Pagi buta kami berempat sudah bersiap untuk melaksanakan perjalanan. Aku tertidur begitu lelap kemarin. Aku tak sama sekali menyentuh buku aneh itu. Tentunya karena tidak mau merusak hari yang katanya indah ini.
Tapi rasa penasaranku bertumbuh semakin besar. Aku memutuskan untuk meninggalkan ketiga temanku dan mengintip isi dari buku aneh itu dari toilet dekat markas.
Aku membaca dengan sedikit was-was, takut ada yang mengintipku.
Apa yang sebenarnya terjadi? Aku mencoba menjawab pertanyaanmu, Na. Seharusnya aku menceritakannya secara runut, tapi aku tak bisa menunggu. Aku ingin kamu tahu kalau aku sungguh membutuhkan bantuanmu.
Maaf telah membuatmu bingung. Setelah berkenalan dengan Lintang, aku ikut bersamanya. Ia mengajakku menemui teman-temannya.
Sejak hari itu, kami sering berkumpul bersama, bertukar bahan bacaan, bercengkrama sehabis kuliah, bernyanyi bersama hingga berdiskusi banyak hal. Aku merasakan hidup yang begitu berbeda. Begitu berwarna lebih tepatnya. Tapi tangan dingin itu merebut segalanya. Ia merusak semuanya, Na. Hidupku hancur sebab dia.
(Halaman kelima buku).
Rasa terkejut hadir menyelimuti perasaanku, tapi aku sudah lebih bisa mengendalikannya. Beberapa kejadian belakangan jauh lebih membuatku terkejut. Bisa dibilang aku sudah mulai terbiasa dengan segala kegilaan ini. Rasa penasaran menguasai pikiranku. Siapa sosok tangan dingin yang dimaksud tokoh pada buku aneh ini? apa yang sebenarnya terjadi padanya? tapi sepertinya aku harus bersabar untuk mengetahui seluruh penjelasannya.
Hujan turun dengan lembut ke bumi. Aku mulai menyadari sebuah pola yang terstruktur. Dimana tiap kali aku menerima dan membaca pesan dari buku aneh ini, hujan akan turun dengan perlahan.
Suara panggilan dari Lian membuatku bergegas menyimpan buku aneh itu dalam tas dan lari terbirit-birit menemuinya.