Kelopak Terakhir
-g-
Aku—
Kamus internalku seakan lenyap begitu saja. Karena pada saat itu, jantungku melompat keluar rangka dadaku. Aku yakin saat itu aku juga sedang memegang sesuatu, alat tulis mungkin, atau potongan bunga. Tetapi benda itu pun lepas dari genggamanku.
Kenapa dia di sini?
Seiring dengan hentak jantungku, sepasang kaki melangkah maju. Mendekat. Melewati bunga yang berjajar. Dihadapanku saat ini adalah dua orang, seorang pria berjas, rekan kerja lamaku. Dan seorang lagi, gadis yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tetapi wajah, tubuh, dan tatapannya mengingatkanku dengan dia yang tak lagi bisa kujumpai.
“Siapa dia?”
“Langsung ke intinya eh, Gladi. Sudah lama kita gak jumpa, kita mulai dengan obrolan ringan dulu, ya.”
Dadaku sedikit gemetar, marah karena dia memberi penekanan pada apa yang seharusnya menjadi namaku. Sebelum aku bisa meluapkan amarah itu, gadis di belakang mantan rekan kerjaku maju selangkah ke depannya. Membuat penampilan gadis itu semakin jelas terpandang.
“Namaku Hana, adiknya Rella.”
“Adik?”
Dia, Rella, tidak pernah menyebutkan apa-apa tentang adiknya. Tidak, wanita itu memang tidak pernah bercerita apapun tentang dirinya sendiri. Tetapi, mata itu, wajah itu. Tidak bisa dibantah kalau mereka memang memiliki ikatan darah.
Adik?
Rella?
‘Hei, [...]’
‘Aku tidak tahu lagi apa artinya hidup—’
—!
HOOEEEEEK—!
**—
“—Ada apa kak Gladi?”
Sepasang mata merah menatapku. Sesuatu yang hangat menekan kedua pipiku.
“Freesia?”
“Ya.” suara polos seorang anak perempuan terdengar di antara tarikan nafas yang memekakan.
“Freesia?”
“Iya, ini aku kak. Coba duduk yang benar. Gak sopan sama pelanggan.”
Sepertinya aku mengalami hiperventilasi sampai hampir tidak sadarkan diri. Kepalaku terasa berat. Tatapan khawatir tiga orang di ruangan itu tidak memperbaiki keadaan.
“Maaf.”
“Kamu baik-baik saja?”
“Aku butuh udara segar. Maaf.” aku berlari keluar dari toko sebelum mereka mengingatkanku akan hal itu lagi. Tanganku berhenti sebelum memutar gagang pintu—
Saat itu aku tidak tahu, apakah itu benar-benar terjadi atau itu hanya harapanku saja. Tetapi aku mendengar anak perempuan itu memanggilku untuk terakhir kalinya. Aku memutuskan untuk tidak menjawab panggilan itu.
***
“Hahhh...tadi itu bukan sesuatu yang enak ditunjukan dihadapan dua orang gadis.”
Seorang pria menggunakan pakaian kerjanya berjalan disampingku. Di tangannya sebatang rokok menyala. Sambil melihat lurus ke depan, pria itu menghembuskan asap dari paru-parunya kemudian menawarkan box-nya kepadaku.
“Gak, aku udah berenti Ver.” aku menolak sambil melambaikan tangan.
“Oh?” dia mengambil tarikan panjang sebelum mematikan rokoknya. Asap abu-abu itu tertinggal oleh langkah kami.
“Sudah lama ya. Mungkin sejak pemakaman.”
“Benar.” Sudah hampir satu setengah tahun.
“Terus. Kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Ngapain kamu disini?”
“...Bukan urusanmu.”
“Kau tau, kami udah susah-susah nyari kamu. Jangan dingin begitu.”
“Bukan berarti agensi kita gak bisa nyari aku dalam sehari.”
“Memang. Kami ingin ngasih kamu waktu sejenak. Tapi kamu malah kabur sampai pakai identitas palsu.”
“Aku cuma gak suka cara mereka nge-handle orang yang mau berhenti.” atau mungkin itu bentuk protesku saat itu.
