

Tampilan pengguna selesai diinisialisasi setelah beberapa menit. Mengarahkan kursor pada icon berlambangkan huruf ‘E’, Diriku membuka jendela pencarian. Jemariku mulai memasukkan apa yang ada pada pikiranku huruf demi huruf.

S-U-I-C-I-D-E

Tak selang tiga detik, monitor menampilkan kata kunci yang Diriku cari. Diriku kemudian membacanya perlahan. Tentang pengertian. 

Tentang penyebab.

Tentang kejadian.

Tentang pencegahan.

Tentang ganjaran.

Sesuatu yang menggumpal seperti muncul di antara rongga leher dan dadaku. Semakin dalam Diriku memasukkan informasi ke dalam otakku semakin besar gumpalan itu. Seperti rasa lapar, seperti kekosongan. Diriku mencoba memuntahkannya, tidak ada yang keluar. Kekosongan ini menyempitkan dadaku.

“Hahhh...hahhhh....hahhhk....hhhhk....”

Aku bisa apa.

***

Kelopak Ketiga

Mataku terbuka. 

Diriku katupkan perlahan sambil menunggu kesadaranku pulih. Nafasku terbilang normal, mungkin sedikit tarikan panjang akan membangunkanku.

Seperti biasa, Diriku terbangun terlalu pagi. Diriku tidak bisa membaca jam dinding yang tepat berada di atasku ini, tapi dari dingin yang menjalar pada sekujur tubuh, Diriku bisa menyimpulkan sekarang sekitar jam lima pagi.

Dingin…

Diriku menarik kembali selimut yang entah sejak kapan terbentang di lantai.

Enggan tidak bisa menggambarkan perasaanku dengan baik saat Diriku memutuskan menapakkan kaki pada lantai. Diriku curiga kalau sebenarnya lantai ini bukan terbuat dari kayu tapi dari batu es. Dengan selimut masih melilit tubuhku, Diriku bergerak ke sisi lain kamar. Karena selain rasa dingin, ada sensasi lain yang harus segera dihilangkan.

Di samping meja belajar ada benda yang merupakan hasil keegoisanku. Meja putar untuk vinyl record berwarna perak gelap mematung dingin. Diriku kemudian menjalankannya— 

Chopin. Nocturne Opus 9 No. 2 dalam E-flat major.

Kembali memejamkan mata. Diriku mengerahkan seluruh konsentrasiku pada lantunan nada yang menyelimuti sekelilingku. 

Sedikit demi sedikit, sensasi yang entah sejak kapan menggangguku; debar di kepalaku, mereda.

Aaah...tidak ada yang mengalahkan perasaan ini...

Diriku terus berkonsentrasi pada pendengaranku.

Perlahan membuka kembali kelopak mataku, dengan gugup Diriku meraih gorden dan menariknya. Langit masih menyandang bintang. Daerah sekitar bersinarkan lampu jalan. Malam begitu menakutkan. Tidur pun juga begitu. Entah mengapa orang-orang yakin bahwa mereka akan membuka kembali mata mereka setelah tertidur. Diriku mulai bertanya-tanya apakah di bawah sana, di pusat kota sudah ramai dengan kesibukan masing-masing. 

Yang lebih menakutkan adalah pergi ke luar sana. 

Lihat selengkapnya