Hujan dan Cerita yang Hilang

Wardah sawitri polem
Chapter #7

Bab 7: Selamat Datang di Taman Nasional Gunung Leuser

Matahari tinggi diatas kepala kami. Mobil pickup melaju lambat. Jalan bebatuan dengan banyak lubang di sekitar cukup mengganggu perjalanan. Abu dari jalanan merambat ke sekitar kami.

Mobil pick up yang sudah tua ini tetap berusaha menunjukkan kebolehannya untuk melaju di jalan yang penuh lubang ini. Mobil ini tampak sesekali terbatuk-batuk seolah berteriak tak sanggup. Tapi sang supir seolah tak acuh dengan kesengsaraan yang dialami mobilnya.

“Biasanya kalau kami ke lapangan ya gini jalannya banyak yang kurang bagus, kadang juga kami menyewa mobil yang lebih besar gitu biar lancar jalannya.” Langit mencoba menjelaskan sambil menenangkan kami bertiga yang mulai panik dengan keadaan mobil. 

Setelah melewati jalan yang penuh lubang selama kurang lebih satu jam, kami sampai di sekitar daerah hutan. Mobil tua itu berhasil membawa kami dengan selamat, walau sekarang keadaannya semakin mengenaskan, seolah nyawanya hilang setengah.

Dengan sigap kami menurunkan barang bawaan dari atas mobil. Tak lupa ku ucapkan terima kasih pada mobil tua ini sambil mengucap syukur berkat jasanya yang berhasil membawa kami selamat tanpa drama mogok di jalanan. 

Langit dengan lincah mengkoordinir kami untuk masuk ke mess. Mess ini terdiri dari beberapa kamar. Dimana aku dan Lian akan menempati kamar sebelah ujung, sedangkan Langit dan Baskara berada pada kamar sebelah kami.

Meski terbilang sederhana mess ini tampak nyaman untuk ditempati. Tapi satu masalah yang menjadi kekhawatiran ku menjadi kenyataan. Kamar mandi berada di luar ruangan kamar. Ini tentu menjadi masalah yang cukup membuatku resah, karena aku seringkali ke kamar mandi di malam hari. 

“Tenang aja, Na. Ntar aku temenin kalau ke kamar mandi. Eitss, aku gak akan macam-macam juga. Kamu bisa percaya aku seribu persen.” Ujar Langit seolah menangkap kekhawatiranku.

Sudah kubilang ia berbeda. Entah darimana ia bisa mempunyai kemampuan untuk membaca pikiranku dengan begitu akurat.

“Kayak yang pernah kubilang, kamu itu sederhana, Na. Mudah ditebak. Gak kayak kebanyakan perempuan yang sulit dimengerti.” Kata Langit tertawa sambil berlalu meninggalkanku sendirian di halaman depan mess.

Ah, Langit memang menyebalkan tapi ia selalu mampu memberi rasa hangat di hatiku. 

Lihat selengkapnya