“Gak ada dari kita yang suka. Mau diapain lagi tapi? Kita semua harusnya sudah paham waktu tandatangan kontrak.” Vero meletakkan kedua tangan di belakang lehernya. Seakan sudah pasrah saja dengan apa yang diberikan padanya.
“Oh iya, sebagai senior aku cuma mau mastiin. Berkas-berkas agensi—”
“Sudah ku bakar semua.”
“...Hah?! Ya sudahlah.”
“Gimana di sana?”
“Tentu saja hektik, kami kehilangan salah satu tim terbaik. Tapi setelah itu beberapa anggota baru masuk. Sekarang sudah stabil. Bahkan bisa dibilang beban kerja kami lebih ringan dari sewaktu kalian masih aktif.”
“Hooo. baguslah. Walaupun aku gak yakin dengan bagian terakhir itu. Mungkin itu karena pekerjaan yang masuk makin sedikit.”
“Kalo gitu anggap saja aku lagi menghibur diri.”
“...Kau sudah ke tempatnya?”
“Belum, rencananya kami mau kesana setelah membeli bunga. Tapi kamu malah begitu tadi.”
“Hmph. kalau jadi, aku titip salam.”
“Oke.”
“Dan juga, gadis tadi.”
“Hana?”
“Beri tahu dia, sayang sekali, aku gak punya jawaban yang dia cari.”
“Kamu bahkan belum ngomong apa-apa sama dia.”
“Aku tahu—! Sejak dia melangkah masuk ke pintu toko aku tahu, apa yang mau kalian tanyakan.”
“Memang apa?”
“Kalian mau menanyakan kenapa aku tidak menolongnya? Kata terakhirnya? Momen terakhirnya?”
Vero mengernyit mendengar teriakanku. “Bukan, makanya ayo kembali ke toko.”
“Kau mau kembali ke sana? Ini.” aku melepaskan benda yang mengunci tanganku.
“Apa? Ini kan?!”
“Tolong berikan kepada gadis itu.”
“Tunggu dulu. Kamu lagi mikir apa?”
“...”
“Hoi!” Vero menggebu, menarik bahuku untuk menghentikanku. “Sudah cukup kita kehilangan satu rekan!”
Kehilangan.
Caranya mengatakan hal itu seakan merasa bahwa dia dan orang-orang di tempat itu tidak punya hubungan dengan kematiannya.
“Kehilangan? Omong kosong macam apa itu! Tidak ada dari kalian—” kata-kataku selanjutnya terhenti karena sakit yang menusuk dadaku. Tidak ada dari mereka yang menyalurkan tangan untuknya. Tidak ada satupun yang meraihnya. Tidak juga aku. “Apa kamu tahu penyebab Rella meninggal?”
Vero melepaskan tangannya dari bahuku, “Kecelakaan.” jawabnya dengan yakin.
“Heeeh— kamu pikir sesuatu semudah itu bisa terjadi? Dunia ini tidak mungkin sebaik itu pada seorang gadis yang memohon-mohon untuk bisa mati. Lalu dia mati tanpa dosa? Itu pertolongan yang keterlalu—”
Sesuatu yang keras menghantam rahangku, sedetik kemudian aku sudah terkapar di trotoar. Rasa panas yang muncul pada pipiku menyebar keseluruh tubuh mengikuti sorotan mataku pada Vero. “Tadi itu sakit.”
“Oh ya, kalau begitu tutup mulutmu sebentar!”
“Tch—!” aku meludahkan darah dari bibirku.
“Kau, kau pikir dia mati bunuh diri?”
“...Ya.”
Tentu saja.
***
-[...]-
‘Aku gak tau lagi apa artinya hidup.’
...Ha?
Aku tidak tahu kenapa aku tidak mengucapkan itu. Mungkin aku sudah tidak kaget lagi mendengar kata-kata seperti barusan dari partnerku, karena mulutnya memang sudah sering mengeluarkan pernyataan bodoh dan insensitive. Jadinya aku putuskan untuk tidak terpancing dengan leluconnya kali ini. Yang kumaksud adalah tidak kaget dengan humor yang jelas-jelas self centered itu.
