Hug Me

Padpn
Chapter #1

Halusinasi yang nyata

Kecewa itu sangat mudah. Menaruh rasa sayang dan percaya secara berlebihan pada seseorang akan membuatmu mudah kecewa hanya dengan satu kesalahannya. 

-Ana Ribera Aufarika-



Sebuah pesan masuk ke dalam handphone yang terbaring di atas meja. Seseorang segera meraihnya dan membaca pesan yang berhasil membuatnya tersenyum saat melihat nama yang tertera. 

Nanti malam datang ke cafe biasa jam 8. Aku tunggu di sana. 

Gadis yang sedang memakai kaos putih dan jeans pendek, rambut diikat gulung setinggi ubun-ubunnya, dengan kacamata bulat yang menempel di batang hidungnya itu menyunggingkan senyumannya dengan lebar setelah membaca pesan singkat yang berasal dari kekasihnya. 

Ia meletakkan handphonenya, mematikan laptop yang sudah empat jam di hadapannya. 

Ana Ribera Aufarika yang kerap disapa Ana adalah gadis yang sudah menginjak umur 20 tahun. Ia bekerja sebagai seorang penulis. Sebenarnya Ana sedikit bingung dengan apa yang sedang ia lakukan itu bisa disebut sebuah profesikah atau hanya sekedar kegemaran saja? Yang pastinya banyak orang mengatakan Ana bekerja di bidang tulis menulis. Selain itu Ana juga mengisi kelas menulis di suatu bimbel. Meski umurnya yang terbilang muda, Ana sudah mencapai titik di mana ia bisa membahagiakan kedua orangtuanya. 

Dengan hasil dari tulisannya, Ana bisa membeli rumah yang layak untuk keluarganya, menyekolahkan adik-adiknya, dan hidup serba berkecukupan. Ana memiliki orangtua yang hanya memiliki mini market, itulah kenapa Ana lebih memilih berkarya dan mendalami dunia tulis menulis daripada ia melanjutkan studinya. Kebetulan, pemasukan orangtua yang tidak memungkinkan juga. 

Ana keluar dari kamarnya setelah memilih baju untuk pergi menemui kekasihnya nanti malam. Hari ini adalah anniversary ke-1 tahun Ana dan kekasihnya. Untuk itu ia ingin terlihat lebih cantik dan memukai malam hari ini. 

"Bu, ayah mana?" tanya Ana pada Riani, ibunya setelah ia keluar dari kamar dan menuju ke dapur. 

Riani yang tengah memasak untuk makan malam bersama anak-anaknya nanti pun menoleh pada Ana yang sedang menenguk segelas air dari dalam kulkas. 

Riani menghela napasnya melihat Ana yang seolah tidak minum selama dua hari. "Makanya jangan terlalu ngoyo An, segala sesuatu itu harus diporsir." Saran Riani yang tahu anaknya pasti baru selesai menulis. 

"Ahh," Ana mengelap ujung bibirnya. Ia merasa puas menghabiskan satu gelas minumannya sekaligus. "Biasa bu. Deadline sudah mengejar-ngejarku," ujar Ana kemudian. 

"Bukan deadline yang mengejar-ngejar kamu. Tapi semua project, kamu ambil semua." Protes Riani lagi yang sesekali menoleh pada Ana yang sudah duduk di meja makan yang hanya berjarak tiga langkah dari dapur. 

Ana menaruh tangannya di atas kepala kursi yang ia duduki sembari meletakkan dagunya di atas tangan. Tubuhnya sedikit menyerong untuk memandang punggung ibunya yang sedang memasak itu. "Menolak rezeki tidak baik, bu." Timbal Ana lagi tak mau kalah. 

"Ayah di mana, bu? Ibu belum menjawab pertanyaanku." Tanya Ana lagi yang belum menemukan jawaban keberadaan ayahnya. 

"Di mini market. Di mana lagi ayahmu,"

"Penjualannya menurun ya, bu, minggu-minggu ini?" tanya Ana lagi. 

Riani menghela napas panjang. "Yahh, bisa untuk kita makan sehari-hari saja sudah cukup, nak."

"Aku bakalan cari uang yang lebih banyak lagi, bu. Biar ayah tidak perlu bekerja di mini market."

"Ussshh, jangan bilang seperti itu, An. Hidup bukan tentang perihal uang saja. Jangan habiskan waktumu untuk mencari uang. Banyak hal yang nilainya lebih dari uang, yaitu kesehatan dan kebahagianmu. Itu jauh lebih tinggi nilainya. Percuma, banyak uang kalau sakit atau tidak bahagia." Riani menghentikan sayatannya pada bawang yang sedang ia potong-potong itu. 

"Dan lagi, sampai kapan pun ayahmu tidak akan menutup mini market kita. Itu satu-satunya harta yang ayahmu miliki sampai bisa membesarkan ketiga anaknya." Riani mengingatkan kembali pada anaknya bahwa mini market yang ayahnya punya lah yang sudah memberi nafkah serta memenuhi kebutuhan mereka meski sangat berkecukupan sebelum Ana menjadi seorang penulis. 

"Maaf ibu, aku hanya ingin kalian tidak lelah mengurus aku dan adik-adik. Aku hanya ingin kalian menikmati masa tua kalian tanpa harus mengeluarkan energi lebih banyak." Ana menegakkan kepalanya dengan benar. 

Riani menoleh lagi ke arah Ana. Lalu tersenyum dengan penuh rasa bangga. "Sudah kewajiban menjadi orangtua, nak. Orangtua bahagia saat mereka memberikan sesuatu yang dibutuhkan atau diinginkan oleh anaknya."

"Ibu dan ayah sudah bangga dengan prestasi kamu di dunia tulis menulis, sampai kamu bisa membeli rumah. Kita bisa tidur dan istirahat dengan nyaman di tempat yang layak ini." Jelas Riani yang terdengar parau, menahan tangisnya. Mengingat dua tahun yang lalu mereka tinggal di tempat yang sebenarnya tidak layak untuk di huni.

Rumah yang sangat kecil, hanya memiliki dua kamar, ruang tengah yang mereka jadikan sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dan lain sebagainya. Rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu, kadang bila hujan sering kali bocor. Bila ada angin kencang, mereka sangat khawatir angin akan menghancurkan gubuk kecil mereka. Itu kenapa Ana sering kali dibuli oleh teman-temannya karena keadaan yang tidak sebanding dengan yang lain. 

Ana beranjak dari duduknya dan memeluk dengan erat dari belakang tubuh ibunya. "Ana sayang sama ibu," ujarnya sembari memejamkan mata. 

"Ibu juga sayang sama kamu, nak." Riani mengusap tangan Ana sesekali mengusap air matanya yang tidak bisa ia tampung lagi. 

Lihat selengkapnya