Di sebuah siang. Aku tengah terdiam.
Merasa kebingungan yang tak ada habisnya.
Sesuai dugaanku, sejak Langit sudah membaca buku aneh itu, pesan pada buku aneh itu tak kunjung muncul lagi hingga hari ini.
Aku sudah mencoba menulis permintaan maaf disana. Dengan mengatakan bahwa Langit sungguh tak sengaja membaca buku itu.
Tapi nihil.
Hanya lembar kosong yang ada disana. Aku begitu penasaran apa yang terjadi pada Bintang. Apa pertolongan yang diharapkannya dariku. Aku malah merasa bersalah pada buku itu, karena sudah tak mematuhi kesepakatan yang kami buat diawal.
Tak sampai disitu, kekalutan yang kualami berlanjut. Langit sama sekali tak menggubris diriku. Ia tak menjawab telepon dariku. Tak membalas pesan yang kukirim.
Sungguh menyebalkan.
Sejujurnya aku tak habis pikir mengapa Langit begitu marah padaku.
Apa karena aku tak memberitahunya perihal buku itu?
Tapi Ia tak pernah berperilaku seperti ini sebelumnya. Ingin sekali aku berdiskusi dengan Lian dan Baskara. Tapi aku tak ingin memperburuk keadaan.
Hubungan Langit dan Baskara juga belum membaik. Persahabatan kami terancam.
Grup “pengabdi ombus-ombus garis keras” tengah berada di ujung tanduk.
Di tengah kebingungan yang kualami, mendadak aku mempunyai ide itu mengunjungi rumah Langit. Aku mencoba menyelesaikan satu per satu dari masalah yang tengah kualami ini. Untung saja otakku masih mampu berpikir dengan baik. Baru saja kesenangan dengan ide yang akan dieksekusi, aku kembali terdiam.
Aku tak tau dimana rumah Langit berada.
Sudah kupaksa otakku untuk mengingat dimana lokasinya, tapi tidak kutemukan jawabannya.
Aku baru saja menyadari, Langit tak pernah terbuka terhadap kehidupan pribadinya.
Seperti ada tembok besar yang ia bangun agar kami tak melihat apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya.
Sungguh aku baru menyadari semua ini.
Aku kembali memutar otak.
Ah, ku coba menghubungi teman-teman Langit melalui sosial media. Aku benar-benar berharap ada yang mengetahui tempat tinggalnya.
Harapanku terkabul. Temannya yang bernama Bambang memberiku alamat lengkap Langit.
Rupanya Langit tinggal cukup jauh dari kampus, di sekitar daerah Pancing. Lalu pertanyaan dari Bambang sedikit membuatku tercengang.
“Kamu pacarnya Langit, kan?” Aku terdiam.
Entahlah, aku tak tahu jawabannya.
Sudah kubilang dari awal, apa yang bisa kuharapkan dari manusia yang menghamba pada kebebasan? Ia tak mau terikat dengan hal apapun. Termasuk juga diriku. Ku balas pesan dari Bambang dengan jawaban seadanya jika aku adalah teman dekat Langit, agar dia tak bertanya lagi.
Walau akhirnya aku kembali terdiam, sahabat macam apa yang tak tau apa-apa tentang sahabatnya sendiri.
***
Sore itu, aku berdiri di depan rumah Langit.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam dengan drama macet tentunya akhirnya aku sampai juga. Perasaan gugup hadir perlahan.
Aku mendadak takut jika Langit akan mengusirku, tapi segera ku buang jauh-jauh perasaan itu.
Tak akan mungkin Langit berbuat seperti itu. Semoga.
Ku langkahkan kaki perlahan menuju rumah Langit. Terlihat sebuah rumah kecil sederhana berwarna putih dengan halaman yang luas. Berbagai tumbuhan dan pohon tumbuh subur di halaman itu, seolah sesuai dengan jurusan kuliah yang diambil Langit, yakni Biologi.
Halaman rumah juga dipenuhi dengan rumput yang tertata rapi. Sungguh sesuai dengan kepribadian Langit. Aku bisa memastikan ini adalah rumah Langit. Rumah ini terlihat begitu nyaman untuk ditempati, tapi ada sesuatu yang sedikit berbeda.
Tak ada kehangatan yang terpancar. Rasanya begitu kosong.
Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja.
Kudorong pagar rumahnya perlahan. Lalu aku berjalan menuju pintu rumah. Kuketuk pintu dengan pelan. Terdengar sahutan dari dalam. Tapi, itu bukan suara Langit. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana keluar dari dalam rumah. Ia tak mirip dengan Langit.
“Cari siapa? Temannya Langit ya?” Ujarnya.
Aku mengangguk.
Sepertinya wanita itu bukan ibunya Langit.
“Masuk saja ke dalam ya. Langit sedang ke apotik sebentar, dekat sini kok, sebentar lagi balik.”
Aku kembali mengangguk sambil tersenyum. Dengan langkah malu aku mengikuti wanita itu dari belakang, kami masuk ke dalam rumah.
Rumah ini tertata dengan rapi.
Peletakkan barang-barang di rumah ini penuh dengan perhitungan. Sehingga menampilkan pemandangan yang begitu memanjakan mata. Akan tetapi, entah kenapa seperti ada yang hilang di rumah ini. Di tengah ruangan terpajang foto keluarga. Terlihat Langit masih begitu belia. Lucu, menggemaskan dan juga tampan. Disana juga ada bapak dan ibunya. Seperti keluarga yang sangat bahagia.
Aku mendadak terdiam.
Siapa gadis perempuan yang ikut berfoto disana?
Apa dia kakaknya Langit. Tapi, Langit tak pernah cerita apapun soal kakaknya. Hatiku menjadi perih.