Aku meneruskan pekerjaanku, membiarkan partnerku yang ogah-ogahan mengerjakan bagiannya di belakang. Aku herannya, ruangan tempat kami berada saat ini punya aura stagnant khas TKP, tetapi partnerku masih bisa saja bersikap seakan kita ngobrol di tempat lain.
“Apa kamu pikir, kita ini lebih baik dari orang-orang yang datang minta bantuan ke kita?”
Aku yakin dia menunggu balasanku, karna aku udah memutuskan bakal gak ikut-ikutan, aku hanya menjawab ala kadarnya. “Enggak. Emang aku pernah bilang begitu?” aku memikirkan lagi jawabanku barusan. Yup, aku tidak pernah berpikir seperti itu.
“Kita hanya memiliki keadaan yang berbeda. Aku bahkan bisa membayangkan berada di posisi mereka suatu saat.” pastinya tidak mau sih.
“Huah...aku salah berarti selama ini.” partnerku membuat ekspresi syok, bukan syok biasa tapi benar-benar syok. “Kamu selalu punya tampang ‘tahu segalanya’ itu sih.”
“Oi, orang-orang udah komplain sama mukaku dari kecil tau.”
“Wah, aku bisa bayangin kamu bikin nangis temenmu cuma pake tatapan mata.”
“Kalo yang kayak gitu gak pernah ada...sejauh yang aku ingat.” aku gak tau kenapa tetapi wajahku selalu merengut sampai sekarang. Bahkan ketika aku gak mikir apa-apa.
“Sayang sekali padahal kamu ganteng, coba aja ekspresimu lebih gentle sedikit.”
“Kenapa emang!?”
“Ngomong-ngomong, aku udah gak tau lagi artinya hidup.”
“Oke, oke. Gak usah diulang sampe dua kali. Itu pesan kematian atau pandanganmu tentang kehidupan?” kami berdua masih membelakangi satu sama lain. Aku tahu memang pekerjaan ini terkadang membosankan, tetapi bukan berarti kami bisa santai-santai mengobrol hal yang tidak ada hubungannya seperti ini. Aku sedikit bersumpah akan menjitak kepalanya jika sekali lagi dia membuang-buang waktuku.
“Hmmm...itu adalah perasaan saya yang sesungguhnya!” dia berkata dengan nada penuh bangga.
Oke, cuma hari biasa dengan pernyataan bodohnya. Tanganku sudah gatal, tetapi lebih baik dibiarkan saja anak itu. Untuk itu, aku beranjak dari spot-ku semula ke sisi lain ruangan. Sayangnya ruangan itu terlalu kecil untuk bisa menjauh dari partner-ku.
“Hey, kamu pasti mikir aku cuma ngomong gak jelas kayak biasa kan!”
“Tentu saja.” aku mengeluarkan tawa meledek. “Lagian, kamu sadar juga selalu ngomong gak jelas?”
“Huuu...udah lama bekerja di bidang seperti ini, harusnya kamu tau aku serius apa enggak.”
Tanganku yang terlindungi sarung tangan putih berhenti menulis. Sejenak memproses petunjuk yang ia berikan padaku, tetapi kesimpulanku masih sama. Buang-buang waktu, aku kembali membuat catatan.
“Kalau aku mati, apa kamu bakal sedih?”
“Hahhh…” aku membalik badan untuk menghadap partner-ku. Dia, berdiri di tengah-tengah ruangan memuramkan ini, juga sedang menghadap ke arahku, seperti sudah menungguku dari tadi.
“Kau tahu...aku jadi benar-benar berpikir kalau kamu gak bohong.”
“Tentu saja.”
Masih sempat-sempatnya ngelucu. “Oke, hahh...dapat petunjuk? Sudah terlalu malam ini.”
“Eeeh...aku pikir kamu akhirnya mau dengerin masalahku!”
“Kamu tahu kenapa tim kita tertinggal dengan tim lain.”
“Entah, gak pernah aku pikirin. Emangnya kita tertinggal?” mukanya cemberut, jelas-jelas kesal karena aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Oke deh. Aku udah selesai dengan bagianku.”
