Malam ini aku memutuskan untuk mengacuhkan buku aneh itu. Untuk menjaga kewarasan pikiranku, mungkin aku akan membukanya besok pagi.
Setelah kejadian pertengkaran antara Langit dan Baskara, Aku dan Lian lebih banyak diam.
Langit juga.
Sunyi dan hanyut dalam pikiran dan emosi masing-masing.
Setelah berdiskusi singkat, aku dan Lian memutuskan untuk tetap berada disini menemani Langit, melanjutkan penelitiannya. Toh, seiring berjalannya waktu masalah antara Langit dan Baskara akan selesai dengan sendirinya. Mereka berdua hanya butuh waktu untuk berdamai dengan isi kepala masing-masing.
Aku dan Lian tengah membaringkan tubuh di tempat tidur. Kami membiarkan tetap terbuka agar bisa memandang langit yang penuh dengan bintang gemintang itu. Walau di penuhi rasa sendu, setidaknya ada bintang-bintang yang bisa menjadi pengobat hati.
“Baskara emang bilang apa ke Langit, Li?” Aku memulai percakapan.
Dengan suara pelan, Lian menjawab pertanyaanku. Sepertinya ia amat terkejut dengan perkelahian antara kedua sahabat kami itu. Dibalik sikapnya yang diam, Lian memiliki hati yang begitu lembut.
“Baskara marah karena Langit minta dia buat tetap stay disini. Mungkin kebawa emosi Baskara nuduh Langit cupu. Gak punya pendirian dan cuman mau happy-happy aja tanpa mikirin perasaan orang lain. Semacam banyak omong doang.” Ujar Lian.
Aku berusaha mencerna perkataan dari Lian. Walau turut merasa sakit hati dengan kata-kata yang diucapkan oleh Baskara, aku berpikir kalau hal yang dikatakan Baskara ada benarnya.
Langit memang selalu punya banyak teori soal ini dan itu. Tapi, tak pernah sekalipun ku dengar ia ingin ikut aktif dan organisasi kemahasiswaan tertentu. Ikut menyuarakan suara orang banyak. Walaupun itu pilihan yang dimiliki Langit, tapi setidaknya ia memiliki potensi untuk bersuara. Ia mempunyai kemampuan untuk menghipnotis orang lain melalui kata-kata yang diucapkan olehnya.
Tapi seperti yang telah ku perkirakan sebelumnya, Langit itu menghamba pada kebebasan. Komitmen jenis apa yang bisa diharapkan dari dia. Dia ingin bebas. Lepas. Tak ingin terikat pada hal apapun.
Dua hari yang begitu sunyi itu akhirnya berlalu.
Tak banyak percakapan yang terjadi antara kami bertiga. Setelah selesai berkemas kami masuk ke dalam kamar masing-masing.
Lian memandangku resah. Seolah ingin mengatakan sesuatu yang teramat penting.
“Na, aku mau bilang sesuatu.” Ujar Lian gugup.