Di sebuah pagi dengan cuaca mendung.
Tak biasanya kota Medan memiliki pagi yang abu-abu seperti ini. Setelah kemarin seharian penuh menghabiskan waktu untuk tidur, akhirnya tenagaku pulih kembali. Tapi tidak dengan hati dan pikiranku.
Bayangan Langit dan Bintang terus menghantuiku. Perasaan khawatir yang tertuju untuk Bintang. Perasaan bingung untuk Langit. Sedang perasaan kecewa untuk diriku sendiri. Untuk diriku yang sampai saat ini belum mulai menyelesaikan skripsi.
Ah, ku buang segala rupa-rupa perasaan itu. Ku raih buku aneh itu dari dalam tas. Aku kembali hanyut tenggelam dalam pesan dari buku itu yang perlahan muncul seiring dengan rintik hujan yang membasahi bumi dengan lembut.
04 Mei 1998
Dua hari setelah insiden demonstrasi yang berakhir kericuhan itu, kami kembali melanjutkan perlawanan. Dengan rencana baru tentunya. Menjelang siang, kami berkumpul di kampus kami tercinta, IKIP Medan.
Kami bersorak.
Bernyanyi.
Menyanyikan berbagai lagu yang membangkitkan semangat. Aparat yang berjaga tampak tak suka dengan keramaian yang kami ciptakan. Mereka berusaha membubarkan kami. Aku sudah lebih mampu mengendalikan rasa mual yang kualami di kerumunan manusia.
Entah mengapa, aku mulai menikmati perjuangan ini.
Perlahan api kericuhan mulai muncul. Dengan apiknya, Lintang sang pahlawanku maju dan bernego dengan aparat. Hingga akhirnya kami hanya diperbolehkan untuk berunjuk rasa dalam kampus selagi para aparat berjaga di luar kampus.
Tapi tak apa, Na. Sungguh tak masalah.
Api semangat kami malah semakin berkobar. Kami bersorak hingga matahari tergelincir dan bulan menyapa.
Malam telah tiba. Tiba-tiba, beberapa dari kawan seperjuangan kami, keluar dari lingkungan kampus. Lintang dan beberapa teman sudah berteriak memanggil mereka.
Tapi bagaimana mungkin bisa kau padamkan api yang sedang bergejolak.
Mereka berhasil sampai di depan gerbang.
Sekelompok orang yang sedang berjaga itu menyambut mereka dengan berbagai kata kasar yang tak sanggup untuk ku ucapkan.
Kata-kata cabul seolah nyanyian yang mereka persembahkan di hadapan kami.
“WOI JONGKOK!” Seruan mereka dengan nada membentak.
Mau tak mau kami harus patuh terhadap perintah dari mereka. Lintang juga mengisyaratkan kami untuk menuruti kemauan mereka agar tak terjadi kerusuhan lagi.
Sambil berjalan jongkok kami berbaris beriringan.
“Aaa!! Aduh!!” Teriak Ningsih dari barisan belakang.
Aku spontan menutup kedua tanganku dengan mata. Sungguh tak tega aku melihat Ningsih yang kesakitan. Salah seorang dari mereka meremas bagian dada Ningsih.
Sungguh keji.
Kami berteriak sambil terisak. Sungguh tak terima dengan aksi bejat yang terjadi itu.
Tak hanya sampai disitu, oknum itu juga berusaha mencabuli ningsih dengan menunjukkan alat kelaminnya.
Ningsih yang kaget setengah mati, akhirnya pingsan.
Kami berteriak tak terima. Sungguh perlakuan itu tak pantas mendapat kata maaf. Masyarakat sekitar turut bergabung bersama kami.
Rombongan yang terbentuk berusaha menyerang pos aparat di sekitar lokasi. Tak hanya api semangat, api sungguhan kembali berkobar.
Truk dan mobil yang terparkir menjadi sasaran.
Api menyala.
Berkobar.
Membakar kota yang tengah gelap gulita. Perjuangan kami kembali ditutup dengan kobaran api yang menyala, dengan semangat di hati yang semakin bergelora.
Entah sampai kapan.
Aku menutup buku aneh itu, sambil berjalan menuju meja. Kuteguk segelas air dengan cepat.
Aku terkena dehidrasi setelah membaca cerita dari buku aneh itu hari ini.
Pesan dari Bintang semakin lama semakin jelas. Walau belum ku temukan apa sebenarnya tujuan dari Bintang untuk menghadirkan pesan itu padaku. Tapi aku mencoba bersabar. Tentunya ada pesan penting yang ingin dia sampaikan.
Aku mencoba mengalihkan rasa penasaranku dengan mencoba mencari referensi terkait kejadian tahun 1998. Sungguh tak ku duga, begitu banyak hal terjadi waktu itu. Sekelebat bayangan Bintang terus menghantuiku. Apakah ia juga mengalami hal yang sama dengan banyak korban lain kala itu. Sungguh aku berharap ia baik-baik saja.
***
Sore hari waktu sinar matahari perlahan mulai redup. Aku meraih handphone dan mencoba untuk memanggil Langit.
“Lang, kamu lagi dimana?” Ujarku bersemangat.
Tiba-tiba saja aku memiliki ide untuk menghibur hati Langit yang pastinya sedang bersedih.
Aku mengumpulkan beberapa buku yang sempat kubeli sebelum mengunjungi hutan beberapa waktu yang lalu. Bisa dipastikan Langit akan bahagia menerima semua ini. Apa hadiah yang lebih baik untuk orang yang sedang bersedih selain buku?
Ah, aku tak tau jawabannya. Buku bisa membuatnya kabur dari segala permasalahannya.
Terdengar seperti pengecut.
Tapi, bukankah wajar jika sesekali kita menjadi pengecut?
Setelah setengah jam menunggu Langit, aku memutuskan untuk mengambil buku aneh itu dan kabur sejenak. Hujan perlahan turun. Aku menangkap sinyal itu sebagai tanda bahwa cerita pada buku aneh itu akan muncul sebentar lagi.
12 Mei 1998
Sejak insiden yang terjadi di kampus kami beberapa waktu yang lalu, kami menyusun strategi baru. Suasana di luar kampus menjadi kacau balau. Kerusuhan semakin menyebar. Banyak terjadi penjarahan dimana-mana. Kami juga tak tau siapa oknum tak bertanggung jawab yang memprovokasi terjadinya semua ini, Na.
Setelah berkoordinasi dengan mahasiswa lain di seluruh Indonesia, Lintang menyuruh kami untuk mengambil langkah mundur. Bukan, bukan mundur dari segala pertempuran ini. Tapi kami harus merencanakan strategi lain yang lebih efektif.