“Aku juga.” partner-ku menyerahkan catatan yang dia buat.
“Kenapa kamu gak bilang? Ampun, ayo balik ke pos.”
“Eeeh...aku mau pulang!” entah kenapa dia kaget mendengar hal itu.
“Perasaan tadi kamu mau cerita sesuatu?”
“Ahh…setelah aku pikir-pikir—”
“Ooke, aku gak ikut-ikutan leluconmu lagi.”
“Ma-maksudku...besok aja kita ngobrolnya. Liat!” partnerku menunjukkan jam tangan putihnya. Aku tidak sadar kalau sekarang lebih larut dari yang aku kira. Aku selalu terlambat dalam menyadari.
-g-
Mataku terbuka.
Seberkas cahaya menemukan jalan masuk kedalam kamarku. Memberikan rasa luang pada tempat menyesakkan ini.
Pagi baru.
Seperti biasa, aku terbangun dalam keadaan lelah. Paru-paru kram dan migrain. Sebagian besar karena aku memang kurang tidur.
Masih sempoyongan, aku mencoba mengambil air.
-[...]-
‘Kamu udah bikin laporan kita?’
Aku bertanya kepada partner-ku. Dari balik monitornya, dia memandangku seperti aku baru saja menanyakan hal yang aneh, “Belum?”
“Kenapa balik nanya?”
“Ini lagi aku kerjain.” dia kembali menyibukkan diri dengan keyboardnya.
“Hmmm…” aku menyeruput kopi yang baru selesai kubuat. Cuma dengan minum cairan hitam ini kami bisa bekerja sampai larut malam.
“Uuuh, kamu harus sedikit lebih percaya sama partner-mu.” ketikan pada keyboardnya semakin keras. Padahal aku gak melakukan apapun yang bikin dia kesal.
“Kamu tahu, kepercayaan, sama seperti kehormatan. Itu sesuatu yang didapatkan bukan diminta.” dan mendapatkannya dariku itu sulit. Tidak banyak yang mendapatkannya, bukan berarti mereka butuh juga sih.
“Kamu ini selalu komplain terus sama semua hal yang aku omongin. Aku mulai kepikiran kalo kamu jangan-jangan punya dendam pribadi sama aku. Atau kamu benar-benar gak suka aku?” dia menekan tombol enter sebelum meregangkan tangannya. Suara rintihan mesin di kejauhan terdengar setelahnya.
“Sudah lama bekerja di bidang ini, harusnya deduksi mu gak jauh dari kebenaran.”
“Jahat sekali! Aku gak percaya!” cemberut, ia melipat kedua tangan, bersandar pada kursi tua kantor kami dan melihat ke atas langit-langit. Delapan kipas angin terpasang namun yang menyala hanya yang terdekat dengan meja kami. Aku mau saja memberi bantuan, bagaimanapun juga ini sudah terlalu malam. Tetapi aku memutuskan untuk menunggu dia menyelesaikannya sendiri. Apa karena aku percaya? Bukan, sebenarnya aku gak terlalu peduli dengan pekerjaan ini. Begitu juga dia. Mungkin itu penyebab tim kami tertinggal dengan yang lain.
“Eh, ambilin print-an itu dong.” partnerku menunjuk ke arah mesin fotokopi tua jauh dari tempat kami. Sebagai jawaban, aku menunjukkan kalau kedua tanganku sudah penuh dengan secangkir kopi dan berkas lain.
“Pliiiis…”
Aku kembali menyeruput cangkirku.
“Ugh...Pak Ketua! aku boleh dapet partner lain gak?” komplain itu kerasnya sangat menjengkelkan. Tetapi karena cuma kami berdua yang tersisa di kantor, dia tidak mengganggu siapapun. Partner-ku berdiri untuk mengambil hasil print-nya seakan itu adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan. Dengan sengaja dia menyenggol lenganku yang memegang cangkir.
Memang bodoh. Bukan cuma aku tapi dia juga ketumpahan.
