"Malam itu menjadi titik balik dalam hidupku. Sebelumnya, hidupku bagai kapal yang berlayar tanpa arah. Kesana kemari tanpa tujuan. Tiba-tiba saja seberkas cahaya datang. Hidupku berubah. Kapal itu kini punya tujuan. Dan kau tahu hal yang lebih menakjubkan lagi, Raina? Aku tak sendirian. Aku tak kesepian. Kini aku punya banyak teman yang ikut berlayar dan bertempur bersamaku. Semua ini berkat, Lintang, sang pahlawan hidupku." (Halaman ketiga buku).
Aku menutup buku aneh itu sambil menghela nafas panjang. Setelah menunggu sepanjang hari, akhirnya isi dari halaman ketiga pada buku itu muncul juga di penghujung malam. Kata-kata itu hadir setelah aku mencoba untuk menulis jawaban dari pertanyaan pada buku itu. Semacam bercakap-cakap melalui buku. Aneh. Sungguh aneh.
Tetapi hal aneh harus kita hadapi dengan cara aneh pula, bukan?
Setelah membaca isi dari lembar yang ketiga, aku berpikir sepertinya perlahan-lahan tokoh pada buku ini mencoba untuk membuka dirinya padaku. Entah bagaimana aku percaya kalau ada sebuah rahasia dibalik semua ini. Rahasia yang belum ku tahu apa isinya.
Sebuah pesan dari Langit membuyarkan lamunanku.
“Na, kamu dimana? kami udah sampe di markas. Aku tunggu. CEPAT!”
Aku terkejut melihat pesan dari Langit. Akibat terlalu fokus dengan buku aneh itu, aku lupa janji kami untuk berkumpul di markas bersama Lian dan Baskara. Aku bergegas mandi dengan singkat dan berpakaian dengan cepat.
Sungguh aku tak ingin mendengar celotehan panjang dan segala teori dari Langit. Pernah suatu hari ia mengomel panjang sekali karena keterlambatanku.
“Aku benci orang yang terlambat, Na. Kamu tau gak dasar dari segala kebebasan itu disiplin. Kalau kita disiplin melakukan suatu hal ya kita bisa terbebas dari tugas itu. Pendapat orang soal kebebasan itu salah.” Aku hanya mengangguk setuju. Tak menyangka jika keterlambatanku ini berakibat panjang hingga membuatku merenung.