Hujan dan Cerita yang Hilang

Wardah sawitri polem
Chapter #8

Bab 8: Petualangan Pertama

Cahaya matahari pagi perlahan merayap masuk ke dalam mess.

Udara sejuk lagi dingin membelai wajahku lembut. Sungguh tak ada yang menandingi keindahan pagi ini, kecuali pemandangan taburan bintang di langit malam kemarin.

Ah, tapi aku tak mau merusak hari yang indah ini dengan ingatan menyebalkan tadi malam. Rasanya aku tak ingin bertemu Langit pagi ini. Tapi kenyataan tak berpihak padaku. Baru saja aku berkeinginan untuk tak berjumpa dengan Langit, rupanya Langit sudah mulai mengetuk pintu kamar kami dengan sedikit kemarahan.

“Yuk, buruan! Raina! Lian!”. Ujar Langit beberapa kali. 

Dengan tergesa aku dan Lian segera beranjak dari tempat tidur dan berebutan untuk keluar kamar dan menuju kamar mandi. Selain malu akan bertemu dengan Langit, aku juga tak ingin mengawali hari dengan mendengar ocehan dari Langit. Rupanya aku kalah cepat dengan Lian yang sudah lari terbirit-birit dan tiba disana lebih awal.

Aku memutuskan kembali ke kamar dan mengecek beberapa barang yang akan kami bawa untuk tracking ke hutan hari ini. Ku tebar padangan ke sekitar, terlihat Langit sudah rapi memakai kaos polo biru dongker yang bagian bawahnya ia masukkan ke dalam celana training hitam. Sepatu boot hitam ia kenakan dilengkapi dengan kaos kaki hitam selutut.

Langit sebelumnya sudah berpesan bahwa kami harus menggunakan kaos kaki panjang yang dilengkapi dengan karet gelang di bagian atas. Hal ini dilakukan untuk menghindari gigitan dari pacet, sang binatang penghisap darah. Tak lupa, Langit mengenakan bucket hat berwarna senada dengan bajunya. Penampilannya kali ini sungguh memperlihatkan sisi berbeda dari Langit. Ia terlihat tangguh sekaligus keren. Ia memang tak pernah main-main jika mengerjakan sesuatu. 

Setelah mengamati Langit selama beberapa saat, aku memutuskan untuk membuka buku aneh itu. Diluar hujan tampak turun dengan lembut, sepertinya ini pertanda jika pesan pada buku itu sudah muncul.

Agar rasa penasaranku hilang, aku memutuskan untuk membaca buku aneh itu. Aku sungguh tak ingin merusak hari ini dengan rasa penasaranku yang belum tuntas.

Perlahan, kubuka buku itu dengan dan membacanya dengan seksama. Ku telaah kata demi kata, tak ingin ku lewatkan sedikitpun. 

Hai, Na. Seperti yang kuceritakan sebelumnya. Lintang dan aku semakin hari semakin akrab. Setelah itu, Lintang mengajakku untuk ikut bergabung dengan teman-temannya. Awalnya aku menolak. Untuk seseorang yang dunianya hanya seputar belajar diktat kuliah dan pergi ke kampus, aku merasa kalau ajakan Lintang sangat tak sesuai denganku. Tapi satu kalimat yang keluar dari bibir Lintang mampu menggoyahkan prinsipku. “Katanya mau bersinar seperti namanya, bintang. Ikutan, ya bi?”. Akhirnya aku ikut bergabung bersamanya.

Kau tahu Na, Lintang benar. Duniaku berubah total. Sekarang aku tak hanya mengejar nilai-nilai semu belaka. Ada sesuatu yang berkobar dalam jiwaku. Ada sesuatu yang bangkit dari pikiranku.  

Sebelumnya buku-buku bacaanku hanyalah modul kuliah, grammar dan segala tetek bengek perkuliahan sastra inggris yang begitu membosankan, tapi kini mataku seolah dibuka oleh mereka.

Mereka meminjamkanku banyak buku yang isinya begitu menakjubkan. Sangking kerennya buku-buku itu, rasanya ingin ku beri sembah sujud pada penulisnya. Sebut saja buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Novel itu berhasil ku lalap dalam waktu seminggu. Novel karya Pak Pramoedya Ananta Toer ini sungguh membuka mata dan pikiranku.

Beberapa kali juga mereka menyebut buku berhaluan kiri yang tak pernah ku dengar sebelumnya. Mereka menutupi sampul buku itu dengan berbagai macam penutup agar tak tampak.

Kata Lintang, walaupun dilarang peredarannya, buku-buku ini dapat kami jadikan pembelajaran. Huh, pada zaman kami ini terlalu banyak buku yang dilarang, Na. Tak hanya buku, terlihat berbeda dari orang kebanyakan saja sudah diwaspadai dan dicurigai. 

Sungguh dunia yang mengerikan. Tapi tak perlu khawatir, Na. Aku tak takut sama sekali. Bahkan kini rasa berani pada diriku memimpin. Aku dulunya seperti katak dalam tempurung, Kupikir dunia hanya berjalan ditempat.

Membosankan.

Lihat selengkapnya