“Ahh…sori.” Sepertinya dia tidak bermaksud sampai ingin menumpahkan kopiku.
“Gak apa, tapi kalau masih pagi jangan bodoh begini ya. Nih, lap baju mu.”
“Ugh...” dia mulai mengelap baju putihnya, tetapi sangat sulit menghilangkan noda kopi. “Ya sudahlah, udah waktunya pulang juga.” ia pun menyerah.
Aku mengambil laporan yang baru saja dicetak partner-ku. Membacanya jam segini akan sangat melelahkan.
“Akhirnya! Mari kita pulang~!”
“Ayo pulang.”
“Ugh...beberapa jam lagi aku udah harus di tempat ini lagi? Mual rasanya.”
Cepat sekali semangatnya berubah, “Sayang sekali, kamu bakal ada di sini lebih lama dari cuma besok.”
“Tidaaaak, tidak akan!” sambil merapikan meja dan barang-barangnya, partner-ku memohon entah kepada siapa.
Sayang sekali permohonan itu terkabulkan.
-g-
Aku tidak merasa lebih hidup bahkan setelah menenggak air. Tenggorokanku malah lebih panas dari sebelumnya. Karena tidak ada hal lain yang ingin aku kerjakan, aku berbaring di lantai, tepat di bawah wastafel.
Dingin. Ruangan ini terlalu dingin. Sulit bernafas di sini.
Tidak ada suara selain tetesan air keran. Tidak, bahkan detak jantungku. Suara itu jauh dari menenangkan pikiran. Aneh, karena tidak ada yang aku pikirkan saat itu.
Yang ada hanya sebuah pertanyaan— kenapa aku masih di sini.
-[...]-
‘Hahh…’
Kenapa lagi sekarang?
Aku menanyakan hal itu pada diri sendiri sambil melirik ke arah partner-ku. Dia, seperti aku, memakai jaket parka karena sekarang udara lagi dingin-dinginnya. Ya, bukan karena kami sedang melakukan pekerjaan kami.
Partner-ku menutup mulut dengan kedua tangan, menahan nafas sampai pipinya menggelembung. Beberapa detik kemudian dia menghela nafas yang ia tahan. Tadinya aku kira dia mau mengeluarkan keluh kesah seperti biasa. Ternyata dia hanya sedang bermain membuat uap air dengan nafasnya.
“Ngapain sih.”
“Haaahh...apa? Coba aja sendiri.” pipinya memerah, entah karena malu atau karena dia menggelembungkannya sekuat tenaga tadi.
Aku ikut menahan nafas ku da— “Bufh!” jarinya menusuk pipiku.
“Ahaha—! Kayak anak kecil aja deh!” terbahak-bahak, aku udah lama gak liat dia ketawa seikhlas itu.
“Apaan sih.”
“Gak usah malu gitu lah~”
“Enggak ya.”
“Hmhmm?”
“Kalo kamu gak stop aku tinggal nih.”
“Hmhmhmmn?”
“Kunci mobil mana tadi.” aku berbalik badan, good work partner!
“Bercanda-bercanda. Kamu lemah banget sih.”
“Oh ya? Tunggu, orang kita bergerak.”
“Ahh...benar.” partner-ku berhenti menarik-narik jaketku dan mulai merangkul lenganku. Dia melihat jam tangan putih di pergelangannya. Aku mencoba membuat catatan mental kapan target kami bergerak. Ternyata kami dibuat menunggu lebih lama dari perkiraan. Tetapi, entah kenapa rasanya baru sebentar saja aku dan partner-ku berdiri di pinggir jalan ini.
“Besok lagi, aku tunggu di mobil.”
“Boleh, aku tunggu di kantor.”
“Curang!”
Siapa yang curang? Bukan kah dia yang meninggalkanku lebih dulu? Tidak, aku yang curang karena membiarkannya pergi.
-g-
Aku melihat ke arah pintu. Ke arah jendela. Keduanya tidak membuat ku berekspektasi. Tetapi aku tidak kaget. Yang mengagetkanku adalah mataku sendiri yang masih mencari kedua tempat itu. Padahal, ruangan ini sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan urusanku dengan dunia ini.
