Hahh.....hah...hah.....
Ayra mengatur tempo napasnya yang berantakan. Ini adalah yang ketiga kalinya ia melamun selama jam pelajaran berlangsung. Pertama pada saat pelajaran sejarah, dimana Ayra tidak mendapat hukuman, hanya mendapat teguran saja. Yang kedua dan ketiga bersamaan dengan berlangsungnya pelajaran bahasa Indonesia dimana yang mengajar adalah Bu Sriwati, guru terdisiplin yang ada di sekolah. Ayra meluruskan kakinya yang pegal setelah berkeliling lapangan sebanyak lima kali. Ayra melangkahkan kakinya menuju kantin, memesan jus jeruk dua gelas. Ia melihat sekeliling, kantin tampak sepi tidak seperti biasa. Tanpa perlu bertanya ia sudah tahu kalau semua penghuni kantin tengah di kelas, sedang belajar.
Ayra menyeruput jus jeruknya dengan cepat, ia benar-benar haus. Sampai rumah nanti, tampaknya ia harus ke tukang urut karena kakinya terasa berat setelah mengelilingi lapangan yang luas, bukan satu kali melainkan lima kali, wajar jika pegal-pegal.
"Haduuhh...aku kenapa sih melamun terus," batin Ayra menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Setelah mengetahui cerita tentang El, aku terus kepikiran bahkan kemarin malam gak bisa tidur tapi El berpesan agar aku jangan menatapnya dengan mata kasihan. Dia ingin aku bersikap seperti biasanya, tapi bagaimana caranya, itu tidak mungkin karena sekarang aku tahu tentang cerita kelam hidupnya yang selama ini ditutupnya rapat," gumam Ayra. Jadi penyebab dia melamun adalah El, cerita masa lalu El.
Bel istirahat berbunyi, semua siswa-siswi berhambur menuju kantin. Ayra berjalan melawan arus kerumunan siswa-siswi yang tengah melangkahkan kaki menuju kantin, tempat berburu makanan. Ayra mendudukkan dirinya di kursi, tampak Aretha dengan lahap menyantap jajanan ringan yang sengaja ia pesan pada Ayra. Aretha malas berkerumun dengan banyak orang hanya untuk kembali makanan, alhasil Ayra lah yang membelinya. Sekalian, mumpung di kantin. Pikir Ayra.
"Kenapa Ay?" tanya Aretha yang akhirnya sadar bahwa pikiran temannya melalang buana entah kemana.
"Ehh....enggak, gak papa kok," sontak Ayra terkejut dengan Aretha yang membuka suara.
"Aku tahu kalau kau lagi mikirin sesuatu."
"Iya Ra, aku kepikiran El terus."
"Cieee.....cie.....ada yang kangen nih! Tuh kan aku bilang juga apa, kau itu suka sama El, ralat, bukan suka tapi cinta," spontan Aretha yang membuat Ayra menggelengkan kepala.
"Bukan masalah itu, ini masalah lain," bangkit Ayra dari tempatnya.
"Mau kemana Ay?"
"Perpus! Aku gak jadi cerita soal kak El, males dengan tanggapan kau Re padahal bukan soal itu yang aku maksud. Tapi ya udahlah, gak penting juga," seru Ayra berlalu meninggalkan Aretha dalam tanda tanya.
Ayra memarkirkan motornya di halte tempatnya biasa berteduh. Hari ini hujan mengguyur bumi membasahi setiap inchi jejak kehidupan. Ayra menepuk-nepuk jaketnya yang basah. Sekarang sedang musim hujan, Ayra selalu siap siaga membawa jaket dan mantel hujan namun kali ini hanya jaket yang dibawanya, mantelnya tertinggal di rumah, tergantung di jemuran.
Tap! Tap!
Suara derap kaki membuat Ayra girang, ia yakin bahwa orang itu adalah El tanpa perlu melihat rupanya karena halte ini adalah tempat mereka berdua sering bertemu terutama saat hujan, mereka selalu berteduh di sini. Lebih tepatnya Ayra tidak dapat memikirkan tempat lain selain halte bus ini sebagai tempat berteduh meskipun hujan mengguyur deras, Ayra akan tetap beteduh di tempat ini.
"Hujannya deras ya kak, sepertinya akan butuh waktu lama untuk berhenti," Ayra menoleh pada El.
Ayra melotot melihat bahwa orang yang berteduh bersamanya bukan El melainkan orang lain. Ayra lupa bahwa halte ini bukan milik mereka berdua tetapi milik umum yang siapa saja boleh berada di sana.