Aku beranjak kembali ke kasurku. Mengambil jam tangan putih yang sudah rusak. Jam itu, juga tidak membuatku berekspektasi.
-[...]-
‘Kamu kelihatan murung, ada apa?’
Pertanyaan yang entah datang dari mana. Saat itu, aku tidak tahu apa alasannya menanyakan hal itu. Aku tidak tahu, dan tidak juga memikirkannya. Hanya menganggapnya sebagai, sapaan biasa dari seorang rekan kerja kepada temannya. Ya.
“Aku lagi biasa aja, gak murung juga gak senang.”
“Masak sih? Aku yakin kamu lagi murung.”
“...Bisa jelaskan?” aku mencoba mengetes hipotesisnya. Permainan yang kami lakukan hampir setiap saat. Sebenarnya aku gak peduli, tapi mungkin mendengar jawabannya bakal lumayan menghibur.
“Yang pertama adalah—” dengan tampang serius, partner-ku mengambil tempat duduk di hadapanku, meletakkan makanannya di meja, “Kamu duduk di sini sendiri hanya ditemani secangkir kopi.”
“Okey, masuk akal.” aku jarang makan di luar pos kalau tidak diajak seseorang.
“Kedua, kamu sama sekali belum minum kopimu tetapi udah mau pergi.” dengan kentang goreng, dia menunjuk posisi dudukku yang memang memperlihatkan tanda itu, satu kaki di luar, badan tidak menghadap lurus.
“Gak sopan nunjuk orang pake makanan, gak ada yang ngajarin kamu apa?” aku mengambil kentang yang ia lambai-lambaikan di wajahku dan menelannya.
“Ei— kentangku!”
“Lanjut.”
“Uhh...yang ketiga...layar handphonemu nyala terus.”
“Hmmm...Ada yang lain?” jawabannya mulai tidak nyambung, jadinya aku mulai mengambil makanannya. Untung dia tidak komplain.
“Yang terakhir, kamu menggumamkan nama saya.”
“Ha?”
Senyum yang ia pasang seakan baru saja memenangkan sebuah pertarungan.
“Berhenti menghayal di siang bolong.”
“Gimana kalo kamu berenti mikirin aku?”
Sayangnya tidak bisa. Setiap saat aku memikirkannya, bahkan jauh setelah dia tak lagi bersamaku.
-g-
Kosong.
Aku tidak merasakan apapun. Dinginnya air. Hangatnya pakaian yang kukenakan. Udara yang aku telan ke dalam paru-paru.
Aku sudah siap untuk pergi. Tidak ada lagi artinya bagiku ada disini.
Sebelum aku pergi, aku memeriksa jam di tanganku. Jam tangan putih yang sudah rusak. Akan sangat, menyedihkan, jika aku juga menggunakannya sebelum aku pergi. Aku melepasnya, menyimpannya pada kantung di dadaku.
Kata perpisahan bukanlah sesuatu yang bisa aku ucapkan. Tetapi, jika aku boleh berharap. Semoga anak itu bisa menjalankan sisa hidupnya seperti biasa setelah aku pergi.
***
Tok— tok— tok!
…
Tok— tok— tok!
Ketukan di pintu itu menghentikanku dari memutar gagangnya. Dari cara mengetuknya yang lembut dan kejadian kemarin aku bisa menyimpulkan siapa yang sekarang sedang berdiri di balik pintu apartemen ku. Panggilan dari luar beberapa detik setelahnya mengkonfirmasi hal itu.
“Kak Gladi.”
Freesia. Dia pasti datang bersama Thomas. Ada kemungkinan Maaya juga ikut bersamanya, tetapi aku tidak mendengar tanda-tanda adanya orang lain di luar. Bisa jadi mereka menunggu di bawah.
Tok tok tok— “Kak Gladi.”
Pintuku kembali diketuk. Berpura-pura tidak mendengarnya akan sangat bodoh, timing dia mengetuk tadi dengan aku akan membuka pintu terlalu tepat. Aku yakin dari luar dia sudah mendengarku sebelum mengetuk.